Kompromi Turats dan Modernitas
“Mana ibaratnya..,! mana referensi kitab klasiknya?”, Statement apologis seperti itulah yang kerapkali keluar dari seorang santri yang sedang berasyik masyuk dalam perdebatan sengit. Saat salah seorang lawan debat tak mampu menampilkan ibarat (teks argument dari kitab klasik) yang sharih, maka pendapatnya dianggap pendapat ngawur dan harus ditolak. Tak hanya itu, ketika sudah mampu menampilkan ibarat, tetapi ibarat yang diambil bukan dari kitab yang benar-benar klasik, pendapatnya pun akan juga ditolak lantaran dianggap tidak mu’tabarah (terjamin validitasnya). Fenomena seperti itulah yang sampai saat ini masih terpelihara dengan suburnya.
Siapapun orangnya tak akan menyangkal bahwa diskusi ilmiah adalah hal yang baik dan sangat perlu dilestarikan sebagai bentuk pengembangan wawasan intelektual. Tetapi, -bagi saya- statement apologis seperti di atas yang mewarnai dalam sebuah diskusi tak begitu perlu dipelihara, untuk tidak mengatakan tidak perlu sama sekali. Statement tersebut ‘kurang fair’ lantaran terkesan menciptakan dualisme epistemologi dengan stratifikasi diskriminatif. Produk pemikiran ulama klasik dianggap lebih valid dan terjamin kebenarannya. Sementara produk pemikir kontemporer diperlakukan tak ubahnya sebagai produk rongsokan dari barat yang hanya layak dibuang di tempat sampah. Semakin klasik sebuah pemikiran maka akan semakin terjamin mutu dan kualitas kebenarannya. Sebaliknya, semakin kontemporer suatu pemikiran maka akan semakin terjamin mutu dan kualitas kesesatannya. Pemikiran ulama klasik dianggap sebagai teks ‘sakral’ yang kebal perubahan dan kebal kritik. Saat sebuah argumentasi meyalahi teks klasik maka argument itu dianggap argument sesat.
Fenomena terbalik juga acapkali ditemukan dikalangan akademisi kampus. Mereka terlalu mendewakan modernitas barat. Pemikiran ulama klasik dianggap sebagai pemikiran kuno, pemikiran ketinggalan zaman dan tak layak untuk dipertahankan. Mereka yang memegang teguh prinsip tradisionalisnya dianggap sebagai manusia kuno yang terbuai dengan romantisme masa lalu. Mereka berkeyakinan bahwa semakin modern sebuah pemikiran, maka semakin terjamin validitas kebenarannya. Semakin pemikiran itu bersinggungan dengan barat, maka semakin terlihat mutu dan kualitas otentifikasi kebenarannya.
Dua fenomena tersebut seharusnya tidak perlu terjadi. Dua sikap demikian telah terjebak dalam apa yang oleh Arkoun disebut sebagai sakralisasi pemikiran. Sikap seperti inilah yang menghambat kemajuan Islam. Islam menjadi statis, beku dan tertutup. Mereka yang mengkultuskan turats berlebih telah mengabaikan realitas kekinian. Demikian juga mereka yang mendewakan barat sentris sebagai paradigma berfikir. Mereka terbuai dengan modernitas barat dan abai terhadap turats.
Apa yang ditawarkan oleh M. Arkoun, seorang pemikir Islam kelahiran al-Jazair, paling tidak bisa menjadi ‘obat penawar’ bagi dua kondisi di atas. Menurutnya, turats ada dua macam, pertama adalah Turats (Tradisi) dengan menggunakan huruf ‘T’ besar dan turats (tradisi) dengan menggunakan ‘t’ kecil. Pertama, Turats dengan ‘ T’ besar adalah tradisi transenden yang selalu dipahami dan dipersepsi sebagai tradisi ideal yang datang dari tuhan dan tak dapat diubah. Tradisi semacam ini bersifat absolut dan abadi. Sementara turats dengan ‘t’ kecil mengandung arti sebuah tradisi yang dibentuk oleh sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah kehidupan, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab suci yang terwujud dalam kitab-kitab klasik. Dalam hal ini Arkoun mengesampingkan turats jenis pertama, sebab ia berada di luar pengetahuan dan kapasitas akal manusia. Ia kemudian memberikan tawaran penyikapan terhadap turats jenis kedua. Baginya, menyikapi dan membaca turats hendaknya dilakukan dengan menggunakan metode historisisme yakni, melakukan pembacaan turats melalui kerangka sejarah, sebab sejatinya tradisi tersebut dibentuk dan diproduk oleh sejarah. Pembacaan historisisme ini dimaksudkan untuk meghidupkan teks turats di tengah arus modernisasi.
Sejalan dengan Arkoun, Abed al-Jabiri, seorang pemikir asal maroko menyatakan bahwa metode historisisme sebagai upaya menghadirkan turats dalam bentuk yang lebih relevan dengan modernitas adalah metode yang amat penting untuk dikembangkan. Al- jabiri lebih jauh berpendapat bahwa tradisi dan modernitas pada intinya bukan pilihan. Keduanya hadir begitu saja dihadapan kita tanpa kuasa kita untuk memilihnya. Maka, yang diperlukan adalah bersikap kritis terhadap keduanya, kepada turats dan modernitas dengan seluruh makna kritik. Dalam metode kritisisme inilah selanjutnya al-Jabiri menerapkan konsep dekonstruksinya. Menurutnya, yang pertama kali dilakukan pendekonstruksian adalah turats, yakni dengan melakukan analisa struktur bangunan yang mapan dengan cara mempelajari hubungan antara elemen-elemen yang membuat dan menyatukan bangunan tersebut. Setelah analisa struktural ini baru diadakan perombakan atau pembongkaran atas struktur tersebut. Usaha dekonstruksi ini dilakukan dalam rangka mengubah yang absolut pada yang relatif dan yang a-historis kepada historis.
Dari sini terlihat bahwa baik Arkoun maupun Al-Jabiri, hendak mengharmoniskan antara turats dengan modernitas supaya jargon “Al-Islam Shalihun likulli Zaman wa Makan” tidak menjadi jargon kosong belaka. (Wallahu A’lam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar