Rabu, 27 Juli 2011

Kompromi Turats dan Modernitas


Kompromi Turats dan Modernitas

“Mana ibaratnya..,! mana referensi kitab klasiknya?”, Statement apologis seperti itulah yang kerapkali keluar dari seorang santri yang sedang berasyik masyuk dalam perdebatan sengit. Saat salah seorang  lawan debat tak mampu menampilkan ibarat (teks argument dari kitab klasik) yang sharih, maka pendapatnya dianggap pendapat ngawur dan harus ditolak. Tak hanya itu, ketika  sudah mampu menampilkan ibarat, tetapi ibarat yang diambil bukan dari kitab yang benar-benar klasik, pendapatnya pun akan juga ditolak lantaran dianggap tidak mu’tabarah (terjamin validitasnya). Fenomena seperti itulah yang sampai saat ini masih terpelihara dengan suburnya.
            Siapapun orangnya tak akan menyangkal bahwa diskusi ilmiah adalah hal yang baik dan sangat perlu dilestarikan sebagai bentuk pengembangan wawasan intelektual. Tetapi, -bagi saya- statement apologis seperti di atas yang mewarnai dalam sebuah diskusi  tak begitu perlu dipelihara, untuk tidak  mengatakan tidak perlu sama sekali. Statement tersebut ‘kurang fair’ lantaran terkesan menciptakan dualisme epistemologi dengan stratifikasi diskriminatif. Produk pemikiran ulama klasik dianggap lebih valid dan terjamin kebenarannya. Sementara produk pemikir kontemporer diperlakukan tak ubahnya sebagai produk rongsokan dari barat yang hanya layak dibuang di tempat sampah. Semakin klasik sebuah pemikiran maka akan semakin terjamin mutu dan kualitas kebenarannya. Sebaliknya, semakin kontemporer suatu pemikiran maka akan semakin terjamin mutu dan kualitas kesesatannya. Pemikiran ulama klasik dianggap sebagai teks ‘sakral’ yang kebal perubahan dan  kebal kritik. Saat sebuah  argumentasi meyalahi teks klasik maka argument itu dianggap argument sesat.
            Fenomena terbalik juga acapkali ditemukan dikalangan akademisi kampus. Mereka terlalu mendewakan modernitas barat. Pemikiran ulama klasik dianggap sebagai pemikiran kuno, pemikiran ketinggalan zaman dan tak layak untuk dipertahankan. Mereka yang memegang teguh prinsip tradisionalisnya dianggap sebagai manusia kuno yang terbuai dengan romantisme masa lalu. Mereka berkeyakinan bahwa semakin modern sebuah pemikiran, maka semakin terjamin validitas kebenarannya. Semakin pemikiran itu bersinggungan dengan barat, maka semakin terlihat mutu dan kualitas otentifikasi kebenarannya.
            Dua fenomena tersebut seharusnya tidak perlu terjadi. Dua sikap demikian telah terjebak dalam apa yang oleh Arkoun disebut sebagai sakralisasi pemikiran. Sikap seperti inilah yang menghambat kemajuan Islam. Islam menjadi statis, beku dan tertutup. Mereka yang mengkultuskan turats berlebih  telah mengabaikan realitas kekinian. Demikian juga mereka yang mendewakan barat sentris sebagai paradigma berfikir. Mereka terbuai dengan modernitas barat dan abai terhadap turats.
            Apa yang ditawarkan oleh M. Arkoun, seorang pemikir Islam kelahiran al-Jazair, paling tidak bisa menjadi ‘obat penawar’ bagi dua kondisi di atas. Menurutnya, turats ada dua macam, pertama adalah Turats (Tradisi) dengan menggunakan huruf ‘T’ besar dan turats (tradisi) dengan menggunakan ‘t’ kecil. Pertama, Turats dengan ‘ T’ besar adalah tradisi transenden yang selalu dipahami dan dipersepsi sebagai tradisi ideal yang datang dari tuhan dan tak dapat diubah. Tradisi semacam ini bersifat absolut dan abadi. Sementara turats dengan ‘t’ kecil mengandung arti sebuah tradisi yang dibentuk oleh sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun temurun sepanjang sejarah kehidupan, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan lewat teks-teks kitab suci yang terwujud dalam kitab-kitab klasik. Dalam hal ini Arkoun mengesampingkan turats jenis pertama, sebab ia berada di luar pengetahuan dan kapasitas akal manusia. Ia kemudian memberikan tawaran penyikapan terhadap turats jenis kedua. Baginya, menyikapi dan membaca turats hendaknya dilakukan dengan menggunakan metode historisisme yakni, melakukan pembacaan turats melalui kerangka sejarah, sebab sejatinya tradisi tersebut dibentuk dan diproduk oleh sejarah. Pembacaan historisisme ini dimaksudkan untuk meghidupkan teks turats di tengah arus modernisasi.
            Sejalan dengan Arkoun, Abed al-Jabiri, seorang pemikir asal maroko menyatakan bahwa metode historisisme sebagai upaya  menghadirkan turats dalam bentuk yang lebih relevan dengan modernitas adalah metode yang amat penting untuk dikembangkan. Al- jabiri lebih jauh berpendapat bahwa tradisi dan modernitas pada intinya bukan pilihan. Keduanya hadir begitu saja dihadapan kita tanpa kuasa kita untuk memilihnya. Maka, yang diperlukan adalah bersikap kritis terhadap keduanya, kepada turats dan modernitas dengan seluruh makna kritik. Dalam metode kritisisme inilah selanjutnya al-Jabiri menerapkan konsep dekonstruksinya. Menurutnya, yang pertama kali dilakukan pendekonstruksian adalah turats, yakni dengan melakukan analisa  struktur bangunan yang mapan dengan cara mempelajari hubungan antara elemen-elemen yang membuat dan menyatukan bangunan tersebut. Setelah analisa struktural ini baru diadakan perombakan atau pembongkaran atas struktur tersebut. Usaha dekonstruksi ini dilakukan dalam rangka mengubah yang absolut pada yang relatif dan yang a-historis kepada historis.
            Dari sini terlihat bahwa baik Arkoun maupun Al-Jabiri, hendak mengharmoniskan antara turats dengan modernitas supaya jargon “Al-Islam Shalihun likulli Zaman wa Makan”  tidak menjadi jargon kosong belaka. (Wallahu A’lam)

           
           

           
    

Selasa, 26 Juli 2011

Hak Istri dalam Rumah Tangga (Studi Kritis Hadis Riwayat Abu Dawud tentang Hak Istri)


BAB I
Pendahuluan
Pernikahan adalah salah satu di antara sekian banyak syariat Islam yang dititahkan kepada umatnya. Pernikahan adalah sebuah perjanjian sakral antara dua jenis kelamin yang berlaianan untuk mengarungi bahtera rumah tangga secara bersama-sama. Esensi yang terkandung dalam syariat pernikahan adalah beribadah kepada Allah serta menaati perintah Rasul yang berusaha mewujudkan suatu kehidupan rumah tangga yang harmonis dan penuh maslahah, baik bagi rumah tangganya secara pribadi maupun masyarakat di sekitarnya secara umum. Oleh karenanya, pernikahan tidak hanya bersifat internal, tetapi mempunyai kaitan eksternal yang melibatkan banyak pihak. Sebagai sebuah ikatan yang kuat (mitsaqan ghalidzan), pernikahan dituntut untuk menghasilkan kemaslahatan kompleks, bukan hanya sekedar kepuasan biologis semata.
Permasalahan intern yang kerapkali muncul dalam rumah tangga adalah ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan dalam melaksanakan kewajiban maupun hak di antara suami dan istri. Sebagai sebuah agama yang mengatur berbagai macam aspek kehidupan manusia, Islam telah mengatur persoalan hak dan kewajiban suami istri. Jika ketentuan-ketentuan Islam yang berkaitan dengan persoalan rumah tangga ini diindahkan, maka ketidakharmonisan dan konflik yang muncul setidaknya akan bisa diminimalisir, betapapun tidak bisa dihilangkan sama sekali. Sebab, konflik rumah tangga adalah sesuatu yang wajar, bahkan mungkin ia adalah keniscayaan. Pepatah bilang, “Berumah tangga tanpa konflik, serasa masakan yang miskin bumbu”. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dieksplorasi secara komprehensif tentang sebagian dari hak dan kewajiban suami istri yang dalam pembahasannya akan menitik beratkan pada salah satu hadis yang menjelaskan tentang hak istri yang harus dipenuhi oleh sang suami, selaku kepala rumah tangga.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penelitian Sanad
1.      Versi Mausu’ah al-Hadis as-Syarif

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِىُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ « أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ « وَلاَ تُقَبِّحْ ». أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ.
Artinya: Musa ibn Isma’il bercerita kepadaku, Hammad bercerita kepadaku, Abu Qaza’ah al-Bahili mengabarkan kepadaku dari Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, Ayahnya berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah apa sajakah hak istri kita?”, Rasul pun menjawab: “Hendaknya istrimu kau beri makan jika kau makan, jika kau bekerja, hendaknya kau beri pakaian kepadanya, jangan pukul wajahnya, jangan mencela dan menjauhi (pisah ranjang sementara) kecuali dalam rumah”



Jarh wa Ta’dil
Murid
Guru
TL-TW/Umur
Nama Perawi
-Abu al-Walid: tsiqah, shaduq
- Yahya ibn Mu’in: tsiqah, ma’mun
-Al-Ajliy: tsiqah
-Abu Hatim: tsiqah
-Muhammad ibn Said: tsiqah
-Ibn Hibban: “termasuk orang-orang yang sempurna/kwalitas baik”
60 orang
-Ahmad ibn Hasan/Abu Hasan
-Hasan ibn Ali
-Abdur Rahman ibn Abdil Wahhhab
41 orang
-Hammad ibn Zaid/Abu Isma’il
-Hafs ibn Amr
-Hammad ibn Salamah/Abu Salamah

Wafat: Bashrah 223 Hijriyah
Musa ibn Isma’il/Abu salamah
-Yahya ibn Mu’in: tsiqah
-As-Saji: hafidz, tsiqah, ma’mun
-Al-Ajliy: tsiqah
-An-Nasa’i: tsiqah
-Muhammad ibn Sa’id: tsiqah
-Ibn Hibban: memasukkan dalam kitab “tsiqaat”
91 orang
-Musa ibn Isma’il/Abu Salamah
-Mansur ibn Salamah
-Mihna’ ibn Abdil Hamid
149 orang
-Abu Qaza’ah/Suwaid ibn Hajiz
-Abu Rabi’ah
-Suhail ibn Abi shalih
Wafat: Bashrah 167 Hijriyah
Hammad ibn Salamah ibn Dinar/Abu Salamah
-Ahmad ibn Hanbal: memasukkan dalam kitab “tsiqaat”
-Ali ibn al-Madini: tsiqah
-Abu Dawud as-Sijstani: tsiqah
-An-Nasa’i: tsiqah
-Abu Hatim ar-Razi: shalih
-Al-Ajliy: tsiqah

8 orang
-Hammad ibn Salamah/Abu Salamah
-Hatim ibn Abi Shaghirah
-Dawud ibn Abi Hindin
10 orang
-Hakim ibn Mu’awiyah
-Harits ibn Abdillah
-Hasan ibn abi Hasan
Wafat: Bashrah, tahun tidak diketahui








Abu Qaza’ah/Suwaid ibn Hujair ibn Bayan










4 orang
-Suwaid ibn Hajiz/Abu Qaza’ah
-Sa’id ibn Ilyas
-Sa’id ibn Hakim ibn Mu’awiyah

1 orang
-Mu’awiyah ibn hidah ibn Mu’awiyah ibn Qusyairiy
Wafat: Bashrah, tahun tidak diketahui
Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairiy


2.      Manual: Versi Kitab Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِىُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ « أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ « وَلاَ تُقَبِّحْ ». أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ.

Artinya: Musa ibn Isma’il bercerita kepadaku, Hammad bercerita kepadaku, Abu Qaza’ah al-Bahili mengabarkan kepadaku dari Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, Ayahnya berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah apa sajakah hak istri kita?”, Rasul pun menjawab: “Hendaknya istrimu kau beri makan jika kau makan, jika kau bekerja, hendaknya kau beri pakaian kepadanya, jangan pukul wajahnya, jangan mencela dan menjauhi (pisah ranjang sementara) kecuali dalam rumah”






Jarh wa Ta’dil
Murid
Guru
TL-TW/Umur
Nama Perawi
-Musa ibn Isma’il: tsiqah, shaduq
-Abu al-Walid: tsiqah, shaduq
- Yahya ibn Mu’in: tsiqah, ma’mun
-Al-Ajliy: tsiqah
-Abu Hatim: tsiqah
-Muhammad ibn Said: tsiqah
-Ibn Hibban: “termasuk orang-orang yang sempurna/kwalitas baik”
60 orang
-Al-Bukhari
-Abu Dawud
-Ahmad ibn Dawud al-Maki
-Ahmad ibn Hasan/Abu Hasan
-Hasan ibn Ali
-Abdur Rahman ibn Abdil Wahhhab
41 orang
-Aban ibn Yazid al-Athar
-Ibrahim ibn sa’d az-Zuhri
-Tamim ibn Syarik
-Abu Muhammad Juwairiyah
-Hammad ibn Zaid/Abu Isma’il
-Hafs ibn Amr
-Hammad ibn Salamah/Abu Salamah

Wafat: Bashrah 223 Hijriyah
Musa ibn Isma’il/Abu salamah
-Ali ibn al-madini: termasuk rowi yang paling tsabit di antara ashab at-Tsabit
-Abdur Rahman ibn Mahdi: termasuk rowi yang punya pendengaran baik dan pandai
-Hammam: termasuk rowi yang mempunyai hafalan kuat
-Yahya ibn Mu’in:
tsiqah
-As-Saji: hafidz, tsiqah, ma’mun
-Al-Ajliy: tsiqah
-An-Nasa’i: tsiqah
-Muhammad ibn Sa’id: tsiqah
-Ibn Hibban: memasukkan dalam kitab “tsiqaat”
91 orang
-Musa ibn Isma’il/Abu Salamah
-Ibrahim ibn Hajjaj as-Sami
-Adam ibn Abi Iyas
149 orang
-Abu Qaza’ah/Suwaid ibn Hajiz
-Al-Azraq ibn Qais
-Asy’ats ibn Abdillah
-Abu Rabi’ah
-Suhail ibn Abi shalih
Wafat: Bashrah 167 Hijriyah
Hammad ibn Salamah ibn Dinar/Abu Salamah
-An-Nasa’i: tsiqah
-Ahmad ibn Hanbal: memasukkan dalam kitab “tsiqaat”
-Ali ibn al-Madini: tsiqah
-Abu Dawud as-Sijstani: tsiqah
-An-Nasa’i: tsiqah
-Abu Hatim ar-Razi: shalih
-Al-Ajliy: tsiqah

8 orang
-Hammad ibn Salamah/Abu Salamah
-Jabir al-Ju’fi
-Hajjaj ibn Hajjaj al-Bahili
-Syu’bah ibn al-Hajjaj
-Hatim ibn Abi Shaghirah
-Dawud ibn Abi Hindin
10 orang
-Hakim ibn Mu’awiyah
-Al-Asqa’ ibn
Asla’
-Anas ibn Malik
-Ikrimah al-Makhzumi
-Abi Nadlrah al-Abdi
-Harits ibn Abdillah
-Hasan ibn abi Hasan
Wafat: Bashrah, tahun tidak diketahui








Abu Qaza’ah/Suwaid ibn Hujair ibn Bayan









-Al-Ajliy: tsiqah
-Ibn Hibban: memasukkan dalam kitab “tsiqaat’
-An-Nasa’i: “laysa bihi ba’sun”(tidak terdapat cela)

4 orang
-Suwaid ibn Hajiz/Abu Qaza’ah
-Sa’id ibn Ilyas
-Sa’id ibn Hakim ibn Mu’awiyah

1 orang
-Mu’awiyah ibn hidah ibn Mu’awiyah ibn Qusyairiy
Wafat: Bashrah, tahun tidak diketahui
Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairiy







 









            Analisis Tingkatan Jarh wa at-Ta’dil
1.      Musa ibn Ismail (Abu Salamah), termasuk salah seorang rawi yang mempunyai tingkat ta’dil dengan kualitas baik. Ia menempati posisi kedua dari beberapa tingkatan ta’dil versi Mahmud at-Thahhan dalam Taysir Musthalah al-Hadis. Sebab, dalam redaksi penta’dilannya Musa ibn Ismail dikatakan tsiqah ma’mun dan tsiqah shaduq meski ada juga yang mengatakan tsiqah saja tanpa ada penguatan dengan sifat shaduq atau ma’mun.
2.      Hammad ibn salamah ibn Dinar (Abu salamah), termasuk seorang rawi yang mempunyai tingkat ta’dil dengan kualitas cukup baik. Ia menempati posisi ketiga dari beberapa tingkatan ta’dil versi Mahmud at-Thahhan dalam Taysir Musthalah al-Hadis. Sebab, sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ia termasuk rawi yang tsiqah saja tanpa penguatan sifat, meski ada juga yang mengatakan tsiqah ma’mun dengan penguatan sifat. Namun, penguatan dari sebagian kecil riwayat ini belum mampu mengangkatnya ke derajat kedua.[1]
3.      Abu Qaza’ah (Suwaid ibn Hujair), termasuk salah seorang rawi yang mempunyai derajat ta’dil dengan kualitas cukup baik. Ia menempati posisi ketiga dari beberapa tingkatan ta’dil versi Mahmud at-Thahhan dalam Taysir Musthalah al-Hadis. Sebab, sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ia termasuk rawi yang tsiqah saja tanpa penguatan sifat.
4.      Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi, termasuk salah seorang rawi yang mempunyai derajat ta’dil dengan kualitas cukup baik. Ia menempati posisi ketiga dari beberapa tingkatan ta’dil versi Mahmud at-Thahhan dalam Taysir Musthalah al-Hadis. Sebab, sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa ia termasuk rawi yang tsiqah saja tanpa penguatan sifat.[2]

3.      Kesimpulan Kualitas Sanad Hadis
Berdasarkan penelitian sanad hadis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis tentang hak istri yang diriwayatkan oleh Abu dawud tersebut termasuk hadis yang mempunyai kualitas sanad shahih sebab sanadnya bersambung dan para rawi yang meriwayatkan mempunyai tingkatan ta’dil yang baik.






B.      Penelitian Matan
1.      Relevansi dengan Nash al-Qur’an
            Sebagai sebuah sumber hukum utama, al-Qur’an sedikit banyak telah menyinggung persoalan rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan hak istri dalam hadis di atas. Ayat yang menjelaskan tentang permasalahan tersebut di antaranya adalah:
1.       Surat an-Nisa’: 19, tentang menggaluli istri secara baik,
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ  
(Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak)

                Ayat di atas secara substantif menyuruh seorang suami untuk mempergauli istri secara baik. Menurut imam Abu Ja’far at-Thabari, menggauki istri secara baik maksudnya adalah memperlakukannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah serta memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh istri atas suami.[3] Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang suami dalam memberikan hak terhadap istri, khususnya dalam hal pergaulan yang pada akhirnya kembali pada keahlian yang bersangkutan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis. Hal ini merupakan seni tersendiri dalam membina manejemen keluarga. Oleh karena itu harus dicari kiat-kiat tertentu untuk mewujudkan suasana kondusif, suasana sakinah, mawaddah wa rahmah. Suami harus menghindari hal-hal yang dapat membuat istri tersinggung atau tersakiti.
2.      Surat al-Baqarah: 222 dan 223 tentang  mendatangi istri atau memberi nafkah batin
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ   öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ̍Ïe±o0ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËËÌÈ  
 Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Ayat di atas turun berkenaan dengan peristiwa bangsa arab jahiliyah yang memperlakukan wanita-wanita yang sedang haid dengan perlakuan yang tidak manusiawi di mana para wanita haid dijauhi dan diasingkan.[4]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hubungan biologis adalah hak bersama dan merupakan sesuatu yang halal secara mutlak. As-Syaukani dalam Fathul Qadirnya menjelaskan bahwa suami diperbolehkan secara mutlak untuk mendatangi istrinya dengan cara apapun, yang penting adalah dilakukan pada tempat yang semestinya yakni jalan depan, meski didatangi dari arah belakang.[5] Namun ada sedikit batas, misalnya dari segi waktu, seorang suami tidak diperkenankan mendatangi istrinya di saat sang istri haid, saat siang hari bulan ramadlan atau saat ihram.
3.      Surat at-Thalaq: 6, tentang nafkah lahir bagi istri
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ  
 Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Terkait dengan pemahaman ayat di atas, imam al-Farra’ sebagaimana dikutip Fakhrur Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menjelaskan bahwa dalam hal memberikan tempat tinggal yang nyaman bagi istri itu dilakukan dengan bi qadri at thaqah (semampunya saja)[6], tidak perlu memaksakan dengan menyediakan tempat tinggal mewah sementara ia sendiri sejatinya tidak mampu untuk itu.
Secara umum ayat di atas memberikan pengertian bahwa:
1.      Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lain
2.      Istri harus mengikuti suami dan taat kepadanya.
3.      Besarnya kewajiban nafkah bergantung pada keleluasaan suami sebab Allah tidak memberatkan hamba-hambaNya dengan beban yang tertanggungkan. Jadi, pemberian nafkah itu atas kesanggupan suami dan bukan bergantung pada permintaan istri

2.      Hadis-hadis yang Semakna
أَخْبَرَنَا عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا يَزِيدُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ أَبِي قَزَعَةَ ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَهُ رَجُلٌ مَا حَقُّ الْمَرْأَةِ عَلَى زَوْجِهَا قَالَ : تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ ، وَلاَ تُقَبِّحْ ، وَلاَ تُهْجَرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ.[7]

أخبرنا محمد بن إسحاق بن خزيمة، قال: حدثنا محمد بن رافع1، عن يزيد بن هارون، قال: أخبرنا شعبة، عن أبي قزعة، عن حكيم بن معاوية، عن أبيه أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما حق المرأة على الزوج؟ قال: "يطعمها إذا طعم ويكسوها إذا اكتسى، ثم لا يضرب الوجه، ولا يقبح، ولا يهجر إلا في البيت.[8]
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة . حدثنا يزيد بن هارون عن شعبة عن أبي قزعة عن حكيم بن معاوية عن أبيه  : - أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه و سلم ما حق المرأة على الزوج ؟ قال ( أن يطعمها إذا طعم . وأن يكسوها إذا اكتسى . ولا يضرب الوجه . ولا يقبح . ولا يهجر إلا في البيت )[9]

عن عبد الرزاق عن بن جريج قال أخبرت عن هشام بن سعد عن سعيد بن أبي هلال أن النبي صلى الله عليه و سلم قال تناكحوا تكثروا فإني أباهي بكم الأمم يوم القيامة ينكح الرجل الشابة الوضيئة من أهل الذمة فإذا كبرت طلقها الله الله في النساء إن من حق المرأة على زوجها أن يطعمها ويكسوها فإن أتت بفاحشة فيضربها ضربا غير مبرح[10]

حدثنا سعدان بن يزيد البزاز ، ثنا يزيد بن هارون ، أنبا شعبة ، عن أبي قزعة ، عن حكيم بن معاوية ، عن أبيه ، أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم : ما حق المرأة على الزوج ؟ قال :  أن يطعمها إذا طعم ، ويكسوها إذا اكتسى ، ولا يضرب الوجه ، ولا يقبح ، ولا يهجر إلا في البيت. [11]

            Hadis-hadis tersebut secara substansi memiliki kesamaan dengan hadis riwayat Abu Dawud tentang hak istri, meskipun dengan redaksi yang berbeda. Secara umum hadis-hadis di atas mengandung makna bahwa di antara yang menjadi hak istri atas suami adalah diberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan mempergaulinya secara baik. Dengan demikian hadis riwayat Abu Dawud yang dikaji dalam makalah ini mempunyai kaitan substansial yang amat erat dengan hadis-hadis lain, sehingga secara otomatis dapat menambah validitas kesahihan matannya.

3.      Fakta Historis Hak Istri
            Pada zaman jahiliyah, hak-hak wanita hampir tidak ada. Yang tampak hanyalah kewajibannya semata. Hal ini karena status wanita dianggap sangat rendah dan hampir diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak berguna. Pandangan seperti di atas boleh jadi disebabkan oleh situasi dan kondisi ketika itu yang memerlukan kekuatan fisik untuk mempertahankan hidup. Habitat yang buas menuntut ketahanan fisik yang kuat dalam mengarungi kehidupan, di samping persaingan yang tidak sehat dalam mencari kebutuhan hidup. Ketika itu, kehidupan manusia bergantung pada pemberian alam sehingga mereka saling mendahului untuk mencapai kebutuhannya. Pada saat semuanya habis, mereka mencari dan berpindah ke tempat lain. Kehidupan yang nomadis seperti itu jelas memerlukan kekuatan fisik dan ketangkasan sebab tidak jarang menimbulkan bentrokan fisik dalam mempertahankan sumber-sumber penghidupan, lahan, makanan dan air. Semua itu tidak dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai fisik lemah seperti wanita.[12]
            Secara anatomis, wanita mempunyai jasad yang lemah, karenanya ia tidak dapat berbuat banyak dalam melawan arus kehidupan yang serba keras dan buas. Hal ini memunculkan stigma negatif pada wanita. Hanya saat kebutuhan seksual menagih, wanita dibutuhkan dan setelah itu wanita kembali pada statusnya yang diperlakukan tak lebih sebagai barang yang hampa guna.
            Dalam sejarah kemanusiaan, betapa hal di atas memang terjadi. Pemilikan wanita oleh raja-raja tempo dulu mengarah pada asumsi di atas bahwa wanita menjadi simbol pemuasan seksual belaka. Mereka dikumpulkan di suatu tempat di lingkungan istana dengan jumlah yang fantastis, kemudian secara bergiliran bahkan secara kolektif dipanggil untuk memenuhi hasrat biologis raja atau atau orang-orang besar di lingkungan istana. Dalam istilah raja mesir kuno, wanita-wanita tersebut dipanggil dengan sebutan hareem. Saat ini praktek semacam itu masih mungkin terjadi, namun dengan format yang berbeda.[13]
            Hadirnya Islam pada abad VI masehi mengubah ketimpangan tersebut dan mendudukkan wanita pada tempat yang layak sebagai manusia pada umumnya. Dari segi moral, Islam menganugerahkan wanita persamaan hak dalam segala bidang kehidupan. Tuhan menilai bahwa apa yang diperbuat wanita, baik atau buruk akan  mendapat pahala atau siksa, sebagaimana pada laki-laki.
4.      Hak Istri dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974
            Salah satu prinsip yang dianut UU Perkawinan No.1/1974 adalah prinsip memperbaiki derajat kaum wanita. Prinsip ini mengemukakan pengamatan sejarah kemanusiaan sejak dahulu serta oraktek-praktek masa kini, yaitu pelecehan terhadap harkat wanita. Ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Wanita menjadi korban kesewenangan kaum pria. Berpijak dari hal itulah kemudian dibuat undang-undang yang mengatur  perkawinan, khususnya yang terkait dengan hak suami istri supaya ketimpangan-ketimpangan social dan ketidakadilan gender bisa segera teratasi. [14]
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI
Pasal 30
Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah Kepala Keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
            Dalam KHI, masalah hak dan kewajiban suami istri dijelaskan dalam bab XII tentang hak dan kewajiban suami istri, terdiri atas dua pasal, yaitu pasal 77 dan 78, kedudukan suami istri, pasal 79 dengan 3 ayat, tentang kewajiban suami pasal 80 dengan 7 ayat, tentang kediaman pasal 81 dengan 4 ayat, kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang pasl 82 dengan 2 ayat dan tentang kewajiban istri, pasal 83 dan 84, keduanya masing-masing berisi 2 dan 4 ayat.[15]




5.      Kesimpulan Kualitas Matan Hadis
            Berdasar pemaparan di atas, dapat diambil benang merah bahwa hadis tentang hak istri tersebut mempunyai keterkaitan dan kesesuaian yang sangat erat dengan nash al-Qur’an, nash hadis lain, fakta sejarah, undang-undang dan logika sehat manusia di mana konsep tentang pengaturan hak-hak wanita dewasa ini adalah sesuatu yang niscaya sebagai bentuk perwujudan dari asas keadilan dan kesetaraan. Oleh karenanya secara substansi/isi, hadis tersebut mempunyai makna yang shahih.
C.    Pemahaman Hadis
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِىُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ « أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ « وَلاَ تُقَبِّحْ ». أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ.
Artinya: Musa ibn Isma’il bercerita kepadaku, Hammad bercerita kepadaku, Abu Qaza’ah al-Bahili mengabarkan kepadaku dari Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, Ayahnya berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah apa sajakah hak istri kita?”, Rasul pun menjawab: “Hendaknya istrimu kau beri makan jika kau makan, jika kau bekerja, hendaknya kau beri pakaian kepadanya, jangan pukul wajahnya, jangan mencela dan menjauhi (pisah ranjang sementara) kecuali dalam rumah”.

            Hadis yang diriwayatkan oleh abu dawud tersebut menjelaskan tentang hak istri atas suami. Hadis tersebut memberikan gambaran betapa sahabat mempunyai perhatian yang amat besar terhadap hukum-hukum Tuhan, khususnya yang terkait dengan kewajiban terhadap istri-istri mereka. Terbukti, pada hadis di atas seorang Mu’awiyah yang nota bene adalah ayah dari Hakim menanyakan perihal hak istri yang harus ditunaikan oleh seorang suami. Rasulullah lantas memberkan jawaban bahwa hak-hak istri itu antara lain adalah memberinya makan, pakaian,  tidak diperkenankan memukulnya di bagian wajah, tidak mencelanya dan tidak menjauhinya (pisah ranjang sementara) kecuali di dalam rumah. Pemberian makan dan pakaian terhadap istri oleh sang suami ini memang wajar. Sebab, seorang suami yang statusnya adalah sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.[16]
Sementara itu terkait dengan ketidakbolehan memukul istri di bagian wajah, hal ini dikarenakan karena bagian wajah adalah bagian yang sangat rentan luka. Wajah memiliki bagian-bagian yang sangat sensitif terhadap pukulan seperti dua mata dan hidung. Jika bagian wajah terkena pukulan, maka akibatnya akan sangat fatal. Hal ini tidak diperkenankan dalam Islam, sebab betapapun seorang suami diperkenankan memukul istri pada selain wajah, itu pun dengan catatan pukulannya tidak sampai membuat sang istri mengalami kesakitan yang parah. Pukulan tersebut dimaksudkan untuk ta’dib/mendidik, bukan pukulan kemarahan atau pukulan emosi. Seorang suami juga dilarang mengejek istri dengan ejekan yang tidak layak semisal mengucapkan “Qabbahakillah”, (Allah menghinamu). Sebenarnya larangan mengejek ini tidak hanya berlaku pada istri saja, tetapi pada semua orang. Sebab, Islam melarang umatnya untuk saling mengejek. Selanjutnya, pada hadis di atas juga dijelaskan bahwa seorang suami tidak diperkenankan untuk menjauhinya kecuali dalam rumah.[17] Ini bukan berarti seorang suami diperbolehkan menjauhi istri di rumah secara mutlak, yakni tidak berkumpul dan berbicara padanya sama sekali, tetapi maksudnya adalah seorang suami sekedar menjauhi dan tidak tidur dalam satu ranjang dengannya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengajaran (ta’dib) terhadap istri supaya ia tidak lagi melakukan nusyuz.[18]  Hadis ini memberikan bukti bahwa Islam adalah suatu agama yang amat menghargai wanita.

D.    Penelitian Living Sunnah atau Living Hadis
1.      Sekilas tentang Living Sunnah
Sejak zaman sahabat, sunnah sebenarnya telah berlaku di masyarakat secara baik dan cukup ideal. Praktek, Pemahaman dan penafsiran terhadap sunnah Nabi secara kontinyu dan progresif yang dilakukan oleh sahabat inilah yang kemudian dianggap sebagai living sunnah.
Living sunnah yang mereka terapkan pada waktu itu lebih mirip dengan ijma’ yang berlaku.  Mereka berusaha menemukan ruh dari hadits yang berkaitan dengan masalah yang ingin mereka cari penyelesaiannya.
Salah satu contoh living sunnah pada masa sahabat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn Khalid al-Juhanni: 
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِىُّ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ يَزِيدَ مَوْلَى الْمُنْبَعِثِ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ أَنَّهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَأَلَهُ عَنِ اللُّقَطَةِ فَقَالَ « اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلاَّ فَشَأْنَكَ بِهَا ». قَالَ فَضَالَّةُ الْغَنَمِ قَالَ « لَكَ أَوْ لأَخِيكَ أَوْ لِلذِّئْبِ ». قَالَ فَضَالَّةُ الإِبِلِ قَالَ « مَا لَكَ وَلَهَا مَعَهَا سِقَاؤُهَا وَحِذَاؤُهَا تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا ». قَالَ يَحْيَى أَحْسِبُ قَرَأْتُ عِفَاصَهَا[19]
Pada hadis di atas disebutkan bahwa suatu ketika seorang lelaki datang kepada Nabi untuk bertanya tentang barang temuan. Rasulullah bersabda: Kenalilah wadah dan talinya, lalu umumkanlah setahun, jika pemiliknya datang, maka berikanlah. Kalau tidak, maka terserah kepadamu. Orang itu bertanya lagi: Bagaimana kalau temuan itu berupa kambing? Rasulullah bersabda: Untukmu atau untuk saudaramu atau untuk serigala (berarti boleh diambil). Orang itu kembali bertanya: Bagaimana jika temuan itu berupa unta? Rasulullah bersabda: Apa pedulimu terhadapnya? Dia (unta itu) sudah membawa wadah air dan sepatunya sendiri (kuat menahan dahaga beberapa hari dan kuat berjalan). Dia dapat datang ke tempat air dan memakan pepohonan sampai ditemukan oleh pemiliknya.
Apa yang dilakukan Rasulullah ini sampai kepada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, namun sampai kepada sahabat Usman, kebijakan ini diubah dengan menangkapnya dan menjualnya. Bila pemiliknya datang maka uang hasil jualan tersebut diserahkan.
Pada zaman Umar bin al- Khattab, unta-unta yang tersesat dibiarkan berkeliaran dan beranak pinak sendiri, tidak seorangpun menyentuhnya. Sampai ketika masa Usman, ia memerintahkan agar unta-unta itu ditangkap kemudian diumumkan didepan umum ( untuk mengetahui siapa pemiliknya ) kemudian dijual. Apabila pemiliknya datang maka diberikanlah harganya.”
Disaat manusia telah beruabah sikapnya, dari menjaga amanat menjadi berkhianat dan dari menjaga diri dari hak orang lain, maka tindakan membiarkan unta-unta yang tersesat berkeliaran sama saja dengan membiarkan pamiliknya mengalami kerugian. Oleh karenanya merupakan keharusan untuk mencegah madharat yang diperkirakan akan terjadi.
Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu dari sahabat senior menyetujui apa yang dilakukan oleh Usman tersebut. Bahkan beliau melakukan perbaikan kebijakan tersebut dengan mengusulkan bahwa menjual unta mungkin saja bisa merugikan pemiliknya karena harganya yang menurun. Maka yang lebih baik setelah ditangkap adalah dengan memeliharanya dengan yang Negara ( bait al-mâl ) sampai pemiliknya mengambil.[20]
Tindakan dari para al-Khulafa’ ar-Rasyidun tersebut adalah tindakan pemahaman dan praktek terhadap sunnah Nabi secara aktual dan progresif di mana dalam hal ini hadis tidak dipahami secara tekstual sebagaimana adanya. Mereka mengambil substansi dari apa yang disampaikan oleh Rasul. Tindakan inilah yang kemudian disebut sebagai living sunnah, yakni berusaha menghidupkan sunnah Nabi di masyarakat secara progresif, kontinyu dan aktual.

2.      Living Sunnah di Masyarakat Palangan
            Terkait dengan hadis tentang hak istri yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud di atas secara umum telah berlaku secara cukup baik di  Palangan, sebuah desa yang terletak di utara kota Lamongan. Terbukti, sejauh pengamatan peneliti sangat jarang terjadi kasus perceraian yang disebabkan tidak adanya pemenuhan hak istri oleh suami. Kasus perceraian lebih banyak disebabkan tindakan suami ataupun istri akibat perselingkuhan.
            Masyarakat desa palangan boleh dikatakan telah sangat faham akan hak-hak maupun kewajiban antara suami istri meski sebagian besar mereka tidak mengetahui landasan normatif dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Mereka menunaikan hak-hak istri lebih berdasar pada adat istiadat maupun logika sehat. Jika secara logika dan adat Sesuatu itu dianggap sebagai salah satu hal baik dalam rumah tangga, maka sesuatu itupun akan dianggap baik pula dan akan dilaksanakan secara konsisten. Praktek semacam ini bukan berarti tidak Islami, tetapi justru hal ini membuktikan bahwa terdapat kesesuaian antara logika sehat dengan dogma Islam. Masyarakat palangan boleh dikatakan telah menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam.
            Bapak Nur Hadi, salah seorang tokoh masyarakat desa setempat, ketika ditanya mengenai hadis tersebut menuturkan bahwa beliau sendiri belum pernah mendengar hadis ini sebelumnya. Hal ini wajar, sebab beliau termasuk orang yang tidak bergelut di bidang keagamaan. Pemahaman beliau mengenai hak istri diketahui melalui kebiasaan atau tradisi masyarakat setempat atau melalui kreatifitas nalar sehat. Lebih lanjut, bapak Nur Hadi menuturkan bahwa selama ini beliau telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami dan menunaikan apa yang menjadi hak istri. Beliau tidak pernah menelantarkan atau membiarkan istri hidup dalam kesusahan apalagi melakukan kekerasan terhadap istri. Ini membuktikan bahwa sebenarnya apa yang dilakukan oleh bapak Nur Hadi telah sejalan dengan ajaran Islam tentang hak istri meski beliau sendiri tidak mengetahui landasan argumentatif dari as-Sunnah tentang hak istri.     













BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tentang hadis hak istri yang diriwayatkan oleh imam Abu Dawud yang meliputi aspek sanad maupun matannya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.      Hadis riwayat Abu Dawud tersebut mempunyai kualitas sanad baik
2.      Hadis riwayat Abu Dawud tersebut mempunyai kualitas matan baik
3.      Secara keseluruhan, hadis di atas mempunyai kualitas derajat shahih
4.      Secara umum, hadis di atas telah berlaku di masyarakat dengan cukup baik.


















DAFTAR PUSTAKA

Abdur Razzaq, Abu Bakar, Mushannaf Abd ar-Razzaq, Beirut: Al-Maktab al-Islami, t.t.
Ad-Darimi, Muhammad Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban, t.tp: Muassasah Risalah, t.t.
Al-Kharaithi, Abu Bakar Muhammad, Masawi’ al-Akhlaq, t.tp, t.p, t.t.
Al-Qurthubi, Syamsuddin, Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964.
Al-Mazi, Jamaluddin, Tahdzib al-Kamal fi asma’ ar-Rijal, Beirut: Mu’assasah Risalah, t.t.
An-Naisaburi, Abu al-Husain ibn Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.
An-Nasa’i, Abu Abdur Rahman, As-Sunan al-Kubra, t.tp: Muassasah Risalah, t.t.
Ar-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, 2000.
As-Syafi’i, Muhammad Ali ibn Muhammad, Dalil as-Falihin li Thuruq Riyadl as-Shalihin, t.tp, t.p., t.t
As-Syaukani, Ibnu Muhammad, Fath al-Qadir baina fannay ar-riwayah wa ad-Dirayah, t.tp: t.t.
At-Thabari, Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan, t.tp: Mu’assasah Risalah, 2000.
At-Thahhan, Mahmud, Taysir Musthalah al-Hadis, Alexandria: t.p, t.t.
Al-Ubbadi, Abdul Muhsin, Syarah sunan abi Dawud, t.tp.tp.tt.
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Ibn Yazid, Muhammad, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Mausu’ah al-Hadis as-Syarif.




[1] Mahmud at-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadis, (Alexandria: t.p, t.t), hlm. 32.
[2] Ibid., hlm, 33.
[3] Abu Ja’far at-Thabari, Jami’ al-Bayan, (t.tp: Mu’assasah Risalah, 2000), Juz 8, hlm. 121.
[4] Syamsuddin al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 3, hlm. 80.

[5] Ibnu Muhammad as-syaukani, Fath al-Qadir baina fannay ar-riwayah wa ad-Dirayah, (t.tp: t.t), juz. 1, hlm. 303.
[6] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, 2000), juz 30, hlm. 33.
[7] Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, As-Sunan al-Kubra, (t.tp: Muassasah Risalah, t.t), juz 8, hlm. 266.

[8] Muhammad Ibn Hibban ad-Darimi, Shahih Ibn Hibban, (t.tp: Muassasah Risalah, t.t), juz 9, hlm. 482.

[9] Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), juz 1, hlm. 593.
[10] Abu Bakar Abdur razzaq, Mushannaf Abd ar-Razzaq, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, t.t), juz 6, hlm. 173.

[11] Abu Bakar Muhammad al-Kharaithi, Masawi’ al-Akhlaq, (t.tp, t.p, t.t), juz 2, hlm. 240.
[12] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 95.
[13] Ibid., hlm. 96.

[14] Ibid., hlm. 104.
[15] Ibid., hlm. 105.
[16] Abdul Muhsin al-Ubbadi, Syarah Sunan Abi Dawud, (t.tp.tp.tt.), hlm. Juz 12, hlm. 115.
[17] Muhammad Ali ibn Muhammad as-syafi’i, Dalil as-Falihin li Thuruq Riyadl as-Shalihin, (t.tp, t.p., t.t), juz 2, hlm. 398.

[18] Opcit., hlm. 116.
[19] Abu al-Husain ibn Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t), Juz 5, hlm. 133.