Rabu, 06 Juli 2011

Hermeneutik


 HERMENEUTIK; Sebuah upaya menuju interpretasi progresif

ABSTRAKSI
            Sebagai pedoman dan petunjuk hidup manusia, al-Qur’an menuntut untuk dipahami, dimengerti dan dibedah kandungan maknanya. Karena ia berupa teks, maka media utama dalam memahaminya adalah melalui teks itu sendiri. Dari teks suci inilah kemudian muncul beragam bentuk pemahaman atas teks tersebut. Embrio keberagaman metode pemahaman interpretasi dari teks suci yang bernama al-Qur’an itu bermula dari dualisme sifat al-Qur’an yang terkesan agak kontradiktif. Al-Qur’an yang merupakan kalam Tuhan bersifat abadi, kekal dan sakral, namun di sisi lain, ia merupakan teks yang mempunyai sejarah. Ia amat lekat dengan nuansa lokalitas budaya arab yang melingkupi pada saat itu. Dengan demikian, al-Qur’an dalam hal ini adalah sesuatu yang ahistoris (Transenden dan sakral) dan historis (profan) sekaligus.
            Kenyataan yang banyak muncul di hadapan kita saat ini adalah masih menjamurnya pemikiran-pemikiran yang memposisikan al-Qur’an sebagai teks yang masuk pada wilayah transendental semata. Akibatnya, sisi historisis, sosiologis dan antropologis teks menjadi terabaikan. Interpretasi dengan pijakan demikian menjadikan produk formulasi pemahaman teks statis, tidak berkembang, kaku, tidak fleksibel dan tidak peka era.
            Dari sinilah kemudian muncul manhaj interpretasi baru yang coba ditawarkan oleh para pemikir-pemikir Islam kontemporer sebagai bentuk solusi sekaligus reaksi atas pemahaman Islam yang selama ini dirasa kurang relevan dengan era  kekinian. Manhaj tafsir itu bernama Hermeneutik. Dalam uraian singkat ini, penulis akan mencoba sedikit mengeksplorasi tentang manhaj kontroversial yang ditakuti oleh sebagian umat Islam itu.
           
PEMBAHASAN
1.      Artikulasi dan Historisitas Hermeneutik
Secara etimologis, kata “Hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani Hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Maka kata benda Hermeneia dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Term ini memiliki asosiasi etimologi dengan sebuah nama dalam mitologi Yunani yaitu Hermes. Hermes adalah salah satu dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan-pesan Tuhan kepada manusia.[1] Ia digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap dan lebih banyak dikenal dengan sebutan merkurius dalam bahasa latin.[2] Dengan demikian, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai suatu proses mengubah sesuatu atau situsi ketidaktahuan  menjadi situasi yang diketahui. Dengan kata lain, metode hermeneutik adalah sebuah metode yang mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks (Nazhariyat Ta’wil an-Nushus) dengan mengajukan pendekatan-pendekatan disiplin ilmu lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.[3]
Sejarah hermeneutik adalah sejarah panjang dan fluktuatif. Lebih-lebih ketika ia disandingkan dengan teks suci. Istilah hermeneutik pertama kali dipopulerkan oleh plato (347 SM) dalam salah satu karyanya definition. Dalam karya tersebut, Plato mendefinisikannya sebagai penunjuk sesuatu. Dari sini kemudian hermeneutik berkembang menjadi ilmu interpretasi alegoris di bawah pelopor Stoicisme (300 SM) yang mencoba memahami teks dengan mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pengertian literal. Dari alegoris, selanjutnya hermeneutik berkembang ke semiotika (teori tentang simbol) di bawah pelopor Augustune of Hippo (230 SM). Setelah itu, metode ini merambah ke wilayah teologis, yang pada saat itu digunakan untuk membedah kandungan Bibel.[4]
Hermeneutik dalam tradisi barat, pada asalnya merupakan bagian dari ilmu filologi, yakni sebuah disiplin ilmu yang mengkaji tentang asal-usul bahasa dan teks. Maka kajian hermeneutik sangat erat kaitannya dengan konsep historiografi. Mulai abad ke 16, hermeneutik mengalami perkembangan dan memperoleh perhatian serius ketika kalangan ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai autentisitas Bibel. Mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan Bibel yang dalam berbagai hal dianggap bertentangan. Memasuki akhir abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman dan sekaligus tantangan bagi ilmu-ilmu sosial, terlebih sejarah dan sosiologi. Hal ini disebabkan karena metode ini lebih banyak menggugat konsep ilmu sosial secara umum.[5]

2.      Metode Kerja Hermeneutik
Sebenarnya term Hermeneutik memiliki banyak artikulasi. Setidaknya ada 3 definisi yang perlu diketahui sebelum melangkah lebih jauh pada cara kerja hermeneutik. Pertama, ia diartikan sebagai peralihan dari sesuatu yang relatif abstrak -seperti ide pemikiran- ke dalama bentuk ungkapan-ungkapan yang kongkrit, misalnya dalam bentuk bahasa. Kedua, ia juga bisa bermakna sebagai usaha transformasi dari bahasa asing yang gelap makna menuju bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca. Ketiga, yakni sebuah proses pemindahan suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas diubah menjadi ungkapan yang lebih jelas.[6] Berbagai macam jenis artikulasi tentang hermeneutik di atas, menerut hemat penulis, mempunyai esensi maksud yang sama, yakni dengan menganggap metode hermeneutik sebagai metode penjelas terhadap sesuatu yang masih kabur makna menjadi sesuatu yang terang makna. Sehingga pada akhirnya, pembaca mampu memahami sesuatu tersebut secara komprehensif walau berada di situasi dan kondisi yang berbeda. Hal ini memberikan indikasi kuat  bahwa teori hermeneutik berusaha untuk memahami teks secara radikal supaya relevansi sebuah teks  dengan kondisi sosial budaya yang melingkupi pada saat teks itu berdialog menjadi terpelihara.
Sebagai sebuah metode interpretasi, hermeneutik tidak hanya terfokus pada teks  kemudian menyelami makna literal semata. Namun, lebih dari itu hermeneutik berusaha menggali makna terdalam dengan mempertimbangkan beberapa aspek penting atau dengan kata lain hermeneutik berusaha menggapai narasi tak terbaca dari narasi permukaan (terbaca). Ketiga unsur prinsipil dalam kerja hermeneutik tersebut adalah unsur teks, unsur pengarang dan unsur pembaca.[7]
Cara kerja hermeneutik yang tidak hanya sekedar menggali dari makna literal teks inilah yang kemudian menurut hemat penulis menjadi suatu ciri khas sekaligus kelebihan tersendiri di antara model-model interpretasi ulama klasik yang lain. Hermeneutik berusaha mengungkap makna tersembunyi dibalik teks yang sebelumnya tidak terbaca. Sementara model interpretasi yang selama ini banyak dikembangkan oleh ulama klasik dalam memahami teks suci al-Qur’an belum menyentuh apa yang oleh M. Shofan disebut sebagai “narasi tak terbaca”. Model interpretasi klasik masih bertumpu pada makna literal teks. Akibatnya, model penafsiran semacam ini akan mudah terjebak pada sesuatu yang disebut oleh Nashr Hamid Abu Zayd sebagai pembacaan ideologis-tendensius (Qira’ah Talwiniyah Mughridlah). Selanjutnya dari pembacaan semacam ini melahirkan model pembacaan yang oleh Khaled Abou al-Fadl disebut sebagai “Hermeneutik otoriter”.   
Proses kerja dalam hermeneutik, sebagaimana yang telah disinggung di atas sangat bergantung pada ketiga unsur pokok yang merupakan ruh dari mekanisme metode ini. Demikian pula dalam menginterpretasikan teks suci al-Qur’an. Pengarang (Allah), teks (al-Qur’an) dan penafsir (manusia) harus senantiasa diperhatikan. Ketiganya hendaknya selalu berdialektika satu sama lain.
Teks al-Qur’an akan akan dapat berfungsi dan berkomunikasi bila maknanya dibangun atas sistem tanda yang ada. Makna itu berada dalam teks, otak pengarang, dan benak pembacanya (The world of the text, The world of author dan The world of reader).[8]
Dalam manhaj ini, manusia yang statusnya sebagai penafsir mendudukii posisi penting. Oleh karenanya, dalam paradigma hermeneutik tidak ada kebenaran tunggal penafsiran. Yang ada hanyalah relativitas penafsiran yang bersumber pada maksud dan tujuan manusia. Yang dimaksud di sini bukan berarti tidak ada kebenaran tafsir sama sekali, namun sebuah karya tafsir bisa masih mempunyai kesempatan untuk direkonstruksi dan direlevansikan dengan kondisi dan konteks yang berkembang.
Dalam setiap penafsiran, tentunya memunculkan suatu pemahaman kebenaran yang bersifat relatif. Relativisme kebenaran ini berbeda dengan nihilisme yang oleh Gianni Vatimo didefinisikan dengan situasi kehidupan di mana manusia mengingkari secara tegas adanya landasan yang dianggap mutlak. Paham ini kemudian diekspresikan oleh Nietszhe sebagai “Kematian Tuhan”. Karena Paham nihilisme ini tidak mengakui sumber absolut, maka yang terjadi kemudian adalah adanya anggapan bahwa teks tak ubahnya rentetan jejak yang tidak memiliki batas akhir, ia berlari dari satu teks ke teks lain, dari penafsiran ke penafsiran lain yang tiada berkesudahan, hingga pada akhirnya terjatuh pada nihilisme.[9] 
Dengan melakukan ziarah historis dan dialog hermeneutik maka yang muncul adalah sebuah pemahaman utuh terhadap pesan al-Qur’an dan tradisi keislaman selalu dapat diperbaharui dan diperluas horisonnya, sehingga tidak statis dan menutup diri menjadi ideologi sakral. Pesan al-Quran harus senantiasa relevan dengan kondisi dan situasi di mana teks itu berada. Sebab bagaimanapun juga teks al-Qur’an tidak lahir dari sesuatu yang hampa. Ia lahir dan berdialektika dengan zaman. Maka, menurut penulis, bisa dibenarkan ketika seorang Nashr Hamid mengatakan bahwa sebenarnya al-Qur’an adalah produk budaya (al-Muntaj ats-Tsaqafiy), karena memang al-Qur’an muncul sebagai akibat dan respon dari budaya di mana al-Qur’an itu hadir. Namun, pada akhirnya teks sakral itu kemudian menjelma menjadi produser budaya (al-Muntij ats-Tsaqafiy), yang menciptakan budaya baru sesuai dengan pandangan dunianya.
Sebenarnya Teori-teori dasar hermeneutik, secara tidak langsung sudah disentuh oleh mufassir-mufassir klasik seperti Jalalayn. Namun baru langkah kecil dari analisis kebahasaan yang disentuhnya. Ia belum sampai pada taraf analisis redaksi, gaya bahasa dan sebagainya. Sebagai bukti, dalam kitab tersebut –sebagaimana dikutip Machasin- dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tafsir adalah usaha memaknai firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia). Dari sini terlihat bahwa seorang mufassir klasik pun sebetulnya sudah menyadari bahwa apa yang dihasilkan sebuah tafsir hanyalah percobaan untuk mengerti maksud Allah.[10]
Untuk mempermudah memahami cara kerja hermeneutik, ada baiknya penulis mengulas sedikit tentang metode penafsiran yang dilakukan oleh seorang pemikir kontemporer, Fazlur Rahman. Dalam petualangan tafsirnya, ia sudah memasukkan unsur hermeneutik di dalamnya. Ia menyatakan bahwa untuk mencapai pesan inti dari teks suci al-Qur’an haruslah dengan menggunakan dua pergerakan atau yang lebih sering disebut dengan istilah “Double Movement”. Gerakan ini menjalankan perumusan visi al-Qur’an yang utuh untuk kemudian menerapkan prinsip umum sesuai dengan masa sekarang atau dengan ungkapan lain, dari situasi sekarang ke masa di mana al-Qur’an itu turun, kemudian kembali lagi ke masa kini.
Pergerakan pertama, adalah memahami al-Qur’an secara keseluruhan. Dalam gerak pertama ini terdapat dua tahap. Tahap pertama adalah mempelajari situasi historis dan kajian atas teks-teks al-Qur’an dalam situasi spesifik, kemudian mencari nilai moral etisnya. Tahap kedua adalah melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik dengan melihat latar belakang sosio historisnya dan alasan-alasan dibalik pemberlakuan hukum.
Pergerakan kedua, adalah menerapkan tujuan umum yang telah diperoleh dari pergerakan pertama ke dalam konteks sosial budaya masa kini. Aplikasi gerak ini membutuhkan kajian tentang situasi masa kini untuk mengubahnya, kemudian menetapkan prioritas untuk penyegaran implementasi nilai-nilai al-Qur’an.[11]     

3.      Kontribusi Hermeneutik dalam Khazanah Pemikiran Islam
Sampai detik ini, masih terdapat sebagian kalangan umat Islam yang amat anti terhadap manhaj interpretasi ini. Ia dianggap sebagai momok menakutkan yang perlu untuk dibinasakan. Bahkan, bila perlu penafsir yang menggunakan manhaj ini ikut dibinasakan sekaligus. Darahnya halal. Ia dianggap sebagai kafir dan berbagai macam stigma negatif lainnya.
Sikap semacam ini, menurut hemat penulis tidak perlu dilakukan. Jangan kemudian karena manhaj ini berasal dari barat, lantas dengan sangat mudahnya kita mengatakan bahwa manhaj ini adalah manhaj iblis. Setiap yang berasal dari barat haram untuk dimanfaatkan umat Islam. Pandangan seperti ini amatlah naif, tidak dewasa dan cenderung mempunyai sifat egois berlebih.
Alangkah indahnya jika kemudian umat Islam membuka diri pada hal-hal baru yang dirasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat Islam secara keseluruhan. Bukankah kita sering mendengar adagium “Al-Muhafadhotu alal Qadim as-Shalih wal Akhdzu bil Jadid al-Ashlah”?
Menurut Machasin, seorang guru besar di UIN Sunan Kalijaga, ketakutan atas hermeneutik ini, disebabkan adanya paranoid berlebihan bahwa ketika metode hermeneutik ini diaplikasikan dalam interpretasi teks al-Qur’an akan menyebabkan hilangnya kesakralan kitab ini. Kekhawatiran seperti ini sebebarnya dapat dijawab dengan mengatakan bahwa hermeneutika sama sekali tidak berkaitan dengan masalah apakah al-Qur’an itu firman Tuhan atau bukan. Hermneutika sejatinya hanya ingin mempertanyakan apakah pemahaman kita tentang al-Qur’an sudah benar atau tidak. Dengan demikian unsur sakralitas al-Qur’an masih tetap utuh.[12]
Sebagaimana telah disinggung di atas, Hermeneutik lahir dari rahim mitologi, kemudian berlari ke bibel, lantas tumbuh menjadi salah satu konsentrasi dalam filasafat. Betapapun demikian, “membeli” teori tersebut untuk kemudian diterapkan dalam memahami pesan teks suci al-Qur’an adalah sesuatu yang layak untuk dipertimbangkan. Sebab, salah satu problem yang hendak dipecahkan dalam teori ini adalah bagaimana menafsirkan teks secara kritis, obyektif, dan kontekstual. Teori ini berusaha membaca sebuah teks keagamaan masa silam dan menghadirkannya kembali kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan waktu yang jauh berbeda. Untuk itulah, teori ini sangat layak untuk dikembangkan dalam seni interpretasi teks suci al-Qur’an.

PENUTUP
Kesimpulan
Hermeneutika adalah salah satu seni dalam interpretasi teks. Mengingat cara kerja teori ini yang berusaha untuk memahami teks secara komprehensif, maka teori ini sangat relevan untuk penafsiran teks suci al-Qur’an supaya Subtilitas Intelegendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas ecsplicandi (ketepatan penjabaran) terhadap pesan teks dapat terjaga secara utuh.
Upaya merekonstruksi terhadap corak interpretasi teks al-Qur’an yang literalis-skripturalis dan statis menjadi sebuah keharusan. Salah satu media untuk mencapainya adalah dengan melakukan gebrakan metode interpretasi yang tepat agar tercipta pemahaman keislaman yang fleksibel, kontekstual, tidak statis dan progresif. Wallahu A’lam.
















[1] Hilman Latif, Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm. 71.
[2] M. Shofan, Jalan Ketiga pemikiran Islam, (Yogyakarta: Ircisod, 2006), hlm. 228.
[3]  Opcit, hlm. 71.
[4] M. Shofan, Jalan Ketiga pemikiran Islam, (Yogyakarta: Ircisod, 2006), hlm. 229.
[5] Ibid., hlm. 138.
[6]  Lukman Thahir, Studi Islam interdisipliner, (Yogyakarta: Qirtas, 2004), hlm. 8.
[7] Opcit., hlm. 233.
[8]  Ilyas Supena, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm.258
[9]  M. Shofan, Jalan Ketiga pemikiran Islam, (Yogyakarta: Ircisod, 2006), hlm. 236.
[10]  Lihat selengkapnya pada Jurnal Gerbang, Sumbangan Hermeneutik terhadap Ilmu Tafsir, Edisi 14, 2003, hlm.126
[11]  Opcit., hlm. 241.
[12]  Lihat selengkapnya pada jurnal Gerbang, Sumbangan Hermeneutik terhadap Ilmu Tafsir,  edisi  14, 2003, hlm. 126.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar