Minggu, 01 Januari 2012

NEGOSIASI HUDUD TUHAN


                                                                            BAB I
PENDAHULUAN

            Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk selalu bisa hidup berdampingan dan harmonis satu sama lain. Menciptakan suasana kondusif, tentram dan damai antar sesama menjadi sesuatu yang niscaya. Di sisi lain, betapapun suasana harmonis menjadi sebuah keharusan dalam bermasyarakat, namun potensi terjadinya konflik menjadi sesuatu yang amat sulit untuk dihindari. Karena itulah kemudian penyelesaian dan pencarian solusinya menjadi harga mati yang tak bisa ditawar.
            Salah satu cara yang bisa ditempuh sebagai bentuk pencarian solusi terhadap konflik adalah dengan bernegosiasi, meskipun strategi negosiasi ini tak hanya digunakan saat terjadi konflik saja. Lebih dari itu, ia juga biasa digunakan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan.
            Penggunaan strategi negosiasi untuk menyelesaikan sebuah sengketa atau konflik adalah wajar dan biasa terjadi. Namun, akan lain ceritanya bila kemudian strategi negosiasi ini digunakan untuk menyelesaikan ketetapan Hudud Allah (batas-batas Tuhan). Anggapan yang selama ini berkembang di kalangan banyak pakar hukum Islam menyatakan bahwa tak ada tawar menawar dalam hak Tuhan. Hudud Allah bersifat pasti dan tak ada peluang bernegosiasi di dalamnya.
            Dalam makalah sederhana ini, penulis akan mencoba mendeskripsikan pemikiran singkat dari Muhammad Syahrur, seorang pemikir islam kontemporer kontroversial, yang dengan sangat berani telah melakukan apa yang penulis anggap sebagai bentuk negosiasi terhadap penentuan batas-batas Tuhan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekilas Negosiasi
Sebagaimana terdeskripsikan dalam pendahuluan sebelumnya, bahwa  negosiasi merupakan salah satu bentuk strategi atau cara untuk menyelesaikan sengketa maupun konflik. Negosiasi ini termasuk salah satu di antara sekian banyak model ADR  (Alternative Dispute Resolution) selain mediasi atau arbitrasi.
Terdapat banyak definisi terkait dengan negosiasi. Jaqueline M. Nolan-Haley mendefinisikan: “Negotiation may be generally defined as a consensual bargaining process in which parties attempt to reach agreement on a disputed or potentially disputed matterí.  (“Negosiasi dapat diartikan secara umum sebagai konsensual dari proses penawaran antara para pihak untuk mencapai suatu kesepakatan tetang suatu sengketa atau sesuatu hal yang berpotensi menjadi sengketa”). Sementara, menurutSuyud Margono negosiasi adalah: “Proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka.”H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa negosiasi adalah: “Suatu cara di mana individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya” atau “Proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan”.[1]
Dari definisi-definisi yang dipaparkan oleh para pakar hukum di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum, negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu. Dengan ungkapan lain, negosiasi adalah suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau kesepahaman kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan.
B.     Negosiasi Hudud Tuhan
Negosiasi sangat lazim terjadi digunakan untuk menyelesaikan sebuah konflik atau sengketa yang erat kaitannya dengan persoalan duniawi dan tak ada kaitan sama sekali dengan persoalan Hudud Tuhan yang dianggap sudah pasti dan tak bisa dinego lagi. Namun, kenyataannya oleh sebagian pakar hukum Islam Hudud Tuhan bukan berarti tak bisa ditawar atau dengan ungkapan lain, tak bisa dilakukan negosiasi. Salah seorang, pakar hukum Islam yang dengan sangat lantang menyuarakan ‘negosiasi’ atas hudud Tuhan tersebut adalah M. Syahrur.
1.      Biografi singkat M. Syahrur
   Tokoh kontroversial yang pernah mengguncangkan dunia pemikiran Islam ini bernama lengkap Muhammad Syahrur ibn Deyb. Ia lahir di perempatan Shalihiyyah, Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938, pada saat negeri tersebut masih dijajah oleh prancis, meskipun sudah mendapat status setengah merdeka. Ayahnya bernama Deyb ibn Deyb Syahrur dan ibunya bernama siddiqah binti Shalih Filyun.[2] Syahrur adalah anak kelima dari seorang tukang celup.[3] Ia dikaruniai lima orang anak: Tariq, al-Lais, Basul, Masul dan Rima, sebagai buah pernikahannya dengan Azizah.[4]
Pendidikan tingkat persiapan (i’dād) dan dasar (ibtidā’)nya dimulai dari madrasah Damaskus. Sementara pendidikan tingkat menengah (wustha) diperoleh dari madrasah Abdur Rahman al-Kawakib Damaskus, sebuah madrasah yang namanya diambil dari nama penulis Arab terkenal yang hidup pada tahun 1849-1903 dan gigih menyerukan perlawanan bangsa Arab atas bangsa Turki yang korup. Syahrur lulus dari madrasah tersebut pada tahun 1957. Setahun kemudian, tepat pada saat usianya 19, ia mendapat beasiswa dari pemerintah setempat untuk melanjutkan pendidikannya ke Uni Soviet di Faculty of Engineering, Moscow Engineering Institute. Saat itu, ia tinggal di Saratow, sebuah daerah dekat Moskow.[5]
Riwayat pendidikan intelektual yang bernuansa teknik tersebut, tidak lantas kemudian menjadikannya lupa terhadap disiplin ilmu lain. Di antara studi keislaman yang ia pelajari adalah studi al-Qur’an, bahasa Arab, filsafat humanisme, filsafat bahasa, khususnya linguistik kontemporer, semantik dan disiplin ilmu lainnya.[6] Pada perkembangannya, syahrur lebih dikenal sebagai salah satu pemikir Islam kontroversial dibanding sebagai seorang insinyur.
Syahrur tergolong pemikir yang cukup produktif. Di antara karya-karyanya adalah al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah fi ad-daulah wa al-Mujtama’, al-Islam wa al-Iman: Manzhumat al-Qiyam, Nahw al-Ushul Jadidah dll.
2.      Teori Negosiasi Hudud Syahrur
Teori hudud merupakan wujud nyata dari rekonstruksi ushul fiqih yang dilakukan Syahrur. Boleh dibilang teori ini adalah teori sangat mutakhir karena muncul di penghujung akhir abad XX M. Teori ini juga bisa dikatakan sebuah teori unik yang terinspirasi dari konsep hudud matematis sekaligus analisis matematis Sir Isaac Newtoon, seorang fisikiawan Barat modern.
Secara etimologi, kata hudud merupakan bentuk plural dari al-hadd yang berarti al-hajiz bayna as-syaiaini (pemisah dua hal), al-muntaha, at-taqyid, al-Hasr (batas); al-man’u, al-mamnu’ wa al-mahzhur yang berarti larangan. Al-hadd disebut larangan karena sesuatu dianggap hadd bila seorang dilarang kembali padanya.[7] Syahrur sendiri memaknai hudud sebagai sebuah batas dan bukan sebagai sebuah larangan. Makna ini pula yang digunakannya ketika ia memahami firman Allah dalam QS. An-Nisa’ (4): 13-14 yang berbunyi:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.  وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ.
Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah batas-batas (ketentuan-ketentuan) dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”

   Apabila merujuk pada konteks pembicaraan ayat tersebut, maka pandangan Syahrur agaknya lebih mendekati kebenaran. Sebab, pembicaraan tentang hudud pada ayat di atas terkait erat dengan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai pembagian harta warisan. Ketentuan pembagian tersebut bukan merupakan sebuah larangan, melainkan suatu ukuraan, kadar dan batasan. Dengan demikian, hudud dalam konteks ayat di atas dapat dipahami sebagai batas (limit) sebagaimana anggapan Syahrur.
Dalam konteks pembicaraan hukum Islam secara umum, term hudud lebih banyak digunakan oleh pakar fiqh (fuqaha’) dari pada pakar ushul fiqh. Bahkan, hampir tidak pernah pakar ushul mengeksplor atau sekedar menyinggung persoalan hudud ini. Justru, fuqaha yang membicarkannya sebagai bagian dari pembahasan tentang pidana Islam.[8]
Hudud dalam terminologi  fiqh diartikan sebagai ‘uqubah muqaddarah (hukuman tertentu) yang ditetapkan syariat baik menyangkut hak Allah maupun hak hamba. Definisi tersebut adalah versi mayoritas ulama, sementara ulama hanafiyah agak sedikit berbeda dengan mendefinisikannya sebagai hukuman yang ditentukan syari’at yang hanya khusus pada hak Allah saja, bukan hak hamba.[9] Meski demikian, sesungguhnya apa yang dikemukakan oleh jumhur ulama dan ulama hanafiyah  ini memiliki kesamaan pada artikulasi dasar had yang berarti hukuman.
Abdul Qadir ‘Audah, sebagaimana dikutip Fanani, menjelaskan bahwa had sesungguhnya adalah hukuman yang sudah ditentukan dan merupakan hak Allah. Maksud dari hukuman yang sudah ditentukan adalah bahwa hukuman itu sudah dibatasi, sudah ditentukan dan tidak ada lagi batas minimal atau maksimal. Penjelasan yang disampaikan ‘Audah ini memberikan pengertian bahwa had yang merupakan hukuman Allah itu tak boleh ditambah maupun dikurangi. Tak ada tawar menawar dan negosiasi dalam hudud Tuhan. Dengan demikian, hadud hanya bisa diketahui melalui teks eksplisit nash dan tak boleh didasarkan pada teks implisit nash maupun ijtihad.
Pernyataan ‘Audah dan mayoritas ulama fiqh di atas tentu sangat berbeda dengan pandangan Syahrur. Jika dalam perspektif fiqh konvensional ditetapkan bahwa hudud Tuhan itu bersifat pasti dan tak ada negosiasi, maka dalam kacamata Syahrur, hudud itu fleksibel dan ada peluang negosiasi di dalamnya.
Batas Tuhan (hudud Allah), oleh Syahrur diibaratkan sebagai garis-garis lurus dan konstan (ats-tsawabit), sementara pada saat yang sama memberi ruang pada manusia untuk bergerak dinamis (at-taghayyur) dalam hukum.[10] Dengan kata lain, batas-batas itu merupakan representasi dari kekokohan hukum yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Sementara ruang yang diberikan itu merepresentasikan sisi fleksibilitas hukum Islam yang selalu dinamis dan selaras dengan tuntutan zaman. Perpaduan antara sesuatu yang konstan dan tsawabit inilah yang kemudian dirumuskan oleh Syahrur sebagai hakikat hukum Islam. Dalam prakteknya, ia menetapkan enam prinsip batas, yang dibentuk dari perpaduan antara sumbu Y (Hudud Allah) dan sumbu X (realitas historis manusia). Keenam teori batas yang dicetuskannya itu tak lain, juga sebagai bentuk negosiasi terhadap hudud Tuhan. Enam teori tersebut adalah:
a.      Batas minimal (al-hadd al-adnā)
Menurut Syahrur, Allah telah memberikan kepada manusia batas-batas minimal. Batas minimal ini tak boleh dilampaui agar menjadi lebih minimal lagi. Batas minimal adalah batas terendah yang diberikan oleh Allah tentang sesuatu yang boleh dilakukan. Di antara batas minimal yang telah ditetapkan Allah adalah batas minimal dalam hal keharaman menikahi perempuan. Perempuan-perempuan yang haram dinikahi tersebut dijelaskan dalam an-Nisa’ (4): 22-23. Selain itu, ayat lain yang menjelaskan tentang batas minimal adalah ayat yang menjelaskan persoalan pakaian perempuan yang terkandung dalam an-Nur (24): 31.[11]
Pada batas minimal ini seolah tak ada negosiasi hudud, namun sebenarnya, negosiasi hudud dalam hal ini masih tetap ada. Jika dicermati, konsep batas minimal tawaran Syahrur ini berusaha memberikan peluang pada seseorang untuk bernegosiasi dengan menambah apa yang telah ditetapkan Tuhan, tentu dengan berbagai pertimbangan dan dalam kondisi tertentu, seperti yang terjadi pada kasus perempuan yang haram dinikahi dan persoalan pakaian perempuan di atas.
b.      Batas maksimal (al-hadd al-a’lā)
Sebagaimana ada batas minimal, maka sangat wajar bila Syahrur pun menetapkan bahwa dalam kandungan Ummul Kitab[12] terdapat juga batas maksimal. Ia mencontohkan batas maksimal ini dengan ayat yang menjelaskan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri, yaitu pada surat al-Maidah (5): 38.[13] Berdasar ayat tersebut Syahrur berkesimpulan bahwa seorang pencuri tidak boleh dihukum melebihi potong tangan, sebab yang demikian itu adalah batas maksimal yang telah ditetapkan Tuhan. Sebaliknya, seorang hakim boleh menetapkan hukuman yang lebih ringan dari potong tangan yang tentunya dengan memperhatikan situasi dan kondisi tertentu. Tawaran batas maksimal yang ditetapkan Syahrur ini sesungguhnya, telah dilakukan oleh sahabat Umar ibn Khatthab yang tidak menghukum potong tangan pada seorang pencuri lantaran pada saat itu adalah musim paceklik. Dari sini kemudian langkah yang diambil oleh Umar yangbelakangan diadopsi dan dijadikan sebagai salah satu konsep istinbath hukum oleh Syahrur ini bisa disebut sebagai bentuk negosiasi terhadap Hudud Tuhan.
c.       Batas maksimal dan minimal yang datang secara bersamaan, namun tidak menyatu dalam satu garis (al-hadd al-adnā wa al-hadd al-a’ ma’an)
Dalam pandangan Syahrur, salah satu ayat yang mempunyai batasan minimal dan maksimal sekaligus adalah ayat yang menjelaskan tentang warisan, yaitu surat an-Nisa’ (4): 11, 12, 13 dan 14). Terkait dengan ayat waris ini, Syahrur berpandangan bahwa tujuan utama disyariatkannya pembagian waris adalah semata-mata demi keadilan, baik pada ahli waris perempuan maupun ahli waris laki-laki, karena itu untuk bisa menemukan keadilan itu harus menggunakan prinsip himpunan dan pendekatan matematika modern. Menurutnya, aturan dua banding satu bagi ahli waris laki-laki dan perempuan berlaku saat pihak perempuan tak ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Apabila perempuan ikut menanggung beban ekonomi keluarga, maka kesenjangan bagian itu semakin kecil sesuai dengan tingkat kerja sama dalam menanggung beban ekonomi yang bersangkutan. Dalam hal ini, seorang mujtahid bertugas menentukan bagian masing-masing pihak sesuai dengan semangat persamaan dan keseimbangan bagian antara pihak laki-laki dan perempuan berdasar kondisi sosial-historis-objektif yang dikuatkan dengan bukti-bukti materiil statistik serta dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudahan bagi masyarakat.[14]  
Selain itu, ayat yang mengandung batas minimal dan maksimal adalah ayat poligami, yaitu surat an-Nisa’ (4): 3. Ayat ini dipandang Syahrur sebagai ayat hududiyah. Ia hadir untuk menggabungkan batas minimal dan maksimal dalam sebuah kuantitas dan kualitas sekaligus. Batas minimal kuantitasnya adalah menikahi satu orang perempuan dan batas maksimalnya adalah empat orang perempuan, dengan ketentuan kualitas bahwa istri kedua sampai dengan istri keempat adalah seorang janda yang cerai mati, bukan cerai talak.[15]Dari kedua contoh ayat yang diberikan Syahrur di atas, terlihat jelas bahwa di sana ada hudud Tuhan yang amat fleksibel untuk dilakukan sebuah negosiasi.
d.      Batas minimal dan maksimal yang menyatu dalam satu titik atau garis lurus (al-hadd al-adnā wa al-hadd al- a’lā ‘ala nuqthatin wāhidatin ay hālat al-mustaqīm aw hālat at-tasyrī’ al-‘ainiy)
Batas jenis keempat ini, menurut Syahrur hanya terdapat pada surat an-Nur (24): 2 yang menjelaskan tentang hukuman bagi seorang pezina. Satu titik tersebut dalah 100 jilid. Dalam hal ini 100 kali jilid dianggap sebagai batas minimal dengan alasan bahwa pada ayat sesudahnya Allah memberikan peringatan untuk tidak merasa belas kasihan pada pezina. Sedangkan terkait batas maksimalnya, Syahrur tidak secara tegas menjelaskan. Namun, Muhyar Fanani berkesimpulan bahwa alasan mengapa 100 kali jilid dianggap batas maksimal adalah karena sudah hampir dipastikan seorang tidak akan mampu lagi bertahan hidup setelah didera 100 kali.[16]
Menurut Syahrur, inilah satu-satunya tasyri’ ‘aini (tertentu dan pasti)[17], sehingga dalam hal ini tak ada peluang untuk melakukan penambahan atau pengurangan pada hukuman tersebut. Dengan demikian, pada batas ini tak ada tawar menawar maupun negosiasi.



e.       Batas maksimal berupa garis yang mendekati garis lurus, namun tak sampai menyentuh (al-hadd al-a’lā bi khattin muqāribin li mustaqīmin ay yaqtaribu wa lā yamassu)
Pada batas ini, Syahrur memberikan contoh hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak sampai pada tahap zina yang terdapat pada surat al-Isra’ (17): 32. Jenis batas kelima ini, menurutnya sangat terkait dengan jenis batas keempat sebelumnya. Dalam hal ini, seorang tidak diperkenankan mendekati zina, sebab batas maksimalnya adalah mendekati zina itu sendiri.[18] Dengan demikian dalam batas ini -sebagaimana pada batas keempat- tak ada peluang untuk bernegosiasi. Hanya saja, persoalan ukuran mendekati zina ini  tak bisa diputuskan secara pasti dan dipositivisasi. Persoalan tersebut amat relatif dan tergantung pada keputusan dan pertimbangan mujtahid. Karena itulah, boleh jadi peluang untuk sedikit berngosiasi ada pada penentuan mujtahid tersebut.
f.       Batas maksimal positif-tertutup yang tak boleh dilampaui, sementara batas minimalnya negatif dan boleh dilampaui (al-hadd al-a’lā mūjibun mughlaqun lā yajūzu tajāwuzuhu, wa al-hadd adnā sālibun yajūzu tajāwuzuhu)
Teori batas terakhir ini berlaku pada transaksi bendawi manusia. Syahrur mencontohkan bahwa dalam persoalan transaksi ini batas maksimalnya berupa riba dan batas minimalnya berupa zakat. Riba sama sekali tak boleh dilampaui sedangkan zakat sebagai batas minimal boleh dilampaui ke arah negatif dengan membayar sedekah. Di antara kedua batas tersebut terdapat posisi nol, yang terwujud dalam bentuk transaksi al-qardl al-hasan (pinjaman tanpa bunga).[19] Dengan demikian negosiasi batas dalam hal ini hanya berlaku pada batas minimal yang boleh dilampaui.

BAB III
KESIMPULAN
            Berdasarkan eksplorasi pada pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa langkah-langkah Syahrur dalam memahami pesan al-Qur’an yang terwujud dalam nazhariyaat al-hudud (teori-teori batas), sesungguhnya juga merupakan bentuk negosiasi antara teks dan konteks. Syahrur berusaha memberikan peluang pada konteks untuk senantiasa berdialektika dan bernegosiasi dengan teks agar tercipta sebuah tatanan hukum Islam yang benar-benar membawa kemaslahatan pada seluruh umat.






              












DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili,Wahbah,  Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.
Chritsmann, Andreas “Bentuk teks (wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam Al-Kitab wa Al-Qur’an”, dalam Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Fanani, Muhyar,  Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: LKIS, 2010.
Manzhur, ibnu, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
Mufidah, Imro’atul “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Syahrur”, dalam Kurdi dkk., Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Syahrur, Muhammad, Al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, Damaskus: al-Ahaliy, t.t.
Syahrur, Muhammad, Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Damaskus: al-Ahaliy, 2000.
Syarqawi Ismail, Ahmad,  Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, yogyakarta: Elsaq Press, 2003.


.




[1] http://www.ahmadzakaria.net/blog/, Akses 28 Desember 2011
[2] Achmad Syarqawi Ismail, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm. 43.
[3] Andreas Chritsmann, “Bentuk teks (wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam Al-Kitab wa Al-Qur’an”, dalam Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 19.
[4]Op.Cit., hlm. 44.
[5] Op. Cit., hlm. 19.
[6] Imro’atul Mufidah, “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Syahrur”, dalam Kurdi dkk., Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 287.
[7] Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 249. Lihat juga Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm 899.
[8] Ibid., hlm. 250.
[9] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.), juz VII, hlm. 217.
[10] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahaliy, t.t.), hlm. 452.
[11] Ibid., hlm. 456.
[12] Ummul Kitab adalah sebutan khas Syahrur untuk menunjuk pada ayat-ayat yang berisikan kumpulan hukum-hukum syari’at. Sedangkan term al-Qur’an dalam bahasa mayoritas ulama, disebutnya sebagai at-Tanzil al-Hakim. Perbedaan penggunaan istilah ini sebagai salah satu konsekwensi dari salah satu anggapannya yang tak setuju dengan konsep sinominitas bahasa. Pandangan seperti itu ia adopsi dari salah satu pakar linguistik bernama Ibnu al-Jinni yang merupakan murid dari al-Farisi, seorang pakar linguistik arab kontroversional. Terkait perbedaan-perbedaan istilah ini bisa dilihat  pada Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahaliy, t.t.). dan Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Ahaliy, 2000).
[13] Syahrur, Op.cit., hlm. 456.
[14] Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 278. Lihat juga pada Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Ahaliy, 2000), hlm. 231.
[15] Ibid., hlm. 263.
[16] Ibid., hlm. 264.
[17] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahaliy, t.t.), hlm. 464.
[18] Ibid., hlm. 465.
[19] Ibid., hlm. 465.

Selasa, 04 Oktober 2011

Perbedaan Pendapat Ulama


Ikhtilāf al-Ulamā’
(Telaah Faktor-faktor Penyebabnya dan Studi atas Mazhab az-Zhahiri )
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            “Ikhtilafu Ummati Rahmatun”, begitulah bunyi teks hadis yang begitu populer di masyarakat. Meski secara kualitas, hadis tersebut masih perlu dipertanyakan, tetapi secara substansi, hadis tersebut tidak bermasalah. Semangat hadis tersebut mengajak kepada umat Islam untuk selalu bersikap arif dan bijaksana dalam menghadapi segala bentuk perbedaan. Dengan bersikap bijak, perbedaan yang muncul akan berubah menjadi rahmat. Tak bisa dibayangkan jika kemudian Islam mengharamkan perbedaan  -entah berupa perbedaan ras, suku, budaya terlebih pendapat-, maka yang terjadi adalah kesulitan yang berlarut-larut. Perbedaan tidak  pernah bisa dicegah. Ia merupakan sunnatullah yang terjadi secara alami. Perbedaan akan semakin memperindah alam, Sebagaimana pelangi. Warna-warni pelangi justru menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap mata yang melihat. Akan terlihat lucu bila pelangi hanya memiliki satu warna.
            Hukum Islam pun demikian, perbedaan pendapat di kalangan mujtahid menjadi sesuatu yang wajar, bahkan niscaya. Karena itu, bersikap arif , bijaksana dan kritis dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut amat dibutuhkan. Pro kontra mujtahid dalam beristinbath, justru semakin mempermudah umat dalam beragama, sebab sejatinya, agama tidak menghendaki umatnya hidup dalam kesulitan. Dari sinilah kemudian rahmat Tuhan bisa dirasakan.
            Betapapun sebuah perbedaan -khususnya perbedaan pendapat mujtahid- termasuk sunnatullah yang bersifat alami, tetapi ini tidak berarti bahwa perbedaan tak mempunyai sebab. Perbedaan merupakan akibat, sementara setiap akibat tentu mempunyai sebab. Demikian juga yang terjadi pada perbedaan mujtahid dalam beristinbath. Perbedaan-perbedaan itu tidak muncul begitu saja. Ia muncul karena beberapa faktor, entah itu faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor inilah yang pada akhirnya membentuk mazhab-mazhab dalam hukum Islam dengan berbagai ciri dan khas masing-masing.
B.     Rumusan Masalah
Berpijak dari deskripsi masalah di atas, maka dalam makalah ini akan dirumuskan dua pokok masalah:
1.      Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid?
2.      Bagaimana aplikasi metodologis istinbath dari beberapa mazhab yang muncul akibat perbedaan pendapat itu {studi atas sejarah dan metode istinbath hukum mazhab az-Zhahiri}?
C.    Tujuan Penyusunan Makalah
Tujuan dari penyusunan ini adalah untuk:
1.      Menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid
2.      Memaparkan aplikasi metodologis istinbath dari beberapa mazhab yang muncul akibat perbedaan pendapat {studi atas sejarah dan metode istinbath hukum mazhab az-Zhahiri}.
D.    Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka) yaitu, meneliti data yang berkaitan dengan pembahasan dengan cara menelaah referensi-referensi dari kitab maupun buku yang terkait dengan pembahasan.
Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu dengan memaparkan dan melakukan kajian kritis terhadap latar belakang munculnya perbedaan pendapat mujtahid serta memaparkan metode istinbath hukum mazhab az-Zhahiri.



                                                         BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ikhtilaf Ulama dan Faktor-faktor yang Melatarbelakanginya
1.      Artikulasi Ikhtilaf
Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf lebih) dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa al-Qaumu wa Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda dan tak sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq yang mempunyai makna persetujuan.
Sementara secara terminologi, ikhtilaf berarti seseorang menempuh metode atau pendapat yang berbeda dengan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhtilaf adalah seseorang mengambil sebuah cara yang berbeda dengan cara pertama. Di samping itu ada juga yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah seorang alim yang berpendapat berbeda dengan yang lain.[1]
Definisi-definisi tersebut mencakup ikhtilaf yang mahmud (terpuji) dan madzmum (tercela) maupun jidal (perdebatan sengit yang hanya didorong hawa nafsu belaka). Karena itulah, dari sekian definisi di atas yang dianggap lebih shahih adalah definisi yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah ketika seorang alim berbeda pendapat dengan yang lain semata-mata demi mencari kebenaran. Dalam definisi tersebut terdapat batasan alim yang tidak memasukkan ikhtilafnya orang bodoh lantaran ikhtilafnya tidak dianggap sebagai ikhtilaf syar’i. Sementara batasan demi mencari kebenaran ini mengecualikan perbedaan pendapat yang hanya didasari hawa nafsu belaka.
Selain itu, ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf dengan tidak menyebut ikhtilaf yang memiliki arti perdebatan atau pertentangan di antara dua orang untuk menemukan kebenaran dan mengalahkan kebathilan. Meskipun secara lafdzi antara term khilaf dan ikhtilaf memiliki perbedaan, tetapi secara substansi artikulasi, kuduanya memiliki kesamaan. Imam Al-Jurjani dalam karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana dikutip Bakariy Tunkara- lebih suka menggunakan term khilaf, namun  makna yang dikehendaki tetap memiliki kesamaan.[2] Demikian juga Yasin Husain Barhami, ia lebih tertarik menggunakan term khilaf.[3] Dalam karyanya yang berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina al-Muslimin”, sekilas Syekh Yasin tampak tidak konsisten dalam  penggunaan istilah. Dalam satu sub pembahasan ia menggunakan term ikhtilaf, tetapi dalam sub bab yang lain ia menyebut khilaf. Boleh jadi inkonsistensi term ini berpijak dari anggapannya yang tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf. Ahmad Warson, dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan antara khilaf dan ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat atau perselisihan faham.[4] Demikian juga Thaha Jabir Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”, menganggap sama antara khilaf dan ikhtilaf  yang mempunyai makna perbedaan ucapan. pendapat, keadaan maupun sikap.[5] Dengan demikian secara isti’mal, mayoritas fuqaha tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf . Keduanya merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara makna. Dalam kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap wajar.
Namun demikian, sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Dalam “Fath al-Qadir”, “Ad-Durr al-Mukhtar” dan “Hasyiyah Ibn ‘Abidin” disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara khilaf dan ikhtilaf. Ketika perbedaan pendapat tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka perbedaan semacam ini disebut sebagai khilaf. Sebaliknya, jika perbedaan pendapat tersebut masing-masing didasarkan atas dalil, maka disebut sebagai ikhtilaf. Imam at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga membedakan kedua term tersebut. Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika terdapat pendapat yang marjuh (lemah) berhadapan dengan pendapat yang rajih (kuat), namun  bila dalam perbedaan pendapat itu tidak ditemukan pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut sebagai ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah satu pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.[6]
2.      Klasifikasi Ikhtilaf
Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir Husain, menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
            Pertama, ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan yang sebenarnya, antara pendapat yang satu dengan yang lain tidak bertentangan. Pendapat-pendapat tersebut semuanya dianggap pendapat yang benar. Artinya, dalam ikhtilaf jenis ini terdapat banyak pendapat yang benar namun berbeda dari segi bentuk saja. Perbedaan pendapat jenis ini seperti yang terjadi pada perbedaan qira’at dalam al-Qur’an, bacaan tasyahud, kalimat dzikir dan sebagainya. Dalam surat al-Fatihah, ada yang membaca “Maaliki yaumi ad-din” dan ada juga yang membaca “maliki yaumi ad-din”. Keduanya dianggap sama-sama benar dan boleh diamalkan. Demikian juga yang terjadi pada kasus tasyahud. Terdapat beberapa jenis bacaan tasyahud, di antaranya adalah tasyahud versi Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Umar ibn Khattab. Semuanya dianggap bacaan shahih yang boleh diamalkan.[7] Demikian juga ikhtilaf dalam hal bacaan doa iftitah. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa doa iftitah berbunyi:
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ.

Doa ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bahwasanya suatu ketika Rasulullah pernah mengucapkan doa tersebut sesaat setelah melakukan takbir dalam shalat.[8] Sebagian ulama juga ada yang berpendapat bahwa doa iftitah adalah:

إني وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، قل إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين
Doa tersebut berlandaskan hadis yang diriwiyatkan oleh sahabat Ali ibn Abi Thalib bahwasanya Rasulullah pernah membaca doa itu saat melakukan iftitah dalam shalat.[9] Kedua doa iftitah tersebut dianggap sebagai doa yang sama-sama ma’tsur dan boleh diamalkan.
Kedua, ikhtilaf tadladud, yaitu ikhtilaf yang antara satu pendapat dan lainnya saling bertentangan. Ikhtilaf ini terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf  Sa’igh ghairu Madzmum ( boleh dan tak tercela) dan Ghairu Sa’igh madzmum (tidak boleh dan tercela). Ikhtilaf tadladud jenis pertama umumnya terjadi pada permasalahan furu’iyah (partikular syariat), yaitu pada kasus-kasus yang bersifat praktis bukan masalah i’tiqadiyah (keyakinan). Namun menurut Yasir Husain, bahwa yang lebih tepat adalah membatasi ikhtilaf jenis ini dengan ikhtilaf-ikhtilaf yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik yang berkaitan dengan masalah amaliah praktis (fiqih) maupun yang berhubungan dengan persoalan i’tiqadiyah (keimanan). Tetapi ikhtilaf jenis ini relatif sedikit pada masalah i’tiqad karena banyaknya dalil-dalil yang bersifat qath’i (pasti) sehingga kesempatan ikhtilaf ini muncul tidak sebesar pada ikhtilaf dalam hal fiqih yang sebagian besar dalilnya bersifat dhanni (asumtif). Karena benyaknya dalil dhanni inilah kemudian para ulama menyatakan bahwa ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf wajar yang tidak tercela.
Sedangkan jenis ikhtilaf tadladud yang kedua yakni perbedaan pendapat yang tidak diperbolehkan sekaligus tercela adalah perpedaan dalam masalah-masalah ushuluddin
yang lebih populer dengan masalah pokok atau akidah. Namun, menurut syekh Yasir, ikhtilaf yang tidak diperbolehkan adalah ikhtilaf yang bertentangan dengan nash al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik masalah tersebut masuk dalam wilayah furu’ (partikular syari’at) maupun ushuluddin (pokok agama/akidah).[10]

 
3.      Faktor-faktor Penyebab Munculnya Ikhtilaf Ulama
Sebagaimana yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah di atas, bahwa perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang niscaya dan tak bisa dihindari. Syariat Islam menjadi lahan yang amat subur bagi terciptanya perbedaan-perbedaan pendapat ini. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:

1.      Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
Perbedaan watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab utama munculnya berbagai macam perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah telah menjadikan manusia berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman, sehingga mau tidak mau dan disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan pandangan yang berbeda dalam menyikapi segala sesuatu.
2.      Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting bagi mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber primer syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam hal pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah, kata-kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu contohnya adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai pada siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan karena lafadz “ila” pada kalimat“ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”(bersama/ikut serta). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku tak harus ikut terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).[11]
3.      Adanya perbedaan penetapan maslahah
Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum mesti mengandung apa yang disebut sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal penetapan maslahah ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-masing akibat perbedaan adat istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang melingkupi. Bahkan, lantaran begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam penetapan maslahah ini, imam Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua  pendapat berbeda dalam satu kasus. Munculnya qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat mempengaruhi perbedaan pendapat.
4.      Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)
Sebagian besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini pada akhirnya memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para mujtahid. Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian ulama ditakhsis dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash tersebut tidak mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah nash bersifat mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan dalil lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan kemutlakannya.  
5.      Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i
Sebagian besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas.[12] Tetapi pada kenyataannya masih ditemukan sebagian ulama lain yang tidak mengakui legalitas dari salah satu sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia adalah salah satu pengikut mazhab Dawud az-Zhahiri yang tidak mengakui legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa pendapat yang didasarkan atas qiyas adalah pendapat dusta yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai metode yang mempermainkan maksud Tuhan dengan hanya berdasar praduga.[13] Pada kasus yang lain, didapati bahwa imam Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal sebagai pengguna metode istihsan. Di dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi pada mazhab Hanafiyah banyak dijumpai redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi hadzihi al-Mas’alah Qiyasan Kadza , Wa istihsanan Kadza” (secara qiyas, hukum dalam masalah ini adalah begini dan secara istihsan adalah seperti ini). Mereka menjadikan istihsan sebagai sumber hukum kelima setelah empat sumber yang telah disepakati. Bahkan, sebenarnya istihsan ini merupakan bentuk kemenangan qiyas khafiy atas qiyas jaliy.[14] Sementara itu, imam Syafi’i dikenal sebagai ulama mazhab yang menentang konsep istihsan. Ia pun tak segan-segan melontarkan adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan sumber hukum seperti inilah yang pada gilirannya memicu perbedaan formulasi hukum yang dihasilkan.  
6.      Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya kemudian adalah tak semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah sunnah Nabi. Tak jarang dijumpai sebuah hadis yang menurut sebagian ulama dianggap sebagai hadis shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu sisi ada juga ulama lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dla’f yang terdapat cacat sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan hukum. Problem seperti ini juga pada  akhirnya berimplikasi pada perbedaan hasil ijtihad.
7.      Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
Munculnya sebuah kaidah ushuliyah berawal dari ijtihad para ulama. Sementara, mustahil untuk menyatukan ijtihad-ijtihad tersebut dalam satu suara. Masing-masing ulama memiliki cara dan metode tersendiri dalam menciptakan sebuah kaidah. Terkadang sebagian ulama memproklamirkan sebuah kaidah tertentu, namun ulama lain menentangnya sebagaimana yang terjadi pada kaidah ushul “Ma la yatimmu al-Wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sebuah kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukan pekerjaan tertentu, maka pekerjaan itu menjadi wajib). Kaidah ini, sering digunakan kalangan Syafi’iyah dalam menetapkan suatu hukum. Wudlu misalnya, hukum asal wudlu sebenarnya adalah mubah, tetapi di satu sisi wudlu merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian hukum berwudlu menjadi ikut wajib. Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut lantaran sebelumnya terdapat nash yang menyinggung permasalahan wudlu. Akan tetapi ketika kaidah tersebut dibenturkan dengan problem pekerjaan (perantara) sebuah kewajiban yang bersifat mutlak, tanpa ada kejelasan dari nash, maka dalam hal ini terdapat ulama yang tidak menyetujuinya, sebagaimana persoalan keharusan mengusap sebagian kepala demi kesempurnaan membasuh wajah dalam wudlu.
8.      Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapat-pendapat ulama terdahulu
Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu penyebab munculnya perbedaan pendapat adalah akibat berbedanya pandangan dalam menyikapi ucapan imam-imam mazhab.[15] Sering dijumpai perbedaan-perbedaan pandangan dari para ulama pengikut mazhab meski sama-sama berafiliasi dalam satu mazhab. Imam Nawawi, salah seorang ulama pengikut mazhab Syafi’i misalnya, dalam beberapa hal ternyata memiliki pandangan dengan imam Nawawi yang notabene adalah pengikut mazhab Syafi’i juga. Perbedan-perbedaan seperti itu akan juga banyak ditemukan dalam mazhab-mazhab yang lain.

B.     Mazhab dan Sejarah Kemunculannya
1.      Artikulasi dan Historisitas Mazhab
Secara etimologi, mazhab berarti pendapat (view, opinion, ra’y), kepercayaan, ideologi (belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, aliran, paham (doctrine, teaching, school, at-ta’lim wa at-thariqah). Wujud hukum Islam bermula dari pendapat individu terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya penemuan hukum terhadap suatu kejadian yang ada. Bermula dari pendapat perorangan yang dilengkapi dengan metode itu, kemudian diikuti oleh orang lain atau murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan itu kemudian menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya, diikuti orang lain, kemudian menjadi baku.
Saat sebuah pendapat individu diikuti oleh murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang paling kuat di sebuah daerah atau kota tertentu, maka saat itulah pendapat tersebut disebut sebagai mazhab kota atau daerah, yang seolah sudah menjadi konsensus dari masyarakat kota tersebut. Maka tak heran jika dalam ranah hukum Islam dikenal mazhab Hijaz, yaitu suatu pendapat tentang persoalan hukum Islam yang bermula dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan diikuti oleh orang-orang yang tinggal di wilayah Hijaz. Pada perkembangan selanjutnya mazhab Hijaz ini terbagi menjadi dua kelompok, yakni mazhab Madinah dan mazhab Makkah. Di sisi lain, muncul juga mazhab Iraq, yaitu suatu pendapat tentang persoalan hukum Islam yang bermula dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan diikuti oleh orang-orang yang tinggal di wilayah Iraq. Pada perkembangan selanjutnya, mazhab Iraq ini terbagi menjadi dua kelompok juga, yaitu mazhab Kuffah dan mazhab Bashrah. Selain itu dalam sejarahnya, juga dikenal mazhab Syam. Sebenarnya ada pula mazhab di wilayah Mesir yang mempunyai karakter tersendiri. Pengelompokan mazhab kedaerahan ini berakhir seiring dengan munculnya imam Syafi’i.[16]
Dalam perkembangan selanjutnya, mazhab yang semula sangat terdominasi oleh pendapat kedaerahan, lalu kembali lagi ke pendapat perseorangan. Di masing-masing daerah muncul perkembangan pendapat yang bervariasi. Dari pendapat-pendapat inilah kemudian juga mengerucut pada pendapat perseorangan. Pendapat perseorangan yang dilengkapi dengan manhaj ini pada akhirnya menguat lalu perlahan merubah mazhab yang semula didasarkan atas nama daerah menjadi mazhab yang dinisbatkan pada perseorangan.
Di antara sekian banyak mazhab, yang populer dan sampai sekarang masih eksis di tengah-tengah masyarakat muslim -khususnya masyarakat Islam sunni- ada empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi yang dinisbatkan pada nama seorang mujtahid yang bernama Abu hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w. 150/767), mazhab Maliki yang dinisbatkan pada seorang mujtahid yang bernama Malik ibn Anas (w. 179/795), mazhab as-Syafi’i yang dinisbatkan pada seorang ulama yang bernama Muhammad ibn Idris as-Syafi’i (w.204/819), mazhab Hanbali yang dinisbatkan pada seorang ulama yang bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w. 241/855).[17] Sebenarnya, di samping empat mazhab tersebut masih banyak mazhab-mazhab perseorangan lainnya, seperti mazhab sufyan ats-Tsauri, Ibnu Jarir, Hasan al-Bashri, al-Auza’i, al-Laits dan Daud az-Zhahiri. Namun sayangnya, mazhab-mazhab selain empat di atas seperti hilang ditelan bumi. Mazhab-mazhab itu tidak mampu eksis di masyarakat muslim.[18] Faktor  prinsipil penyebab lenyapnya mazhab tersebut adalah karena semakin minimnya jumlah pengikut, sehingga karya-karya imam mazhab mereka tidak terkodifikasi, betapapun sejatinya sedikit banyak mazhab yang dianggap tidak mu’tabarah tersebut masih ditemukan sebagian karyanya, sebagaimana mazhab az-Zhahiri. Metodologi ataupun pendapat dari mazhab Zhahiri ini masih bisa dilacak melalui karya salah satu pengikutnya yakni imam Ibn Hazm.
Dari keempat mazhab itulah hukum Islam berkembang diseluruh dunia. Karena itu, di masing-masing negara dapat dilihat mazhab mana yang lebih dominan. Di Saudi Arabia misalnya, yang dominan adalah mazhab Hanbali. Di India, Pakistan dan Turki yang dominan adalah mazhab Hanafi sebagai mazhab yang paling banyk pengikutnya. Di Afrika utara yang dominan adalah mazhab Maliki, sementara di Indonesia dan Malaysia yang dominan adalah mazhab Syafi’i.
Selama berabad-abad, mazhab-mazhab tersebut sangat mendominasai perkembangan hukum Islam dan pemikirannya. Bahkan, tak jarang pemikiran hukum Islam di dalam masing-masing mazhab itu dipahami secara doktrinal dan dogmatik. Perbedaan dominasi mazhab di antara negara-negara muslim, sebenarnya juga disebabkan adanya faktor budaya kedaerahan atau yang biasa disebut dengan ‘adah atau ‘urf , meskipun pengaruhnya ini tidak semata-mata pada esensi hukum, namun lebih pada pengaruh terhadap mujtahid yang kemudian berdampak pada hasil ijtihadnya. Maka, tidak heran jika kemudian di Indonesia dikenal mazhab ala Indonesia, yang mempunyai semangat untuk merelevansikan hukum Islam dengan kondisi sosial-kultural bangsa Indonesia.[19]

2.      Sekilas tentang Mazhab az-Zhahiri
a.      Sejarah dan Pendiri Mazhab Az-Zhahiri
Mazhab ini didirikan oleh Abu Sulaiman Daud ibn Ali ibn Khalaf al-Ashbihani yang lebih dikenal dengan az-Zhahiri. Ia lahir di Kuffah pada tahun 202 H dan wafat di daerah Baghdad pada tahun 270 H. Perjalanan akademiknya dimulai dengan berguru pada imam Ishaq ibn Rahawaih, Abu Tsur dan imam-imam lainnya. Pada mulanya, imam Daud az-Zhahiri ini adalah pengikut setia mazhab as-Syafi’i, bahkan karena fanatisme yang begitu besarnya, ia sampai harus menulis dua kitab yang berisikan tentang pujian terhadap imam Syafi’i.
Ia adalah seorang mujtahid dan termasuk penghafal hadis yang dalam beristinbath mempunyai pendirian mengamalkan zhahir nash. Bila dalam nash tak ditemukan sebuah solusi permasalahan, maka menurutnya, seorang mujtahid harus mengambil hujjah dari ijma’ para ulama. Ia tak mau berhujjah dengan qiyas, istishab, ar-ra’yu, istihsan, ta’lil al-ahkam maupun sadd adz-dzari’ah. Ia terbilang mujtahid yang cukup produktif. Di antara beberapa karyanya adalah al-Hujjah, Al-khusus wal Umum, al-Mufassar wal mujmal. [20] Pada tahap selanjutnya, metodologi dan pemikiran khasnya ini diikuti sebagian ulama, hingga akhirnya muncul sebuah mazhab yang bernama mazhab az-Zhahiri. Mazhab Zhahiri ini adalah satu-satunya mazhab yang mengambil nama dari prisip teori hukum. Prinsip utama dalam mazhab ini adalah menyadari dan meyakini sepenuhnya terhadap bentuk lahir sebuah teks al-Qur’an maupun as-Sunnah.[21]
Beberapa ulama pengembang dan pengikut setia mazhab ini di antaranya adalah Muhammad, ia adalah putra dari imam Daud az-Zhahiri sendiri. Muhammad dikenal sebagai ulama yang santun, ahli syair dan hadis.
 Ulama lainnya adalah imam Ibnu Hazm[22] yang dikenal sangat keras dalam meruntuhkan lawan-lawan debatnya dan satu lagi pengikut lainnya adalah Abu Hasan Abdillah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Mughlits, ia adalah ulama terakhir dari kurun kejayaan mazhab az-Zhahiri yang wafat pada 324 H.[23]
Mazhab ini hanya bertahan sampai pada kurun kelima lantaran mengalami krisis pengikut dan tak adanya kodifikasi sempurna yang menampung pemikiran-pemikiran pokok mazhab, sehingga secara perlahan mazhab ini hilang bak ditelan bumi. Meski demikian, ternyata masih terdapat sebagian pemikiran-pemikiran pokok dari mazhab tersebut yang masih bisa dilacak. Al-Muhalla dan an-Nubadz merupakan dua kitab karya Ibnu Hazm yang cukup representatif dijadikan sebagai pelacak pemikiran-pemikiran dari mazhab az-Zhahiri ini.
b.      Beberapa Metodologi Istinbath Hukum Mazhab az-Zhahiri
Sebagaimana nama dari mazhab ini, maka bisa ditebak bahwa metodologi istinbath hukum utama dari mazhab ini adalah memahami sebuah teks secara tekstual. Di antara metodologi istinbath hukumnya adalah:

1.      Mengambil pemahaman dari bentuk lahiriah teks
Dalam konsep ini, setiap mujtahid dilarang mengambil pemahaman yang keluar dari bentuk lahiriah teks, baik itu teks al-Qur’an maupun as-Sunnah. Hal ini didasarkan pada firman Allah “bi lisanin  ‘arabiyyin mubin”, ayat tersebut menjelaskan bahwa bahasa al-Qur’an yang dalam hal ini adalah bahasa arab merupakan bahasa yang sudah sangat jelas, sehingga tak perlu lagi memalingkan makna sebuah teks pada makna yang lain. Mujtahid dilarang keras mengambil pemahaman di luar bentuk lahiriah teks, karena hal ini dianggap sebagai penyimpangan kalam Allah yang berimplikasi pada dosa besar. Dalam sebuah ayat, Allah mencela orang-orang yang suka menyimpangkan ucapan, “Yuharrifun al-Kalima ‘an mawadli’ihi”. Seorang mujtahid yang mengambil makna di luar bentuk lahir teks sama dengan menganggap teks Tuhan sebagai teks yang hampa penjelasan. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan ajaran syari’at. Sebuah teks boleh dipahami dengan makna lain selama terdapat penjelas dari al-Qur’an, as-Sunnah maupun ijma’. Seperti pemahaman pada ayat “Wa lam yalbasu imanahum bidhulmin” yang dikehendaki dalam redaksi dhulmin adalah kekufuran, karena ada ayat lain yang menjadi penjelas dari ayat tersebut, “Inna as-syirka ladhulmun ‘adhim”.
2.      Mengambil hujjah dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
Sebagaimana mazhab-mazhab yang lain, penganut mazhab az-Zhahiri mendasarkan segala bentuk istinbath hukumnya pada teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Terkait dengan alasan penggunaan terhadap ijma’, kelompok ini mendasarkan pada sebuah pemahaman bahwa sejatinya kebenaran adalah satu. Jika dalam sebuah permasalahan terdapat beberapa pendapat ulama, maka yang termasuk pendapat haq dan benar hanya satu, pendapat-pendapat lainnya dianggap sebagai pendapat yang salah. Sementara sebuah kebenaran tak akan jauh dari pendapat mayoritas ulama. Bermula dari paradigma seperti inilah kemudian mazhab az-Zhahiri mengakui legalitas ijma’.[24]
3.      Menolak segala bentuk qiyas
Mazhab ini terkenal sebagai salah satu mazhab yang menentang metode qiyas secara mutlak, baik itu qiyas jaliy maupun qiyas khafiy. Kesimpulan hukum yang didasarkan atas penalaran qiyas adalah kesimpulan batal dan tertolak. Menurut mazhab ini, metode qiyas adalah metode yang berdasar pada asumsi belaka, tanpa ada kepastian. Sementara, untuk memutuskan sebuah hukum tentu harus disertai dengan sebuah argumentasi yang sudah jelas dan pasti. Di samping itu penalaran qiyas tidak pernah disinggung dalam al-Qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Para pengikut mazhab ini mematahkan argumentasi dari ulama-ulama yang menggunakan qiyas. Ayat yang sering digunakan sebagai dalil qiyas adalah Surat al-Hasyr ayat 2 “yukhribuna buyutahum biaydihim wa aydi al-Mu’minin fa’tabiru ya ulil abshar”, Menurut mayoritas pengguna qiyas term Fa’tabiru mempunyai maksud Qayyisuu (qiyaskanlah). Namun interpretasi seperti ini ditolak dengan berbagai pertimbangan. Pertama, pemaknaan kalimat i’tabiru dengan arti qiyas justru akan menolak konsep qiyas. Sebab orang mukmin dituntut untuk menyamakan atau mengqiyaskan aktifitas merobohkan rumah-rumah mereka sendiri. Padahal makna demikian adalah makna yang mustahil dan tidak dikehendaki Tuhan. Kedua, pemaknaan i’tibar dengan makna qiyas adalah pemaknaan yang tidak bisa diterima akal.[25] Sebab sebelumnya tidak ada penjelasan dari al-Qur’an maupun praktek Nabi, berbeda dengan pemaknaan ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat. Term shalat diartikan dengan aktifitas ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah pemaknaan yang sudah sesuai lantaran Nabi sudah menjelaskan dan mempraktekkan shalat. Karena itu argumen qiyas diatas dianggap tertolak.
4.      Mengharuskan ijtihad dan melarang taqlid secara mutlak
Mazhab az-Zhahiri ini juga dikenal sebagai kelompok yang mengharamkan taqlid. Kelompok ini mengklaim bahwa para sahabat sejak generasi awal, tabi’in dan tabi’it tabiin telah berkonsensus menolak untuk diikuti dan mengikuti satu sama lain. Kelompok ini mendasarkan argumentasi dengan menampilkan ayat-ayat al-Qur’an seperti dalam surat al-A’raf: 3, yang artinya “Ikutilah apa-apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dan jangan sekali kali mengikuti pemimpin kamu”, surat al-Baqarah: 170, yang artinya “Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’, mereka menjawab ‘tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami”. Kedua ayat tersebut merupakan larangan untuk mengikuti pendapat-pendapat selain apa yang telah diturunkan oleh Allah. Andaikan taqlid itu diperbolehkan, maka sebenarnya yang lebih utama ditaqlidi adalah para sahabat Nabi yang terpilih, bukan pada imam Syafi’i, Hanafi, Maliki atau Hanbali. Jadi, menurut mazhab ini setiap orang dilarang taqlid dan wajib untuk berijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing.
5.      Menolak Metode Dalil al-Khithab   
Yang dimaksud dalil al-khithab di sini adalah saat seorang mujtahid mengatakan “Saat sebuah teks dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah menyinggung secara khusus tentang suatu sifat, waktu maupun keadaan, maka selain yang disebut dalam teks adalah lawan khitabnya”.[26] Dalam bahasa sederhananya, yang dimaksud dalil al-khithab oleh mazhab ini lebih mirip dengan konsep mafhum al-mukhalafah (Pemahaman terbalik). Menurut kelompok ini penalaran terbalik seperti ini tidak diperbolehkan sebagaimana qiyas. Dalil al-khithab dan qiyas adalah dua metode yang saling bertentangan, namun keduanya termasuk metode yang tertolak. Jika dalam qiyas memasukkan al-maskut ‘anhu (sesuatu yang tak disebut dalam teks) pada teks al-manshus, maka dalam dalil al-khithab mengeluarkan al-maskut ‘anhu dari teks al-manshus. Keduanya sama-sama metode fasid  yang harus ditolak lantaran melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah.













BAB III
KESIMPULAN
            Berdasarkan eksplorasi pembahasan di atas, maka dapat diambil dua kesimpulan inti:
1.      Faktor-faktor penyebab terjadinya ikhtilaf ulama di antaranya adalah:
a.       Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
b.      Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
c.       Adanya perbedaan dalam penetapan maslahah
d.      Adanya perbedaan pemahaman terhadap nash-nash dhanniy
e.       Adanya perbedaan dalam penggunaan hujjah-hujjah syar’i
f.       Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
g.      Adanya perbedaan dalam penggunaan kaidah ushuliyah
h.      Adanya perbedaan menyikapi pendapat ulama-ulama terdahulu
2.      Mazhab az-Zhahiri adalah mazhab yang didirikan oleh Abu Sulaiman Daud ibn Ali ibn Khalaf al-Ashbihani yang lebih dikenal dengan az-Zhahiri. Prinsip dasar  mazhab ini adalah mengamalkan bentuk lahiriyah teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Beberapa metodologi istinbathnya adalah:
a.       Mengambil pemahaman dari bentuk lahiriah teks
b.      Mengambil hujjah dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’
c.       Menolak segala bentuk qiyas
d.      Menolak segala bentuk taqlid dan mengharuskan berijtihad
e.       Menolak menggunakan metode dalil al-khithab.







DAFTAR PUSTAKA

Azizi, Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Azizy, Qadri, Reformasi Bermazhab, Jakarta: Teraju, 2003.
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Hazm al-Andalusi, Ibnu , An-Nubadz fi Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al- Kulliyat al-Azhariyat, 1981.
Husain al-Khurasani, Ahmad ibn, Syu’bu al-Iman, Riyadl: Maktabah ar-Rusyd, 2003.
Husain Barhami, Yasir,  Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin, Kairo: Dar al-Aqidah, 2000.
Ibn Nayif, Ali, Al-Khulashah fi Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’, t.tp.,t.p, t.t.
Ismail al-Bukhari, Muhammad ibn, Al-Jami’ as-Shahih al-Bukhariy, Kairo: Dar as-Syu’bi, 1987.
Jabir Fayyadl, Thaha,  Adab al-Ikhtilaf fil Islam, Qatar: al-Ummah, t.t.
Karya Ilmiah Lirboyo, Team,  Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, Kediri: Purna Siswa Lirboyo, 2004.
Pembukuan Manhaji, Team,  Paradigma Fiqih Masail, Kediri: Lirboyo, 2003.
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Tunkara, Bakariy,  Fiqh al-Ikhtilaf baina al-Madli wa al-Hadlir, Al-Jazair: Universitas Al-jazair, 2005.
Warson Munawwir, Ahmad,  Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.


[1] Bakariy Tunkara, Fiqh al-Ikhtilaf baina al-Madli wa al-Hadlir, (Al-Jazair: Universitas Al-jazair, 2005), hlm. 22
[2] Ibid., hlm. 24.

[3] Yasir Husain Barhami, Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000), hlm. 7.

[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 363.

[5] Thaha Jabir Fayyadl, Adab al-Ikhtilaf fil Islam, (Qatar: al-Ummah, t.t.), hlm. 24.
[6] Ali ibn Nayif, Al-Khulashah fi Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.,t.p, t.t.), hlm. 6.
[7] Yasir Husain Barhami, Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000), hlm. 12.

[8] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih al-Bukhariy, (Kairo: Dar as-Syu’bi, 1987), juz I, hlm. 189.

[9] Ahmad ibn Husain al-Khurasani, Syu’bu al-Iman, (Riyadl: Maktabah ar-Rusyd, 2003), juz IV, hlm. 493.

[10] Yasir Husain Barhami, Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000), hlm. 40.
[11] Bakariy Tunkara, Fiqh al-Ikhtilaf baina al-Madli wa al-Hadlir, (Al-Jazair: Universitas Al-jazair, 2005), hlm. 71.

[12] Ibid., hlm. 81.
[13] Ibnu Hazm al-Andalusi, An-Nubadz fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyat, 1981), hlm. 67.

[14] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Juz II, hlm. 735.
[15] Bakari Tunkara, Opcit., hlm. 93.
[16] Qadri Azizi, Eklektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 22.

[17] Qadri Azizy, Reformasi Bermazhab, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 17.

[18] Team Karya Ilmiah Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, (Kediri: Purna Siswa Lirboyo, 2004), hlm. 388.

[19]Ibid., hlm. 20.

[20] Team Pembukuan Manhaji, Paradigma Fiqih Masail, (Kediri: Lirboyo, 2003), hlm. 303.

[21] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 95.

[22] Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn ibn Said ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shalih ibn Khalaf ibn Ma’dan ibn Sofyan ibn Yazid al-Andalusi, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Ia adalah seorang ulama Kontroversial, penganut aliran mazhan az-Zhahiri. Lahir pada tahun 384 H dan wafat pada 456 H. Konon ia pernah mempelajari fiqih mazhab Syafi’i, hingga pada akhirnya memutuskan untuk menolak seluruh bentuk qiyas, baik khafiy maupun jaliy dan menerapkan pemahaman nash secara tekstual. Ia juga memilki pandangan bahwa setiap orang harus berijtihad dan mengharamkan taqlid. Melalui karya-karyanya ia lantas menyebarluaskan ide-ide kontroversialnya, di antaranya adalah kitab al-Muhalla, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam  dan an-Nubadz al-Kafiyah. Dengan sangat ekstrem dan vulgar, ia menolak pendapat para ulama yang berseberangan dengan idenya. Bahkan, tak segan-segan ia mencomooh lawan debatnya dengan bahasa yang cukup keras. Karena itulah, kemudian mayoritas fuqaha tidak memasukkannya dalam jajaran ulama peserta ijma’. Namun demikian, kecerdasan dan ketinggian ilmunya membuat beberapa ulama besar memujinya. Di ntaranya adalah  imam al-Ghazali, ia berkata “Aku temukan dalam karya-karya Ibn Hazm tentang asma-asma Allah, sesuatu yang menyiratkan akan keagungan hafalan dan kedalaman pemikirannya”.

[23] Team Pembukuan Manhaji, Op.cit., hlm. 304.
[24] Ibnu Hazm al-Andalusi, An-Nubadz fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyat, 1981), hlm. 56.

[25] Ibid., hlm. 62.
[26] Ibid., hlm. 69.