Rabu, 06 Juli 2011

Wallahu A'lam


Wallahu A’lam

            Suatu ketika Ali Harb, seorang pemikir Islam kontemporer asal libanan mengatakan “Kebenaran itu tidak tetap. Ia terwujud dalam bentuk kesementaraan, partikular dan dalam proses yang panjang. Kebenaran akan menjadi kebenaran minimal dari apa yang seharusnya ‘benar’pada batas, waktu dan wilayah kebenaran universal”. Dari sini, Ali Harb hendak menegaskan bahwa apa yang selama ini dianggap sebagai sebuah kebenaran dalam persepektif manusia, tak lebih sekedar kebenaran semu, kebenaran temporal yang sangat terikat dengan realitas yang melingkupi. Pesan substansial yang tertuang di balik adagium di atas, menurut hemat penulis adalah semacam deklarasi untuk saling memahami satu sama lain. Saling menghormati perbedaan-perbedaan persepsi dan menjunjung tinggi toleransi sesama. Sebab, dalam kenyataannya tak jarang terjadi konflik yang berujung pada sikap anarkisme akibat ketidakdewasaan dalam melihat perbedaan.   
            Dewasa ini, ternyata masih lumayan banyak-untuk tidak mengatakan sangat banyak- dari kita yang masih mempunyai paradigma eksklusif. Seolah apa yang terlontar dari mulutnya dianggap sebagai sesuatu yang  benar secara pasti. Apa yang menjadi pedoman hidupnya dianggap sebagai harga mati yang harus diikuti oleh orang lain. Semua orang yang berada di luar kelompoknya dipandang sebagai orang yang tersesat, orang yang tidak akan pernah mendapatkan keselamatan untuk selamanya. Seakan kunci surga Tuhan hanya mereka saja yang memegangnya. Kunci-kunci yang dipegang oleh kelompok lain disebutnya sebagai kunci imitasi, kunci palsu yang tidak akan berguna sama sekali dan sia-sia belaka. Paradigma eksklusif seperti ini muncul akibat penggunaan cara pandang yang hanya bertumpu pada satu nalar saja. Nalar-nalar lain diabaikan begitu saja. Padahal, sejatinya nalar-nalar lain adalah pelengkap dari nalarnya. Ringkasnya, antar satu nalar dengan nalar yang lain bersifat saling melengkapi. Sebagian orang masih belum menyadari betul bahwa apa yang selama ini dianggapnya sebagai sebuah kebenaran adalah kebenaran yang diproduk dari satu produsen nalar saja. Implikasi yang kemudian acapkali muncul adalah sikap yang cenderung menyalahkan produk kebenaran lain. Sikap semacam ini hendaknya dibuang jauh-jauh, sebab pada kenyataannya kita semua sama-sama sepakat bahwa kebenaran absolut tetap berada pada Tuhan. Tuhanlah yang maha mengetahui akan kebenaran sesungguhnya (Wallahu a’lam). Kebenaran-kebenaran yang selama ini kita yakini sebagai sebuah kebenaran yang benar tak lebih sekedar kebenara relatif. Manusia dalam hal ini statusnya adalah sebagai penafsir, entitas yang berusaha mencari kehendak Tuhan. Kita semua sama-sama saling mencari, sama-sama saling menuju kebenaran.
            “Wallahu a’lam” yang seringkali kita ucapakan dengan bibir, acapkali juga kita dengar dengan telinga, seringkali kita tulis dengan pena dan seringkali pula kita baca dalam akhir sebuah tulisan,  seharusnya tidak hanya sekedar menjadi pelengkap, semacam bonus atau dalam bahasa jawa digawe abang-abang lambe dan pantes-pantesan dalam mengakhiri suatu pendapat saja. “Wallahu a’lam” adalah statement pengakuan dan persaksian dari para hamba tentang keabsolutan ilmu Tuhan. Ilmu Tuhan sangat berbeda denga ilmu manusia. Ilmu Tuhan bersifat mutlak dan tak terbatas, sementara ilmu  manusia sangat terbatas. Tuhan hanya memberikan sangat sedikit ilmuNya kepada manusia. Dengan demikian, sangat tidak patut seorang hamba merasa paling benar, lantaran kebenaran itu muncul dari ilmu manusia yang serba terbatas itu. Seorang hamba hendaknya mampu mengejawantahkan “wallahu a’lam” dalam tataran praksis secara sempurna, tidak hanya berhenti di mulut saja. Toleransi antar sesama harus selalu dijunjung tinggi, menghormati dan menghargai segala bentuk perbedaan, tidak memaksakan kehendak sekaligus pendapat pada yang lain dan selalu bersikap arif, bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu, sebab pada intinya adalah “Wallahu a’lam”.    
             
           
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar