Rabu, 06 Juli 2011

Islam dan Demokrasi


BAB I
PENDAHULUAN

Islam dan demokrasi merupakan dua konsep entitas yang bersumber dari kultur yang berbeda. Maka, ketika keduanya bertemu, betapapun nilai-nilai yang terkandung didalamnya secara relatif bersesuaian, tak pelak acapkali menimbulkan gesekan-gesekan yang cukup tajam.
Sebagai sebuah agama, Islam bersifat transenden, ia suci, sakral dan berasal dari Tuhan. Sementara demokrasi adalah salah satu konsep dalam bernegara yang hingga sekarang masih diyakini sebagai model dan sistem terbaik untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan egaliter. Di sisi lain demokrasi terlahir dari rahim barat, buatan manusia yang sudah barang tentu tidak lebih baik dari produk Tuhan. Karena alasan inilah sebagian dari umat Islam menolak konsep demokrasi. Mereka lebih memilih konsep syura, meski sebenarnya konsep ini masih terdapat kaitan dengan demokrasi. Sebaliknya, mereka yang menerima konsep demokrasi setidaknya didasarkan pada adanya anggapan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi telah sejalan dengan salah satu konsep yang ada pada Islam, yaitu syura, betapapun ia lahir dari rahim barat.
Berpijak dari eksplorasi di atas, kiranya sangat menarik untuk mengkaji secara lebih serius tentang demokrasi dan bagaimana kemudian Islam sebagai sebuah agama menyikapi konsep sekuler tersebut. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan dibahas secara komprehensif terkait dengan substansi dan dimensi-dimensi lain dari demokrasi itu sendiri serta bagaimana Islam merespon konsep ini.
 




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Artikulasi Demokrasi
Secara literal demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat, berasal dari bahasa Yunani Demos (rakyat) dan Kratos (kekuasaan). Definisi yang paling umum digunakan oleh para ilmuwan sosial adalah definisi dari Joseph A. Schumpeter, dalam bukunya Capitalism, Socialism and Democracy, sebagaimana dikutip Masykuri, bahwa metode demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sementara Sidney Hook dalam Encyclopaedia Americana, memberikan definisi bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik keputusan, secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[1]
Definisi-definisi di atas paling tidak meniscayakan beberapa unsur, yaitu adanya kekuasaan mayoritas, suara rakyat dan pemilihan yang bebas dan bertanggung jawab. Hal ini berarti dalam penggunaan kontemporernya demokrasi diartikan secara pragmatis dan bukan filosofis. Pada zaman pencerahan, demokrasi pada mulanya diartikan pada pengertian yang lebih filosofis yakni dengan ide kedaulatan rakyat sebagai antitesa dari kedaulatan Tuhan (teokrasi) sekaligus sebagai lawan dari kedaulatan monarki.[2]  
Dewasa ini, istilah demokrasi bagi banyak orang dianggap sebagai kata yang mengimplikasikan nilai-nilai, perjuangan untuk kebebasan dan jalan hidup yang lebih baik. Demokrasi tak sekedar kekuasaan mayoritas melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas tetapi juga mengandung nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai egalitarianisme, liberalisme dan pluralisme, walaupun konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya negara tertentu. Eksistensi demokrasi ini sangat berkaitan erat dengan. Philip C. Schmitter dan Tery Lynn Kahn, sebagaimana ditulis Masykuri, bahkan mengkarakterisasikan demokrasi bukan sebagai kekuasaan yang otokrasi, otoritarian, zalim, diktator, tirani, totalitarian, absolut, tradisional, monarki, oligarki, plutokrasi, aristokrasi dan kesultanan. Hal ini juga berarti demokrasi tidak hanya berhubungan dengan institusi formal, tetapi juga dengan eksistensi nilai-nilainya dalam kehidupan sosial dan politik.[3]
2.      Sekilas Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke enam sebelum masehi sampai ke abad empat masehi. Demokrasi yang dipraktekkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung, artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung itu berjalan secara efektif karena negara kota Yunani kuno berlangsung dengan kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 orang.
Gagasan demokrasi Yunani kuno ini berakhir pada abad pertengahan. Masyarakat pada saat itu dicirikan oleh struktur masyarakat yang feodal, kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai dengan perebutan kekuasaan oleh para bangsawan.
Namun demikian menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta (pagam besar) sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan raja Jhon di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi empirik. Dalam piagam tersebut disebutkan bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Selain itu, piagam tersebut juga memuat dua prinsip dasar yaitu, adanya pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan raja.[4]
Pada perkembangan selanjutnya, demokrasi dilanjutkan dengan munculnya gerakan Renaissance dan reformasi yang menekankan pada adanya hak atas hidup, hak kebebasan dan hak memiliki. Selanjutnya pada abad ke- 19 muncul gerakan demokrasi konstitusional yang pada akhirnya melahirkan demokrasi welfare state.[5]
3.      Prinsip dan Parameter Demokrasi
Suatu pemerintahan akan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahannya mewujudkan  prinsip-prinsip demokratis. Dalam pandangan Robert A. Dahl, sebagaimana dikutip Masykuri, terdapat tujuh kriteria yang harus ada dalam system demokrasi:
a.       Kontrol atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan pada para pejabat yang dipilih.
b.      Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur di mana paksaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum.
c.       Secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan pemerintahan walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih ketat dari pada hak pilihnya.
d.      Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman yang berat mengenai berbagai persoalan politik yang didefinisikan secara luas, termasuk mengkritik para pejabat, pemerintahan, rezim, tatanan social ekonomi dan ideology yang berlaku.
e.       Rakyat mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber alternatif, lebih dari itu sumber-sumber informasi alternatif yang ada dan dilindungi hukum.
f.       Untuk meningkatkan hak-hak mereka, rakyat juga mempunyai hak untuk membentuk lembaga-lembagayang relatif independen, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang independen.[6]
Secara garis besar prinsip-prinsip di atas memberikan suatu pemahaman bahwa dalam konsep demokrasi rakyat diberikan semacam hak, kebebasan sekaligus kekuasaan dalam kepemerintahan yang dalam bahasa Franz Magnis Suseno disebut sebagai kedaulatan rakyat bukan kedaulatan tuan (penguasa). Namun menurut, AS Hikam sebuah sistem demokrasi tersebut tidak akan pernah dapat berjalan dengan baik tanpa ditopang dengan pembangunan dalam hal Civil Society. Demokrasi akan semakin menemukan relevansinya jika ditopang dengan suatu tatanan masyarakat yang terorganisasi dan bercirikan kesukarelaan, keswasembadaan –keswadayaan, kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma-norma hukum yang diikuti oleh warganya.[7]
Terkait dengan kesempurnaan dan relevansi pelaksanaan nilai-nilai demokrasi, Gus Dur, salah seorang tokoh demokrasi Indonesia, sebagaimana dikutip Zainal Arifin, menyatakan bahwa demokrasi sebagai proses mengandung makna bahwa kadar pelaksanaan konkret dari prinsip demokrasi itulah yang menjadi ukuran terpenting. Dalam keadaan efektif, lembaga-lembaga demokrasi memang dibutuhkan. Tetapi, bukan berarti proses demokrasi cukup disalurkan dalam lembaga-lembaga itu saja. Menurutnya, membatasi demokrasi hanya pada lembaga-lembaga tersebut akan terasa tidak mencukupi mengingat tingginya tingkat pluralitas masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat berhat untuk menyalurkan aspirasinya tanpa kecuali, betapapun kelompok masyarakat itu adalah kelompok minoritas.[8] Sebab inti dari demokrasi adalah persamaan hak, menghargai pluralitas, tegaknya hukum dan keadilan serta kebebasan menyampaikan aspirasi. Ini tidak akan pernah terwujud sempurna bila demokrasi hanya dipahami sebagai institusi saja. Gus Dur sangat menentang adanya otoritarianisme institusional. Maksudnya ialah institusi menjadi satu-satunya keberadaan demokrasi.[9]
4.      Islam dan Demokrasi
Diskursus mengenai keterkaitan antara Islam dan demokrasi  memang sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang begitu menarik untuk dikaji. Beragam respon pun bermunculan. Respon-respon tersebut setidaknya terpetakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.       Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai barang import dari barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu Islam adalah agama yang sempurna yang tidak hanya mengatur teologi semata, melainkan mengatur segala aspek kehidupan manusia. Konsep ini dipegangi oleh misalnya, Syekh Fadhalllah Nuri, Sayid Quthb, Thaba’taba’i dan Sya’rawi.[10]
b.      Islam berbeda dengan demokrasi  apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekkan di negara-negara maju (barat), tetapi menurut pandangan ini, konsep demokrasi telah sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Islam betapapun keduanya adalah dua hal yang berbeda. Pemegang pendapat ini di antaranya adalah Abul A’la al-Maududi, Ismail Sunni dan Jalaluddin Rahmat.
c.       Islam adalah sistem nilai yang mendukung dan membenarkan sistem politik demokrasi yang dipraktekkan negara-negara maju. Tampaknya pandangan inilah yang banyak dipegangi oleh negara-negara muslim di dunia. Di antara para tokohnya adalah Fahmi Huwaidi al-Aqqad, Husen Haekal, Zakariya Abdul Mun’im dsb.[11]
 Para intelektual muslim yang menolak istilah dan konsep demokrasi didasarkan adanya pemahaman bahwa konsep demokrasi adalah konsep yang menentang kedaulatan Allah atas manusia. Lebih dari itu, istilah ini tidak berasal dari kosakata Islam. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah: 104: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu katakan kepada Muhammad “Ra’ina”, tapi katakanlah “Unzhurna”, dan dengarkanlah”.  Adnan Ali Ridha al-Nahwi, seorang intelektual muslim menolak demokrasi tetapi mengajukan konsep syura, terutama karena yang pertama adalah aturan yang dibuat oleh manusia, sementara yang kedua adalah aturan dari Allah. Meski demikian, kelompok yang menolak sistem demokrasi tidak berarti bahwa mereka mendukung sistem otoritarianisme, sebab mereka juga mengajukan prinsip-prinsip yang menentang terhadap sistem semacam itu, seperti keadilan, musyawarah, hak asasi, toleransi dan sebagainya.
Sementara itu, secara teologis para intelektual muslim yang menerima konsep demokrasi didasarkan pada ajaran-ajaran al-Qur’an dan praktek historis masa Nabi serta al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Mereka berargumen dengan al-Qur’an (3: 159) yang artinya “Dan musyawarahkanlah dengan mereka dalam persoalan itu”. Juga pada (42: 38) yang artinya “Yang memutuskan urusan mereka dengan musyawarah”.[12] Terkait dengan konsep syura yang terkandung dalam kedua ayat tersebut, al-Jabiri seorang pemikir muslim asal Maroko, menyatakan:
“para intelektual muslim yang menerima demokrasi beranggapan bahwa sebenarnya demokrasi tak lain merupakan Syura itu sendiri, padahal sebenarnya, antara Syura dan demokrasi mempunyai perbedaan yang begitu mencolok. Jika pada demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat, maka syura, kedaulatan tetap berada pada penguasa, rakyat sekedar dimintai pendapat dan selanjutnya keputusan tetap berada di tangan pemimpin.”[13]
 Meski demikian, al-Jabiri tetap berpandangan bahwa saat ini demokrasi adalah sebuah keharusan, sebuah keniscayaan yang harus ada pada setiap negara . Ia adalah penopang yang niscaya bagi manusia di era ini. [14]
Dalam hal penerimaan konsep demokrasi ini, ternyata masih ada perbedaan pandangan di antara para intelektual muslim. Sebagian ada yang menerima tetapi dengan berbagai pertimbangan dan sebagian lagi menerimanya secara praktis dan mutlak. Mereka yang menerima demokrasi tetapi dengan berbagai catatan  seperti Abul A’la al-Maududi yang menyatakan bahwa nama yang lebih cocok bagi kebijakan Islam adalah ‘kerajaan Tuhan’ yang digambarkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘theokrasi’. Tetapi baginya, theokrasi Islam berbeda dengan theokrasi di mana orang eropa mengalami pengalaman pahit. Ia melukiskan sistem pemerintahan Islam sebagai sistem ‘theo-demokrasi’, yakni sebuah sistem pemerintahan demokratis yang bersifat ketuhanan, karena di bawah sistem theo-demokrasi, orang-orang Islam melaksanakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Senada dengan al-Maududi, Ismail Sunni menyatakan bahwa kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan, sementara otoritas rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam batas-batas kehendak Tuhan.[15]
Berbeda dengan mereka, sebagian intelektual lain yang menerima demokrasi tidak mempermasalahkan dan mempertentangkan antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat. Gus Dur sebagai salah satu intelektual muslim pengusung demokrasi menyatakan bahwa Islam adalah agama yang demokrastis. Ia mengemukakan beberapa alasan. Pertama, Islam adalah agama hukum. Dalam artian Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas, baik masyarakat penguasa maupun masyarakat jelata. Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. Dengan demikian tradisi membahas dan berkumpul untuk menyelesaikan suatu permasalahan sudah menjadi hal lumrah dalam tubuh Islam. Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Karena hakikatnya kehidupan di dunia ini adalah persiapan untuk kehidupan akhirat.[16] Ketiga alasan di atas setidaknya telah mengandung nilai-nilai demokrasi secara substantif.
Munawir Syadzali menegaskan bahwa sebenarnya kalangan intelektual muslim yang menerima demokrasi secara mutlak bukan berarti menentang kedaulatan Tuhan, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan memang mempunyai kedaulatan dan otoritas yang maha tinggi. Menurutnya, secara historis, kedaulatan rakyat atau yang lebih dikenal dengan demokrasi muncul sebagai respon atas kedaulatan monarki yang ketika itu mempunyai kekuasaan absolut. Sejalan dengan Munawir, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengkritik pendapat-pendapat al-Maududi yang terkesan membingungkan. Baginya, seharusnya seseorang tidak mempersoalkan antara kedaulatan absolut Tuhan dan kedaulatan politik negara tertentu, karena dampaknya sangat besar. Ide tentang kedaulatan Tuhan, sekilas memang tampak mengangkat Tuhan pada posisi yang sangat tinggi, tetapi pada hakikatnya ide tersebut merendahkan posisiNya pada tingkat yang tidak sepantasnya. Ia menambahkan, jika Tuhan adalah kepala negara bagi umat Islam, maka apa yang terjadi bila negara tersebut jatuh di tangan kekuasaan asing? Siapa yang akan bertanggung jawab? Lebih dari itu, jika suatu bangsa tidak percaya pada Tuhan apakah itu berarti bahwa Tuhan perlu membangun semacam pemerintahan pengasingan?, ide-ide aneh ini, menurutnya muncul karena kesalahan memahami ayat-ayat al-Qur’an secara total yang menjelaskan bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan dan kedaulatan atas segala sesuatu.[17] Pandangan seperti ini memang mutlak benar, tetapi tidak perlu dikaitkan dan dibawa ke ranah politik bernegara, sebab konteksnya memang berbeda.
















BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan eksplorasi di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa diskursus tentang  konsep demokrasi dan Islam sampai sejauh ini masih menjadi perdebatan di kalangan intelektual muslim. Secara umum terdapat tiga pendapat, yaitu:
1.      Demokrasi dan Islam adalah dua hal yang berbeda. keduanya tidak dapat disatukan, sebab demokrasi adalah sebuah sistem buatan manusia dan menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat, sementara Islam adalah sebuah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam berasal dari Tuhan. Bersifat suci dan sakral. Oleh karenanya demokrasi tidak sejalan dengan Islam dan harus ditolak.
2.       Islam berbeda dengan demokrasi  apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekkan di negara-negara maju (barat), tetapi menurut pandangan ini, konsep demokrasi telah sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Islam betapapun keduanya adalah dua hal yang berbeda.
3.      Islam adalah sistem nilai yang mendukung dan membenarkan sistem politik demokrasi yang dipraktekkan negara-negara maju.








DAFTAR PUSTAKA


Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara    Wacana Yogya, 1999

Abed al-Jabiri, Muhammad, Ad-Dimuqrathiyah wa Huquq al-Insan, (t.tp, al-Muassasah ar-Ra’iyah, 2006

Abed al-Jabiri, Muhammad, Syura, Tradisi, Partikularitas, Universalitas, Yogyakarta: LKIS, 2003.
Al-Zastrou, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan?, Jakarta, Erlangga, 1999.

Arifin Thoha, Zainal Jagadnya Gus Dur, Demokrasi, Kemanusiaan dan
Pribumisasi Islam, Yogyakarta, Kutub, 2003.

Hikam, AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1999.

 UIN Jakarta, Tim ICCE, Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2007.
Wahid, Abdur Rahman, Membangun Demokrasi, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999.





[1]Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 72.

[2] Ibid., hlm. 73.
[3] Ibid., hlm. 74.
[4] Tim ICCE UIN jakarta, Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 125.

[5] Ibid., hlm. 130.
[6] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 74.

[7] AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1999), hlm.3

[8] Zainal Arifin Thoha, Jagadnya Gus Dur, Demokrasi, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, (Yogyakarta: Kutub, 2003), hlm. 283.

[9] Al-Zastrou, Gus Dur, Siapa sih Sampeyan?, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 252.

[10] Tim ICCE UIN jakarta, Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 142.
[11] Tim ICCE UIN jakarta, Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 142.
[12] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 77.


[13] Muhammad Abed al-Jabiri, Syura, Tradisi, Partikularitas, Universalitas, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hlm. 26.

[14] Muhammad Abed al-Jabiri, Ad-Dimuqrathiyah wa Huquq al-Insan, (t.tp, al-Muassasah ar-Ra’iyah, 2006), hlm. 12.

[15] Ibid., hlm. 9.

[16] Abdur Rahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), Hlm. 85.
[17] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar