Rabu, 06 Juli 2011

Tuhanku, Tuhan Anda, Tuhan Kita Semua


Tuhanku, Tuhan Anda, Tuhan Kita Semua
            “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengambil dari anak turun Adam -yaitu dari punggung-punggung mereka- keturunan mereka, kemudian Dia memintakan persaksian atas diri mereka: “Bukankah aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab “Benar, kami bersaksi.” Maka kelak di hari kiamat janganlah kalian mengatakan “Sesungguhnya kami lalai dari kesaksian itu”.(Al-A’raf: 172).
            Titah Tuhan di atas menjelaskan tentang perjanjian primordial (sebelum lahir) antara Tuhan dan hambanya. Perjanjian itu mengendap jauh di bawah alam sadar manusia. Setiap orang tidak pernah menyadarinya. Namun, meski tak pernah disadari bukan berarti tak ada efek sama sekali. Perjanjian tersebut akan terus tertancap dalam lubuk kalbu setiap manusia dan akan sangat mempengaruhi hidupnya. Efek yang muncul akibat perjanjian tersebut adalah dorongan batin  kuat untuk menyembah Tuhan yang dalam konteks filsafat perennial disebut sebagai dorongan untuk beragama. Dengan demikian pada dasarnya sifat dasar setiap manusia adalah menyembah kepad zat yang dianggap lebih tinggi. Seorang yang dianggap sebagai atheis pun sebenarnya tetap mempercayai adanya Tuhan Sang Maha Segalanya. Kaum atheis yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang tak bertuhan oleh sebagian besar masyarakat adalah anggapan yang sebenarnya salah kaprah. Anggapan yang penuh dengan propaganda. Sebab, jika ditelusuri genealogi atheisme, kata ini sesungguhnya merujuk pada makna semacam perlawanan teologis kaum aktifis intelektual di Eropa atas rumusan teologis yang dimunculkan gereja. Jadi, kelompok atheis bukanlah kelompok yang anti Tuhan seperti yang dipersepsikan banyak kalangan, melainkan kelompok yang menentang rumusan teologis dari para agamawan. Perlawanan teologis tersebut muncul disebabkan rumusan teologis baku yang mengandung banyak bias dan distorsi. Menurut kaum atheis, Tuhan telah dipolitisir, diimaginasikan sebagai oknum yang pro laki-laki, anti perempuan, anti humanistik dan gemar pujian sehingga setiap saat butuh pengagungan. Tak heran jika kemudian seorang Nietszche menyatakan “tuhan telah mati”, tentunya yang dimaksud oleh Nietszche adalah tuhan hasil rumusan para agamawan, bukan Tuhan yang sebenarnya, Tuhan sang maha segalanya.
            Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan kita semua, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan dalam pengertian ini adalah symbol dari ke-segalamaha-an yang tidak bisa ditangkap oleh kemiskinan bahasa manusia. Ibnu al-Arabi, seorang tokoh sufi-pluralis kontroversial abad pertengahan menyatakan “Barang siapa mengaku ia tahu Allah, bergaul dengan dirinya dan ia tidak mencabut pengakuan itu, maka itu tanda ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka waspadalah sebab yang sadar di antara kamu tidaklah seperti yang alpa”. Ini membuktikan bahwa manusia tidak akan pernah mampu menangkap realitas ilahi. Manusia terlalu lemah untuk mencapainya. Tuhan-tuhan hasil rumusan dari para teolog sebenarnya hanyalah persepsi tentang Tuhan. Persepsi-persepsi itu kemudian berproses menjadi sebuah kepercayaan. Islam dengan Tuhannya Allah SWT, Kristen dengan Allah tritunggal, Toisme dengan Tao dan nama-nama tuhan lain. Dengan kata lain tuhan-tuhan tersebut merupakan konstruksi pemikiran kebudayaan manusia yang dalam ungkapan Eric Form disebut sebagai “tuhan sejarah”. Pada intinya, semua hasil rumusan dari para teolog tak lain adalah sebuah upaya untuk menemukan Sang Maha Kebenaran, Sang Penguasa Jagad, Sang Maha Segalanya. Diskursus tentang Tuhan tidak akan pernah selesai, ia akan terus berlangsung sampai hari penghabisan. Pencarian Tuhan akan terus mengalir dalam bentangan sejarah manusia. Inilah yang kemudian oleh Whitehead disebut “teologi proses”, yakni teologi yang sedang menjadi atau terus berproses sepanjang sejarah manusia, never ending. Wallahu a’lam bi as-Shawab


           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar