KOMBINASI TEOLOGI TEOSENTRIS DAN ANTROPOSENTRIS
Ketika pertama kali penulis belajar ilmu akidah di madrasah kampung, materi yang pertama kali diajarkan oleh guru adalah pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan, baik sifat yang wajib, jaiz ataupun yang mustahil. Dengan sangat fasih sang guru menjelaskan sifat-sifat tersebut secara runtut. Sifat wujud Tuhan mengandung pengertian bahwa Tuhan itu ada, Tuhan itu bereksistensi. Mustahil alam itu hampa Tuhan. Qidam mengandung arti bahwa Tuhan bersifat dahulu. Ia muncul pertama kali, tidak ada sesuatu apapun yang mendahuluinya. Sedangkan baqa’ memiliki makna bahwa Tuhan itu kekal, tidak rusak, Ia akan selalu ada sampai kapanpun. Demikian seterusnya sang guru memaparkan sifat-sifat Tuhan.
Penjelasan konsep teologi seperti di atas berlanjut hingga penulis mengenyam pendidikan di salah satu pesantren yang terletak di Jombang. Ilmu tauhid yang diajarkan di pesantren tersebut hampir sama dengan penjelasan yang penulis peroleh di madrasah kampung. Bedanya hanya terletak pada eksplorasi argumentasi. Jika di madrasah kampung sang guru hanya sebatas menjelaskan tentang konsep teologi tersebut tanpa argumentasi detail, maka di pesantren itu sang guru menyertakan landasan logisnya. Semisal untuk membuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada adalah dengan mengajukan argumentasi wujudnya alam dan sebagainya.
Semua penjelasan konsep teologi yang penulis terima dari para ustadz, baik di madrasah kampung maupun pesantren menitik beratkan pada penyucian dan pemujian terhadap Tuhan. Hal ini wajar, sebab mayoritas ulama klasik telah merumuskan konsep ilmu tauhid sedemikian rupa. Sehingga yang terjadi adalah munculnya ‘kesepakatan umum’ bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas persoalan ketuhanan semata atau dalam term lain rumusan teologi semacam ini disebut sebagai rumusan teologi teosentris.
Rumusan teologi yang hanya memusatkan pada Tuhan semata ini, membuat gelisah Hasan hanafi, salah seorang pemikir Islam kontemporer asal Mesir. Menurutnya, formulasi teologi teosentris terlalu melangit dan tidak membumi. Tak hanya itu, rumusan yang ada di dalamnya juga tidak mampu menjadi suatu pandangan yang benar-benar hidup yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Ilmu tauhid hanya manjadi prinsip transendental teoritis yang acuh terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang bersifat praksis.
Hasan hanafi bukanlah seorang pemikir latah yang hanya bisa melemparkan ‘bola panas’ ke tengah lapangan khazanah keilmuan Islam, ia tidak hanya sekedar melakukan kritik tanpa solusi. Oleh karena itu, Hasan hanafi menawarkan konsep teologi baru yang membebaskan dari unsur-unsur ketuhanan. Konsep teologi yang ia tawarkan adalah konsep teologi kemanusiaan atau yang dalam bahasa lain rumusan teologi baru ini disebut sebagai teologi antroposentrisme.
Tujuan dari teologi ini adalah untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentransformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Menurutnya, Tuhan tidak butuh penyucian, pujian atau yang lainnya sebab tanpa dipuji dan disucikan pun Tuhan tetap Maha sempurna, Maha suci dan Maha esa.
Implikasi dari landasan teologinya itu adalah munculnya rumusan-rumusan ‘sifat-sifat Tuhan’ yang antroposentris. Semisal konsep wujud, yang olehnya dimaknai dengan tuntutan kepada umat manusia untuk selalu mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Qidam berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Sedangkan baqa berarti kekal, pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, yang itu bisa dilakukan dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi. Ringkasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk menjaga senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental. Demikian juga konsep-konsep yang lain, semuanya dipahami oleh Hasan hanafi dengan pemahaman yang antroposentris.
Hemat penulis, apa yang menjadi tawaran dari seorang Hasan hanafi patut untuk dipertimbangkan. Sebab kenyatannya, selama ini rumusan dari para teolog klasik hanya berhenti pada tataran teoritis saja dan sekedar wacana yang parkir dalam otak semata. Untuk itu, perlu ada semacam follow up dari teori-teori teologi teosentris itu. Nah, dengan teologi antroposentrisnya Hasan hanafi, setidaknya teori teologi mampu menjadi semacam motivator untuk mencapai derajat insan kamil. Namun, dengan menggunakan teori ini bukan berarti menolak secara mentah konsep teologi klasik yang selama ini dikenal. Sebab mau tidak mau kewajiban seorang hamba adala menyucikanNya, meski pada kenyataanya tanpa disucikan pun Tuhan tetaplah Tuhan yang Maha segalanya. Jika logika Hasan hanafi ini dianalogikan ke konsep ibadah, maka akibatnya akan sangat fatal. Betapa tidak, seseorang akan dengan sangat mudahnya mengatakan Tuhan tidak perlu disembah, sebab tanpa disembah pun Tuhan tetap dengan kesegalamahaanya. Konsep-konsep yang menurut Hanafi terkesan melangit, sejatinya memang perlu ada. Jika tidak, agama akan kering transenden, agama akan kehilangan sakralitas, agama akan terduniawikan dan agama hanya mempersoalkan kemanusiaan saja tanpa menyentuh wilayah ketuhanan.
Maka dari itu, mengkombinasikan antara teologi teosentris dan teologi antroposentris adalah sesuatu yang menurut penulis perlu untuk diejawantahkan dalam kehidupan konkrit manusia. Pengkombinasian dua teologi tersebut bukanlah suatu inkonsistensi paradigma, plin plan atau bahkan zhalim. Kombinasi teologi terebut lebih merupakan jalan tengah untuk mendamaikan keduanya yang selama ini dianggap sebagai teologi yang saling bertentangan dan tidak akan pernah menemukan titik temu.
Kombinasi teologi ini akan semakin menemukan relevansinya dengan mengaitkan terhadap suatu ilustrasi di mana suatu ketika seorang kyai menggunakan hujjah syair Alfiyah karangan Ibnu Malik yang berbunyi “Wafikhtiyarin la yaji’ul munfashil idza ta’atta an yaji’al muttashil” untuk menjawab persoalan Ta’addudul Jum’ah yang tergolong persoalan fiqhiyyah. Atas tindakannya ini, kita tidak bisa serta merta menvonis bahwa kyai itu telah berbuat zhalim lantaran mengajukan dalil nahwu untuk menjawab persolan fiqih. Sebaliknya, kita akan menyebutnya dengan kyai yang penuh kreatifitas berfikir. Teologi pun demikian, meski pada awal perumusannya hanya bertumpu pada persoalan ketuhanan, namun pada akhirnya teologi digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan. Walhasil, tidak ada salahnya mengkombinasikan konsep teologi teosentris dengan teologi antroposentris. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar