Minggu, 01 Januari 2012

NEGOSIASI HUDUD TUHAN


                                                                            BAB I
PENDAHULUAN

            Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk selalu bisa hidup berdampingan dan harmonis satu sama lain. Menciptakan suasana kondusif, tentram dan damai antar sesama menjadi sesuatu yang niscaya. Di sisi lain, betapapun suasana harmonis menjadi sebuah keharusan dalam bermasyarakat, namun potensi terjadinya konflik menjadi sesuatu yang amat sulit untuk dihindari. Karena itulah kemudian penyelesaian dan pencarian solusinya menjadi harga mati yang tak bisa ditawar.
            Salah satu cara yang bisa ditempuh sebagai bentuk pencarian solusi terhadap konflik adalah dengan bernegosiasi, meskipun strategi negosiasi ini tak hanya digunakan saat terjadi konflik saja. Lebih dari itu, ia juga biasa digunakan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan.
            Penggunaan strategi negosiasi untuk menyelesaikan sebuah sengketa atau konflik adalah wajar dan biasa terjadi. Namun, akan lain ceritanya bila kemudian strategi negosiasi ini digunakan untuk menyelesaikan ketetapan Hudud Allah (batas-batas Tuhan). Anggapan yang selama ini berkembang di kalangan banyak pakar hukum Islam menyatakan bahwa tak ada tawar menawar dalam hak Tuhan. Hudud Allah bersifat pasti dan tak ada peluang bernegosiasi di dalamnya.
            Dalam makalah sederhana ini, penulis akan mencoba mendeskripsikan pemikiran singkat dari Muhammad Syahrur, seorang pemikir islam kontemporer kontroversial, yang dengan sangat berani telah melakukan apa yang penulis anggap sebagai bentuk negosiasi terhadap penentuan batas-batas Tuhan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sekilas Negosiasi
Sebagaimana terdeskripsikan dalam pendahuluan sebelumnya, bahwa  negosiasi merupakan salah satu bentuk strategi atau cara untuk menyelesaikan sengketa maupun konflik. Negosiasi ini termasuk salah satu di antara sekian banyak model ADR  (Alternative Dispute Resolution) selain mediasi atau arbitrasi.
Terdapat banyak definisi terkait dengan negosiasi. Jaqueline M. Nolan-Haley mendefinisikan: “Negotiation may be generally defined as a consensual bargaining process in which parties attempt to reach agreement on a disputed or potentially disputed matterí.  (“Negosiasi dapat diartikan secara umum sebagai konsensual dari proses penawaran antara para pihak untuk mencapai suatu kesepakatan tetang suatu sengketa atau sesuatu hal yang berpotensi menjadi sengketa”). Sementara, menurutSuyud Margono negosiasi adalah: “Proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka.”H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa negosiasi adalah: “Suatu cara di mana individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya” atau “Proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan”.[1]
Dari definisi-definisi yang dipaparkan oleh para pakar hukum di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum, negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu. Dengan ungkapan lain, negosiasi adalah suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga tercapai suatu kesepakatan atau kesepahaman kepentingan baik itu berupa pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan.
B.     Negosiasi Hudud Tuhan
Negosiasi sangat lazim terjadi digunakan untuk menyelesaikan sebuah konflik atau sengketa yang erat kaitannya dengan persoalan duniawi dan tak ada kaitan sama sekali dengan persoalan Hudud Tuhan yang dianggap sudah pasti dan tak bisa dinego lagi. Namun, kenyataannya oleh sebagian pakar hukum Islam Hudud Tuhan bukan berarti tak bisa ditawar atau dengan ungkapan lain, tak bisa dilakukan negosiasi. Salah seorang, pakar hukum Islam yang dengan sangat lantang menyuarakan ‘negosiasi’ atas hudud Tuhan tersebut adalah M. Syahrur.
1.      Biografi singkat M. Syahrur
   Tokoh kontroversial yang pernah mengguncangkan dunia pemikiran Islam ini bernama lengkap Muhammad Syahrur ibn Deyb. Ia lahir di perempatan Shalihiyyah, Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938, pada saat negeri tersebut masih dijajah oleh prancis, meskipun sudah mendapat status setengah merdeka. Ayahnya bernama Deyb ibn Deyb Syahrur dan ibunya bernama siddiqah binti Shalih Filyun.[2] Syahrur adalah anak kelima dari seorang tukang celup.[3] Ia dikaruniai lima orang anak: Tariq, al-Lais, Basul, Masul dan Rima, sebagai buah pernikahannya dengan Azizah.[4]
Pendidikan tingkat persiapan (i’dād) dan dasar (ibtidā’)nya dimulai dari madrasah Damaskus. Sementara pendidikan tingkat menengah (wustha) diperoleh dari madrasah Abdur Rahman al-Kawakib Damaskus, sebuah madrasah yang namanya diambil dari nama penulis Arab terkenal yang hidup pada tahun 1849-1903 dan gigih menyerukan perlawanan bangsa Arab atas bangsa Turki yang korup. Syahrur lulus dari madrasah tersebut pada tahun 1957. Setahun kemudian, tepat pada saat usianya 19, ia mendapat beasiswa dari pemerintah setempat untuk melanjutkan pendidikannya ke Uni Soviet di Faculty of Engineering, Moscow Engineering Institute. Saat itu, ia tinggal di Saratow, sebuah daerah dekat Moskow.[5]
Riwayat pendidikan intelektual yang bernuansa teknik tersebut, tidak lantas kemudian menjadikannya lupa terhadap disiplin ilmu lain. Di antara studi keislaman yang ia pelajari adalah studi al-Qur’an, bahasa Arab, filsafat humanisme, filsafat bahasa, khususnya linguistik kontemporer, semantik dan disiplin ilmu lainnya.[6] Pada perkembangannya, syahrur lebih dikenal sebagai salah satu pemikir Islam kontroversial dibanding sebagai seorang insinyur.
Syahrur tergolong pemikir yang cukup produktif. Di antara karya-karyanya adalah al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah fi ad-daulah wa al-Mujtama’, al-Islam wa al-Iman: Manzhumat al-Qiyam, Nahw al-Ushul Jadidah dll.
2.      Teori Negosiasi Hudud Syahrur
Teori hudud merupakan wujud nyata dari rekonstruksi ushul fiqih yang dilakukan Syahrur. Boleh dibilang teori ini adalah teori sangat mutakhir karena muncul di penghujung akhir abad XX M. Teori ini juga bisa dikatakan sebuah teori unik yang terinspirasi dari konsep hudud matematis sekaligus analisis matematis Sir Isaac Newtoon, seorang fisikiawan Barat modern.
Secara etimologi, kata hudud merupakan bentuk plural dari al-hadd yang berarti al-hajiz bayna as-syaiaini (pemisah dua hal), al-muntaha, at-taqyid, al-Hasr (batas); al-man’u, al-mamnu’ wa al-mahzhur yang berarti larangan. Al-hadd disebut larangan karena sesuatu dianggap hadd bila seorang dilarang kembali padanya.[7] Syahrur sendiri memaknai hudud sebagai sebuah batas dan bukan sebagai sebuah larangan. Makna ini pula yang digunakannya ketika ia memahami firman Allah dalam QS. An-Nisa’ (4): 13-14 yang berbunyi:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.  وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ.
Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah batas-batas (ketentuan-ketentuan) dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”

   Apabila merujuk pada konteks pembicaraan ayat tersebut, maka pandangan Syahrur agaknya lebih mendekati kebenaran. Sebab, pembicaraan tentang hudud pada ayat di atas terkait erat dengan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai pembagian harta warisan. Ketentuan pembagian tersebut bukan merupakan sebuah larangan, melainkan suatu ukuraan, kadar dan batasan. Dengan demikian, hudud dalam konteks ayat di atas dapat dipahami sebagai batas (limit) sebagaimana anggapan Syahrur.
Dalam konteks pembicaraan hukum Islam secara umum, term hudud lebih banyak digunakan oleh pakar fiqh (fuqaha’) dari pada pakar ushul fiqh. Bahkan, hampir tidak pernah pakar ushul mengeksplor atau sekedar menyinggung persoalan hudud ini. Justru, fuqaha yang membicarkannya sebagai bagian dari pembahasan tentang pidana Islam.[8]
Hudud dalam terminologi  fiqh diartikan sebagai ‘uqubah muqaddarah (hukuman tertentu) yang ditetapkan syariat baik menyangkut hak Allah maupun hak hamba. Definisi tersebut adalah versi mayoritas ulama, sementara ulama hanafiyah agak sedikit berbeda dengan mendefinisikannya sebagai hukuman yang ditentukan syari’at yang hanya khusus pada hak Allah saja, bukan hak hamba.[9] Meski demikian, sesungguhnya apa yang dikemukakan oleh jumhur ulama dan ulama hanafiyah  ini memiliki kesamaan pada artikulasi dasar had yang berarti hukuman.
Abdul Qadir ‘Audah, sebagaimana dikutip Fanani, menjelaskan bahwa had sesungguhnya adalah hukuman yang sudah ditentukan dan merupakan hak Allah. Maksud dari hukuman yang sudah ditentukan adalah bahwa hukuman itu sudah dibatasi, sudah ditentukan dan tidak ada lagi batas minimal atau maksimal. Penjelasan yang disampaikan ‘Audah ini memberikan pengertian bahwa had yang merupakan hukuman Allah itu tak boleh ditambah maupun dikurangi. Tak ada tawar menawar dan negosiasi dalam hudud Tuhan. Dengan demikian, hadud hanya bisa diketahui melalui teks eksplisit nash dan tak boleh didasarkan pada teks implisit nash maupun ijtihad.
Pernyataan ‘Audah dan mayoritas ulama fiqh di atas tentu sangat berbeda dengan pandangan Syahrur. Jika dalam perspektif fiqh konvensional ditetapkan bahwa hudud Tuhan itu bersifat pasti dan tak ada negosiasi, maka dalam kacamata Syahrur, hudud itu fleksibel dan ada peluang negosiasi di dalamnya.
Batas Tuhan (hudud Allah), oleh Syahrur diibaratkan sebagai garis-garis lurus dan konstan (ats-tsawabit), sementara pada saat yang sama memberi ruang pada manusia untuk bergerak dinamis (at-taghayyur) dalam hukum.[10] Dengan kata lain, batas-batas itu merupakan representasi dari kekokohan hukum yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Sementara ruang yang diberikan itu merepresentasikan sisi fleksibilitas hukum Islam yang selalu dinamis dan selaras dengan tuntutan zaman. Perpaduan antara sesuatu yang konstan dan tsawabit inilah yang kemudian dirumuskan oleh Syahrur sebagai hakikat hukum Islam. Dalam prakteknya, ia menetapkan enam prinsip batas, yang dibentuk dari perpaduan antara sumbu Y (Hudud Allah) dan sumbu X (realitas historis manusia). Keenam teori batas yang dicetuskannya itu tak lain, juga sebagai bentuk negosiasi terhadap hudud Tuhan. Enam teori tersebut adalah:
a.      Batas minimal (al-hadd al-adnā)
Menurut Syahrur, Allah telah memberikan kepada manusia batas-batas minimal. Batas minimal ini tak boleh dilampaui agar menjadi lebih minimal lagi. Batas minimal adalah batas terendah yang diberikan oleh Allah tentang sesuatu yang boleh dilakukan. Di antara batas minimal yang telah ditetapkan Allah adalah batas minimal dalam hal keharaman menikahi perempuan. Perempuan-perempuan yang haram dinikahi tersebut dijelaskan dalam an-Nisa’ (4): 22-23. Selain itu, ayat lain yang menjelaskan tentang batas minimal adalah ayat yang menjelaskan persoalan pakaian perempuan yang terkandung dalam an-Nur (24): 31.[11]
Pada batas minimal ini seolah tak ada negosiasi hudud, namun sebenarnya, negosiasi hudud dalam hal ini masih tetap ada. Jika dicermati, konsep batas minimal tawaran Syahrur ini berusaha memberikan peluang pada seseorang untuk bernegosiasi dengan menambah apa yang telah ditetapkan Tuhan, tentu dengan berbagai pertimbangan dan dalam kondisi tertentu, seperti yang terjadi pada kasus perempuan yang haram dinikahi dan persoalan pakaian perempuan di atas.
b.      Batas maksimal (al-hadd al-a’lā)
Sebagaimana ada batas minimal, maka sangat wajar bila Syahrur pun menetapkan bahwa dalam kandungan Ummul Kitab[12] terdapat juga batas maksimal. Ia mencontohkan batas maksimal ini dengan ayat yang menjelaskan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri, yaitu pada surat al-Maidah (5): 38.[13] Berdasar ayat tersebut Syahrur berkesimpulan bahwa seorang pencuri tidak boleh dihukum melebihi potong tangan, sebab yang demikian itu adalah batas maksimal yang telah ditetapkan Tuhan. Sebaliknya, seorang hakim boleh menetapkan hukuman yang lebih ringan dari potong tangan yang tentunya dengan memperhatikan situasi dan kondisi tertentu. Tawaran batas maksimal yang ditetapkan Syahrur ini sesungguhnya, telah dilakukan oleh sahabat Umar ibn Khatthab yang tidak menghukum potong tangan pada seorang pencuri lantaran pada saat itu adalah musim paceklik. Dari sini kemudian langkah yang diambil oleh Umar yangbelakangan diadopsi dan dijadikan sebagai salah satu konsep istinbath hukum oleh Syahrur ini bisa disebut sebagai bentuk negosiasi terhadap Hudud Tuhan.
c.       Batas maksimal dan minimal yang datang secara bersamaan, namun tidak menyatu dalam satu garis (al-hadd al-adnā wa al-hadd al-a’ ma’an)
Dalam pandangan Syahrur, salah satu ayat yang mempunyai batasan minimal dan maksimal sekaligus adalah ayat yang menjelaskan tentang warisan, yaitu surat an-Nisa’ (4): 11, 12, 13 dan 14). Terkait dengan ayat waris ini, Syahrur berpandangan bahwa tujuan utama disyariatkannya pembagian waris adalah semata-mata demi keadilan, baik pada ahli waris perempuan maupun ahli waris laki-laki, karena itu untuk bisa menemukan keadilan itu harus menggunakan prinsip himpunan dan pendekatan matematika modern. Menurutnya, aturan dua banding satu bagi ahli waris laki-laki dan perempuan berlaku saat pihak perempuan tak ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Apabila perempuan ikut menanggung beban ekonomi keluarga, maka kesenjangan bagian itu semakin kecil sesuai dengan tingkat kerja sama dalam menanggung beban ekonomi yang bersangkutan. Dalam hal ini, seorang mujtahid bertugas menentukan bagian masing-masing pihak sesuai dengan semangat persamaan dan keseimbangan bagian antara pihak laki-laki dan perempuan berdasar kondisi sosial-historis-objektif yang dikuatkan dengan bukti-bukti materiil statistik serta dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudahan bagi masyarakat.[14]  
Selain itu, ayat yang mengandung batas minimal dan maksimal adalah ayat poligami, yaitu surat an-Nisa’ (4): 3. Ayat ini dipandang Syahrur sebagai ayat hududiyah. Ia hadir untuk menggabungkan batas minimal dan maksimal dalam sebuah kuantitas dan kualitas sekaligus. Batas minimal kuantitasnya adalah menikahi satu orang perempuan dan batas maksimalnya adalah empat orang perempuan, dengan ketentuan kualitas bahwa istri kedua sampai dengan istri keempat adalah seorang janda yang cerai mati, bukan cerai talak.[15]Dari kedua contoh ayat yang diberikan Syahrur di atas, terlihat jelas bahwa di sana ada hudud Tuhan yang amat fleksibel untuk dilakukan sebuah negosiasi.
d.      Batas minimal dan maksimal yang menyatu dalam satu titik atau garis lurus (al-hadd al-adnā wa al-hadd al- a’lā ‘ala nuqthatin wāhidatin ay hālat al-mustaqīm aw hālat at-tasyrī’ al-‘ainiy)
Batas jenis keempat ini, menurut Syahrur hanya terdapat pada surat an-Nur (24): 2 yang menjelaskan tentang hukuman bagi seorang pezina. Satu titik tersebut dalah 100 jilid. Dalam hal ini 100 kali jilid dianggap sebagai batas minimal dengan alasan bahwa pada ayat sesudahnya Allah memberikan peringatan untuk tidak merasa belas kasihan pada pezina. Sedangkan terkait batas maksimalnya, Syahrur tidak secara tegas menjelaskan. Namun, Muhyar Fanani berkesimpulan bahwa alasan mengapa 100 kali jilid dianggap batas maksimal adalah karena sudah hampir dipastikan seorang tidak akan mampu lagi bertahan hidup setelah didera 100 kali.[16]
Menurut Syahrur, inilah satu-satunya tasyri’ ‘aini (tertentu dan pasti)[17], sehingga dalam hal ini tak ada peluang untuk melakukan penambahan atau pengurangan pada hukuman tersebut. Dengan demikian, pada batas ini tak ada tawar menawar maupun negosiasi.



e.       Batas maksimal berupa garis yang mendekati garis lurus, namun tak sampai menyentuh (al-hadd al-a’lā bi khattin muqāribin li mustaqīmin ay yaqtaribu wa lā yamassu)
Pada batas ini, Syahrur memberikan contoh hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak sampai pada tahap zina yang terdapat pada surat al-Isra’ (17): 32. Jenis batas kelima ini, menurutnya sangat terkait dengan jenis batas keempat sebelumnya. Dalam hal ini, seorang tidak diperkenankan mendekati zina, sebab batas maksimalnya adalah mendekati zina itu sendiri.[18] Dengan demikian dalam batas ini -sebagaimana pada batas keempat- tak ada peluang untuk bernegosiasi. Hanya saja, persoalan ukuran mendekati zina ini  tak bisa diputuskan secara pasti dan dipositivisasi. Persoalan tersebut amat relatif dan tergantung pada keputusan dan pertimbangan mujtahid. Karena itulah, boleh jadi peluang untuk sedikit berngosiasi ada pada penentuan mujtahid tersebut.
f.       Batas maksimal positif-tertutup yang tak boleh dilampaui, sementara batas minimalnya negatif dan boleh dilampaui (al-hadd al-a’lā mūjibun mughlaqun lā yajūzu tajāwuzuhu, wa al-hadd adnā sālibun yajūzu tajāwuzuhu)
Teori batas terakhir ini berlaku pada transaksi bendawi manusia. Syahrur mencontohkan bahwa dalam persoalan transaksi ini batas maksimalnya berupa riba dan batas minimalnya berupa zakat. Riba sama sekali tak boleh dilampaui sedangkan zakat sebagai batas minimal boleh dilampaui ke arah negatif dengan membayar sedekah. Di antara kedua batas tersebut terdapat posisi nol, yang terwujud dalam bentuk transaksi al-qardl al-hasan (pinjaman tanpa bunga).[19] Dengan demikian negosiasi batas dalam hal ini hanya berlaku pada batas minimal yang boleh dilampaui.

BAB III
KESIMPULAN
            Berdasarkan eksplorasi pada pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa langkah-langkah Syahrur dalam memahami pesan al-Qur’an yang terwujud dalam nazhariyaat al-hudud (teori-teori batas), sesungguhnya juga merupakan bentuk negosiasi antara teks dan konteks. Syahrur berusaha memberikan peluang pada konteks untuk senantiasa berdialektika dan bernegosiasi dengan teks agar tercipta sebuah tatanan hukum Islam yang benar-benar membawa kemaslahatan pada seluruh umat.






              












DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili,Wahbah,  Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.
Chritsmann, Andreas “Bentuk teks (wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam Al-Kitab wa Al-Qur’an”, dalam Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Fanani, Muhyar,  Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: LKIS, 2010.
Manzhur, ibnu, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
Mufidah, Imro’atul “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Syahrur”, dalam Kurdi dkk., Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Syahrur, Muhammad, Al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, Damaskus: al-Ahaliy, t.t.
Syahrur, Muhammad, Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Damaskus: al-Ahaliy, 2000.
Syarqawi Ismail, Ahmad,  Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, yogyakarta: Elsaq Press, 2003.


.




[1] http://www.ahmadzakaria.net/blog/, Akses 28 Desember 2011
[2] Achmad Syarqawi Ismail, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur, (yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm. 43.
[3] Andreas Chritsmann, “Bentuk teks (wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam Al-Kitab wa Al-Qur’an”, dalam Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 19.
[4]Op.Cit., hlm. 44.
[5] Op. Cit., hlm. 19.
[6] Imro’atul Mufidah, “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Syahrur”, dalam Kurdi dkk., Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), hlm. 287.
[7] Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 249. Lihat juga Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm 899.
[8] Ibid., hlm. 250.
[9] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, t.t.), juz VII, hlm. 217.
[10] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahaliy, t.t.), hlm. 452.
[11] Ibid., hlm. 456.
[12] Ummul Kitab adalah sebutan khas Syahrur untuk menunjuk pada ayat-ayat yang berisikan kumpulan hukum-hukum syari’at. Sedangkan term al-Qur’an dalam bahasa mayoritas ulama, disebutnya sebagai at-Tanzil al-Hakim. Perbedaan penggunaan istilah ini sebagai salah satu konsekwensi dari salah satu anggapannya yang tak setuju dengan konsep sinominitas bahasa. Pandangan seperti itu ia adopsi dari salah satu pakar linguistik bernama Ibnu al-Jinni yang merupakan murid dari al-Farisi, seorang pakar linguistik arab kontroversional. Terkait perbedaan-perbedaan istilah ini bisa dilihat  pada Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahaliy, t.t.). dan Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Ahaliy, 2000).
[13] Syahrur, Op.cit., hlm. 456.
[14] Muhyar Fanani, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 278. Lihat juga pada Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Ahaliy, 2000), hlm. 231.
[15] Ibid., hlm. 263.
[16] Ibid., hlm. 264.
[17] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahaliy, t.t.), hlm. 464.
[18] Ibid., hlm. 465.
[19] Ibid., hlm. 465.