Rabu, 06 Juli 2011

Tertutupnya Pintu Ijtihad (Sebuah kritik Historis)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah
            Islam sebagai agama yang mengatur segala sendi kehidupan umatnya diturunkan dengan membawa aturan-aturan hukum yang dapat dipedomi guna kemaslahatan hidup. Sumber hukum utama dalam Islam adalah Al Quran dan Sunah Nabi; meski dalam penerapannya masih memerlukan proses penggalian yang mendalam sehingga diperoleh suatu keputusan hukum yang baku. Proses penggalian hukum inilah yang dikenal dengan ijtihad. Dengan ijtihad ini maka lahirlah sumber hukum yang lain yakni ijma’ dan qiyas.
            Dalam ijtihad seorang mujtahid akan mengerahkan segala kemampuannya dalam memahami dan menggali suatu kaidah hukum sehingga ia mendapatkan pedoman dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan suatu permasalahan. Tidak semua orang dapat berijtihad; sebab seorang mujtahid mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu guna memahami teks-teks ayat ataupun hadis yang menjadi rujukannya.
            Ijtihad sangatlah penting guna menjaga tetap lestari dan berlakunya hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti sebab suatu hukum harus mampu menyesuaikan waktu dan tempat dimana kehidupan berlangsung; juga harus mampu memberikan solusi tepat bagi problematika kehiupan umat.
            Kaitannya dengan ijtihad sebagian ulama menyatakan bahwa ijtihad dapat dilakukan di setiap saat dan tempat; meski sebagian yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini terlihat sangat kontradiktif dan dapat membingungkan bagi umat sekaligus memberikan celah bagi mandegnya proses istinbath hukum.
            Guna memperoleh pemahaman yang benar dan akurat mengenai seluk-beluk ijtihad dan isu tertutupnya pintu ijtihad ini,maka penyusun makalah mencoba menggali dan mengkaji lebih lanjut mengenai hal tersebut dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penyusun akan membahas tentang :
1.      Pengertian Ijtihad dan Macam-macamnya
2.      Klasifikasi dan Syarat-syarat Mujtahid
3.      Isu tertutupnya pintu ijtihad
4.      Urgensi Ijtihad di Era Kontemporer


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad berasal dari kata al jahd atau al juhd, yang berarti al masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan at thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam bentuk masdhar kata ijtihad mempunyai arti “usaha itu lebih sungguh-sungguh.[1] Ada juga yang menyatakan bahwa ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata ijtihad mengikuti wazan ifti’al yang berarti “bersangatan dalam pekerjaan”.[2]
Adapun terminologi dari ijtihad; menurut Ulama Ushuliyin mendefinisikan ijtihad sebagai usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[3] Adapun Abd al Wahab al Khalaf menyatakan ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang amali dan berpedoman dari dalil yang terperinci (tafshili).
Dengan kata lain ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh  pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’.[4]
B.     Stratifikasi (Tingkatan) Mujtahid
Menurut Imam Nawawi,Ibnu Shalah dan sebagian ulama lain membagi tingkatan mujtahid menjadi :[5]
1.      Mujtahid Mustaqil/Mujtahid Mutlaq
Mujtahid mustaqil adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah- kaidah yang ia buat sendiri, ia menyusun sendiri fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As Suyuthi tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2.      Mujtahid Mutlaq ghairu Mutsaqil (Mujtahid Muntasib)
Yakni orang yang memiliki kriteria mujtahid mutsaqil namun ia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidah tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab.
3.      Mujtahid Muqayyad/Mujtahid Takhrij
Ia merupakan mujtahid yang terikat dengan imamnya meskipun bebas dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telaah dipakai oleh imamnya.
4.      Mujtahid Tarjih
Yakni seorang yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tapi menurut Imam Nawawi mujtahid iini sangat faqih,hapal kaidah-kaidah imamnya,mengetahui dalil-dalil,cara memutuskan hukum dan mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat dan lain sebagainya.
5.      Mujtahid Fatwa
Mujtahid ini hapal dan paham mengenai kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun ia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
C.    Klasifikasi Ijtihad
Sebenarnya ada banyak pendapat para pakar fikih tentang macam dan jenis ijtihad yang setiap mereka  membagikannya berdasarkan kreterianya masing-masing sehingga ini menjadi indikator kalau tema ijtihad itu sendiri begitu dinamis. Namun dalam kesempatan ini kami cukupkan dengan apa yang dipaparkan oleh alfaqih Syaikh al-Azhar yaitu  Dr. Yusuf Al-Qordhawi
 Menurut Beliau Ijtihad yang kita perlukan untuk masa saat ini ada dua macam :
1.       Ijtihad Tarjihi Intiqa’i (selektif)
2.       Ijtihad Ibda’i  Insya’i (kreatif)
Ijtihad Tarjihi Intiqa’i (selektif)
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqai ialah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih islam yang telah penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Sikap Ini bukan berarati mengambil atau mempedomani salah satu mazhab fikih yang menurut kebiasan kita paling cocok  untuk kemudian diterapkan sebagai way of life nya tanpa mau mengkaji secara seksama dasar-dasar pemikiran orang yang diikutinya (taklid a’ma). Akan tetapi pilihan ini meniscayakan kita untuk berpikir dan meneliti secara mendalam dan lebih jauh terhadap varian hasil ijtihad dan pemahaman ulama terdahulu itu yang sudah sangat jelas perbedaan diantara mereka lalu kita bandingkan (komparasikan) antara mazhab yang satu dengan lainnya dengan flash back (melihat kembali)  apa-apa dalil yang kiranya mendasari dan menguatkan masing –masing mereka dengan keputusannya itu. Setelah itu  hasil dari telaah tersebut kita melihat titik keunggulan dan kelemahan masing-masing kemudian kita tarik benang merahnya dengan menggunakan kaedah tarjih yaitu bahwa pendapat yang mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan zaman sekarang, mencerminkan kelemah lembutan dan humanisme. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih mendekati dan prioritas untuk ditetapkan sebagai sebuah hukum islam kontemporer.[6] 
Contoh untuk kasus ini adalah kasus pembunuhan yang dilakukan secara terpaksa yang mendapat tekanan (pressure) dan paksaan (ikrah) dari pihak ketiga atau orang lain. Maka kepada siapakah hukuman qishash dijatuhkan? Ada pendapat yang mengatakan qishash itu dijatuhkan kepada orang yang langsung melakukan pembunuhan yaitu orang dipaksa tadi karena dia pihak yang melakukan pembunuhan secara langsung. Ada juga yang berpendapat qishash dijatuhkan kepada orang yang memaksa (merencanakan dan menyuruh) untuk melakukan pembunuhan sebab si pembunuh pada dasarnya hanyalah sekedar dijadikan alat orang yang memaksa. Ada juga pendapat lain yaitu qishash dijatuhkan terhadap keduanya, sipemaksa dan si pembunuh karena pihak pertama  yang langsung melakukan tindak pembunuhan sedangkan pihak kedua karena pada hakekatnya dialah yang biang dibalik pembunuhan itu. Bahkan ada yang berpendapat bahwa baik pihak pertama maupun pihak kedua sama-sama tidak dikenakan sanksi kapital panismen tersebut (qishash) karena pidana masing-masing dari keduanya belum memenuhi persyaratan. 
Ijtihad Ibda’ Insya’i (Kreatif)
Maksudnya adalah usaha pengambilan sebuah kesimpulan hukum baru dari persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu baik itu permasalahan lama ataupun mengenai permasalahan kekinian atau dalam ungkapan lain ijtihad insyai adalah meliputi sebagian persoalan klasik yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pandangan baru yang berbeda dan belum pernah diketengahkan oleh para ulama salaf. Dan tentu saja hal ini terkait dengan keaslahan dan reliabilitas yang dapat dipertanggung jawabkan dalam melihat fakta dan konteks kehidupan saat ini. Karenanya sangat memungkinkan bila sesuatu yang telah diijtihadkan oleh dua orang dengan dua pendapat yang berbeda pula untuk melahirkan pendapat-pendapat yang lain dan seterusnya sejauh yang menjadi barometernya adalah kelayakan dan kepatutan menurut realitas yang ada dan lebih maslahat dan dengan begitu pintu ijtihad itu selalu terbuka lebar selama kehidupan umat manusia itu ada dan eksis di muka bumi tanpa ada satu kekuatanpun yang dapat mematikannya karena kesempurnaan itu tidak pernah berhenti. 
Dalam hal ini dijadikan contoh pada umumnya adalah masalah-masalah baru seperti pendapat seorang mufti di Mesir, Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i dalam sebuah artikelnya yang berjudul ‘ al-kaulu al-kafi fi ibahati attaswir al-fotografi ‘ Beliau berpendapat bahwa foto itu dibolehkan sebab dilarangnya melukis itu karena menyerupai penciptaan (makhluk ) Allah swt. Sedangkan foto itu sama sekali tidak menyerupai makhluk Allah akan tetapi sebaliknya hanya merupakan bayangan diri sendiri yang terefleksi pada kertas sebagimana halnya pemantulan pada kaca cermin itu karena perkembangan ilmu modern yang mampu menetapkan bayangan tersebut dalam kertas atau objek lain. Dan ini didukung oleh kenyataan yang ada pada penduduk Qatar dan negara-negara Teluk mereka menamakan tashwir (foto) dengan kata ‘aks (membuat bayangan) jamaknya ‘ukus ( beberapa bayangan pantulan) dan untuk tukang foto dinamakan ‘akkas (tukang merefleksikan bayangan) dan seterusnya yang sekiranya orang-orang yang menyebut tashwir untuk yang pertama kali ketika foto dikenal di negara arab dengan membuat bayangan (‘aks) tentu tidak akan timbul keraguan dalam benak sebagian orang yang bersikap keras terhadap pengharaman foto secara mutlak.

D.    Syarat-syarat Mujtahid dan Ruang Lingkup Ijtihad
1.      Syarat-syarat mujtahid
Pada prinsipnya ijtihad adalah manifestasi  pemikiran kefilsafatan oleh sebab itu ijtihad merupakan kerja akal yang memperoleh bimbingan syara’ sehingga hasilnya secara dominan merupakan bagian dari kerja akal manusia.[7]
Dalam literatur Ushul fikih para ulama memberikan rumusan berbeda-beda tentang syarat seorang mujtahid. Hal ini banyak ditentukan oleh titik pandang yang berbeda tentang defenisi mujtahid  itu sendiri. Ada yang sama ada juga yang bertentangan terutama apa terkait dengan kepribadian dan kemampuan masing-masing. Dua syarat inilah wajib dimiliki setiap mujtahid :
a.       Syarat kepribadian ;
-          Syarat kepribadian secara umum
Syarat ini memastikan seorang itu mesti sudah baligh dan berakal sehat. Kedua syarat ini menjadi sesuatu yang mutlak manakala kedewasan dalam arti cukup umur sangat menentukan kemampuan seseorang untuk dapat berpikir sempurna sedangkan kesempurnaan akal atau cerdas menjadi penentu terhadap penguasaan ilmu pengetahuan yang membimbingnya kearah berpikir ilmiyah. Sebenarnya ini menjadi syarat pembebanan hukum syara’ pada umumnya yang dinamakan dengan ‘taklif’
-          Syarat kepribadian secara khusus
Diwajibkan bagi pribadi yang berijtihad memilik keimanan yang sempurna baik berkenaan dengan zat, sifat dan perbuatan-Nya. Dia mesti yakin akan adanya hukum Allah yang mengatur segala segi kehidupan umat manusia. Dia percaya terhadap kerasulan Nabi Muhammad saw sebagai penjelas hukum Allah swt.[8]
Al-imam Ghazali menambahkan sifat adil dalam pribadi yaitu adil dalam periwayatan hadis dan kewalian sebuah potensi yang melekat pada seseorang yang tidak memungkinkannya untuk melakukan dosa besar atau tidak terus dalam melakukan dosa kecil.
b.      Syarat kemampuan;
Seseorang diwajibkan memiliki kemampuan akademis yang memadai untuk meneliti (research) dan menggali hukum syara’ dari dalil-dalinya serta dapat merumuskannya dalam formulasi hukum. Untuk itu diperlukan beberapa syarat secara kumulatif atau conditio sine qua non yaitu :
-          Mengetahui ilmu alat dalam hal ini  berupa penguasaan bahasa arab , meliputi nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, dan badi’. Dengan kemampuan ini ia dapat menggali maksud dari kehendak Allah dalam Alquran secara tepat adanya sebuah karya ilmiah yang terkait dengan hukum Islam. Menurut Abu Ishaq asy-Syatibi tidak dituntut batas tertentu namun menyatakan bahwa kualitas hasil ijtihad yang dicapai sejalan dengan kemampuan bahasanya
-          Mengetahui Alquran sebagai sumber asasi hukum syara’. Karena itu hendaknya seoarang mujtahid mempunyai pengetahuan  yang baik dan konprehensif tentang ayat-ayat Alquran ini, muhkamat, mutasyabihat, manthuq dan mafhum, termasuk ilmu qiroat, nasikh mansukh dan asbab annuzul dan persyaratan ini disepakati semua ulama.
-          Memahami hadis nabawi atau sunnah sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Alquran. Pemahaman ini meliputi qauliyah, fi’liyah maupun takririyah termasuk kemampuan memilah antara hadis tasyri’i dan ghairu tasyri’i terutama juga hadis yang berkenaan dengan hukum-hukum taklifiyah bahkan dituntut untuk memahami ilmu diroyatul hadis mana hadis shahih dari yang tidak termasuk juga asbabul wurudnya
-          Pengetahuan tentang Ijma’ menjadi penting mengingat kedudukannya sebagai sumber hukum sehingga pendapatnya tidak akan menyalahi konsensus ulama yang telah diputuskan sebelumnya termasuk dituntut mengetahui metode istimbath yang digunakan ulama itu sehingga dia dapat memilih mana metode yang paling tepat dan paling dekat kepada nash.
-          Pengetahuan yang memadai tentang qiyas yang telah disepakati jumhur sebagai salah satu cara dalam menemukan hukum Allah termasuk metode yang dipakai dalam istinbath ahkam sehingga memungkinkan dia untuk sampai ke tujuan syara’
-          Pengetahuan tentang makasid syariah dalam menetapkan hukum sebagai yang harus dipedomani dari semisal mengharap mashlahah dan manfaah yang lebih besar serta sedapat mungkin  menghindari madharrah sekecil apapun.
-          Ushul Fikih menjadi disiplin ilmu yang mutlak harus dimiliki sehingga tanpa penguasaan ilmu seorang mujtahid akan sangat sulit untuk melakukan ijtihad.
Setelah itu ada beberapa syarat yang masih diperselisihkan diantaranya :
-          Penguasaan ilmu fikih menurut alghazali syarat ini diperlukan pada masa kini dalam berijtihad tetapi Salam Mazkur diantara ulam yang tidak mengharuskannya
-          Pengetahuan ilmu manthiq ilmu baru populer pada masa-masa terakhir sehingga keharusannya dipertanyakan
-          Ilmu Ushul din, Ulama mu’tazilah mengharuskan pengetahuan ini namun jumhur tidak mensyaratkannya
2.      Ruang Lingkup Ijtihad
Ijtihad tidak berlaku terhadap sesuatu yang telah memiliki keputusan nash yang shorih (qath’i ) seperti persoalan akidah pada umumnya dan yang menjadi lahan atau ruang untuk dapat diijtihadi adalah sesuatu yang memiliki status dan kedudukan zhanniyat saja yakni meliputi :
a.       Bidang pemikiran theologi (ilmu kalam) ini tidak sama dengan akidah yang merupakan sesuatu yang dogmatik sedangkan theologi memungkinkan timbulnya pendapat yang berbeda, seperti mengenai ra’yatullah (melihat Allah) bagi orang mukmin kelak di akhirat. Pendapat-pendapat berbeda tentang definisi melihat (ra’yun) tersebut sesuatu yang lazim manakala penjelasan ke arah itu memungkinkan dan ini di luar permasalahan prinsipal mengingat kita tidak akan ditanyakan karena itu masuk adalam kategori dalam pemikiran theologi
b.      Bidang amaliyat. Sebagian masalah ini bersifat qath’iyat seperti ketentuan sholat, puasa, haji dll, namun sebagiannya masuk klasifikasi yang masih bisa diinterpretasikan dan itu sangat banyak seperti kadar susuan yang menyebabkan terjadinya nasab atau mahrom dan juga masalah kishash seperti yang pernah dicontohkan sebelumnya[9]
E.     Tertutupnya Pintu Ijtihad; Sebuah Kritik Historis
            Aktifitas ijtihad sesungguhnya telah dimulai sejak masa Nabi, bahkan tindakan nabi dalam memberikan fatwa yang kemudian dibenarkan oleh wahyu dipandang sebagai bentuk ijtihad oleh mereka yang beranggapan bahwa Nabi sah sah saja melakukan ijtihad, seperti kasus tawanan perang badar, di mana setelah beliau bermusyawarah dengan para sahabat lantas beerijtihad dan memutuskan untuk membebaskan tawanan dengan membayar tebusan. Setelah itu turunlah surat al-Anfal: 67 yang mengklarifikasi tindakan beliau tersebut. Ayat tersebut berisi: “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melulmpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiah sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu. Dan Allah maha kuasa lagi bijaksana.”
            Sementara itu aktifitas sahabat dalam menjelaskan al-Qur’an maupun as-Sunnah atau menentukan hukum yang belum dijelaskan oleh nash dengan menggunakan akal juga dipandang sebagai aktifitas ijtihad. Mereka melakukannya sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan mereka  yang didukung dengan integritas, kecintaan dan kesetiaan kepada agama yang dibawa oleh Nabi.[10] 
            Pada masa sahabat ini terdapat dua kategori ijtihad. Pertama, adalah masa dimana ijtihad dari sahabat masih dalam bimbingan dan pengawasan Nabi. Ijtihad yang salah akan mendapatkan pembetulan secara langsung dari beliau dan ijtihad yang dianggap benar akan mendapat pengukuhan dari beliau. Pengukuhan inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan sunnah taaqririyah. Ijtihad jenis ini seperti yang terjadi pada kasus dua orang sahabat yang menjalankan ibadah sholat tanpa wudhu dan hanya melakukan tayamum karena ketiadaan air. Tidak lama kemudian keduanya mendapatkan air. Seorang sahabat yang satu mengulangi sholatnya dan seorang sahabat lainnya tidak mengulanginya. Ketika mereka berdua bertemu dan mengadukan kejadian tersebut, Rasulullah lantas membenarkan keduanya.[11] Kedua, ijtihad sahabat sepeninggal Nabi, pada masa ini ijtihad sahabat benar-benar berfungsi sebagai aktifitas penggalian hukum, bahkan dipandang sebagai sebuah kebutuhan yang harus dilaksanakan sebagai problem solving. Dengan dipelopori sahabat-sahabat besar seperti Abu bakar, Umar, Utsman, Ali dan tokoh-tokoh sahabat lainnya semangat  dan dinamika ijtihad semakin berkembang. Dengan bertambah luasnya daerah kekuasaan Islam, maka persoalan-persoalan hukumpun banyak bermunculan. Hal ini karena kaum muslilmin yang menjadi penduduk-penduduk baru itu telah mempunyai tata cara dan adat istiadat tersendiri sebelum memeluk Islam. Karena faktor inilah kemudian para sahabat merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap nash-nash hukum dan memberikan fatwa pada kasus-kasus tersebut.
            Pada masa selanjutnya, yaitu masa tabi’in dan tabi’it tabi’in kegiatan ijtihad semakin besar dan berkembang. Pada masa ini mulai muncul aliran ra’yu dan aliran hadits. Para ulama tidak hanya sekedar berijtihad, tetapi pada masa ini mereka juga gencar melakukan kodifikasi atas hasil ijtihad mereka sehingga pada gilirannya masa ini disebut sebagai masa tadwin dan ulama mujtahidin. Periode ini berlangsung sejak awal abad kedua Hijriyah hingga pertengahan abad keempat Hijriyah.[12]
            Sebagaimana deskripsi di atas, pasca wafatnya Rasulullah hingga pertengahan abad ke empat, ijtihad mengalami perkembangan yang begitu mengesankan. Ibarat pelita, ijtihad mampu menjadi penerang syariat Islam. Bak sebuah kunci, ia mampu membuka sekaligus menjawab berbagai macam persoalan zaman yang selalu berjalan dinamis. Dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan “Tsarwah Fiqhiyyah” (khazanah fiqih) dan pada puncaknya fiqih mengalami puncak kejayaannya pada sekitar abad empat Hijriyah.
            Namun, setelah masa tersebut berlalu, kekuasaan Islam yang mulai terpecah belah ke dalam beberapa negara sedikit banyak mempengaruhi tradisi keilmuan. Aktivitas ijtihad mulai menampakkan kelesuan, melemahnya kebebasan berfikir, bekunya semangat dan terjadi dekadensi antusiasme keilmuan di bidang agama. Tidak hanya berhenti sampai di situ, pada masa ini benih-benih fanatisme bermazhab mulai menyebar, perdebatan kusir antar pengikut mazhab yang semakin memuncak ditambah lagi dengan merebaknya para hakim yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya. Pada masa ini, Aktivitas keilmuan tak lebih dari sekedar kodifikasi terhadap pemikiran-pemikiran mujtahid terdahulu atau hanya sebatas melakukan resume dan komentar terhadap ulama-ulama pendahulu. Dari sinilah kemudian muncul seruan agar kaum muslimin konsisten untuk selalu berpegang teguh pada pendapat-pendapat mujtahid terdahulu sebagai salah satu langkah untuk melestarikan kemurnian fiqih. Mereka juga mendeklarasikan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.[13]
            Dalam karya ushulnya, az-Zuhaili menilai bahwa tindakan menutup pintu ijtihad merupakan salah satu bentuk kebijakan yang bermuatan politis-temporal, atau sebagai langkah antisipatif terhadap munculnya produk-produk ijtihad yang ditelorkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Dengan demikian ketika muatan-muatan maupun faktor-faktor itu telah tiada maka seharusnya kembali pada hukum semula, yaitu terbukanya pintu ijtihad. Menurutnya, klaim tertutupnya pintu ijtihad adalah klaim kosong yang berlangsung secara turun menurun dan tidak berlandaskan argumentasi syara’ maupun akal.[14] 
            Terkait problem stagnasi ijtihad ini, Josep Schaht dalam An Introduction To Islamic Law, sebagaimana dikutip Abdus salam menyatakan bahwa alasan penutupan pintu ijtihad ini kemungkinan merupakan akibat tekanan-tekanan eksternal dan bukan karena faktor internal.[15]
            Sebagaimana dikutip az-Zuhaili, Sekelompok ulama Syiah mengatakan “Tertutupnya pintu ijtihad pada abad ke empat Hijriyah serta pembatasan ruang aktivitas ijtihad merupakan salah satu kesalahan besar. Sekitar lebih dari tiga abad sebelumnya, pinyu ijtihad terbuka lebar bagi ahlinya hingga memunculkan kekayaan intelektual dalam berbagai macam ilmu baik fiqih maupun ushulnya.” Berdasarkan hal tersebut, maka tak ada alasan untuk menutup pintu ijtihad.[16]
            Terbukanya pintu ijtihad ini diperkuat dengan penjelasan as-Suyuthi dalam karyanya “Ar-Radd ila man akhlada ilal ardl”. Dalam karyanya tersebut ia menyebutkan pendapat seluruh mujtahid atas kewajiban mengerahkan segenap kemampuan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan agama dengan melakukan penggalian hukum dari sumbernya serta mencela perilaku taqlid.
            Senada dengan as-Suyuthi, Syahrastni dalam karyanya “Al-Milal wa an-Nihal” menegaskan bahwa semua manusia berdosa tatkala tidak ada satupun dari mereka yang mendalami ilmu yang menghantarkannya pada derajat mujtahid. Ia mengemukakan argumen bahwa peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan ibadah akan selalu berlangsung dan tidak mengenal batas, sementara tidak setiap peristiwa-peristiwa tersebut telah termaktub hukumnya dalam nash, dengan demikian ijtihad menjadi sebuah keharusan yang tak dapat dielakkan.[17] 
F.     Urgensi Ijtihad di Era Kontemporer
            Dewasa ini, kebutuhan akan berijtihad menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan lagi. Semakin derasnya arus perkembangan zaman, maka semakin kuat pula dorongan untuk melakukan ijtihad. Semangat ijtihad ini sebenarnya telah dihidupkan para fuqaha, Jalaluddin as-Suyuthi misalnya, ia memberikan kritikan tajam kepada mereka yang senantiasa melanggengkan taklid. Ia mengatakan “Nash itu telah berakhir dan persoalan-persoalan baru selalu muncul berkesinambungan, maka untuk memecahkannya diperlukan ijtihad”  Ibnu Taymiyah bahkan tidak membenarkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Pendapatnya ini diperkuat dengan statement dari imam mazhab empat yang berisikan antara lain: Pertama, mereka tidak mengklaim bahwa pendapat merekalah yang paling benar. Kedua, memberikan toleransi tinggi terhadap pemikiran pihak lain. Ketiga, melarang taklid. Keempat, mengakui keterbatasan masing-masing sebagai manusia biasa.[18] Sedangkan Iqbal, seorang pemikir kontemporer menyatakan bahwa ijtihad dapat dilakukan oleh badan legislatif[19], sebagai institusi yang mengeluarkan perundang undangan.
            Az-Zuhaili berpandangan bahwa melakukan aktifitas ijtihad adalah sesuatu yang sangat mungkin, tidak sulit direalisasikan di era kontemporer ini. Menurutnya, yang pertama kali dilakukan oleh seseorang adalah menghilangkan perasaan inferior, merasa rendah diri dan tidak mampu mencapai apa yang telah digapai oleh mujtahid terdahulu. Pembersihan hati dan akal harus dilakukan, sebab ijtihad merupakan salah satu bentuk ibadah yang membutuhkan ketulusan niat dan pengabdian kepada Allah swt.
            Sebagaimana dikutip az-Zuhaili, Ibn abd as-Salam dalam karyanya “Syarah Mukhtashar ibn al-Hajib, menyatakan: “Derajat ijtihad adalah derajat yang mungkin dicapai. Ia merupakan salah satu syarat bagi seorang qadhi atau mufti. Ia akan terus ada sampai Rasul mengabarkan terputusnya ilmu. Kenyataannya sampai sekarang kita tidak pernah mendengar kabar tersebut. Jika pun terdengar berarti seluruh umat sepakat dalam kesalahan dan ini mustahil.”[20]
            Dari sini terlihat jelas bahwa aktifitas ijtihad adalah aktifitas wajib yang harus selalu ada dan direalisasikan di era kekinian. Persyaratan ijtihad saat ini tidaklah sesulit zaman dahulu. Berbagai macam perangkat disiplin ilmu telah terkodifikasi rapi, didukung dengan piranti teknologi canggih yang senantiasa mempermudah dalam melakukan segala aktifitas manusia. Permasalahannya sekarang adalah tinggal bagaimana kemauan dan kepedulian manusia terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam aktifitas keilmuan.
            Ijtihad adalah sebuah aktifitas yang harus dilakukan oleh Ulama az-Zaman sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan yang ada. Ijtihad merupakan cara untuk memperoleh landasan, pedoman, petunjuk dan sekaligus arah ke depan serta legitimasi dalam hidup dan kehidupan umat. Umat Islam ditantang untuk menjadi umat terbaik sebagaimana yang termaktub dalam surat Ali imran:110 yang artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.Ayat tersebut bukan berisi pemberian cuma-cuma dan prerogratif, namun lebih merupakan tantangan. Oleh karenanya, tidak dibenarkan seseorang itu bermalas-malasan lantaran sudah ada jaminan dari Tuhan sebagai Khairu ummah. [21]   
            Terkait urgensi ijtihad di era kontemporer ini, menarik untuk mempertimbangkan tawaran model ijtihad dari al-Qordhowi seperti yang telah disinggung di atas. Ia menegaskan bahwa saat ini ijtihad bisa dilakukan dengan menggunakan dua model ijtihad, yakni ijtihad Tarjihi intiqa’iy dan Ibda’ insya’iy.
            Model ijtihad yang pertama adalah memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fiqih Islam. Pemilihan pendapat ini tidak hanya membatasi pada salah satu mazhab, tetapi lintas mazhab. Sedangkan model ijtihad yang kedua adalah dengan menemukan konklusi hukum baru dari sebuah persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu. Model ijtihad ini juga meliputi kasus lama yang sudah disinggung oleh ulama dahulu, namun perlu pendapat baru.[22]
              Fenomena yang terkadang masih dapat dijumpai sampai sekarang adalah masih adanya sikap-sikap eksklusif dari sebagian kalangan yang masih enggan melakukan ijtihad-ijtihad baru. Mereka merasa cukup puas dengan produk-produk ijtihad mujtahid masa lalu. Produk ijtihad mereka dianggap sebagai produk final yang tidak dapat diganggu gugat. Sikap semacam inilah yang seharusnya dihilangkan demi keberlangsungan ijtihad. Sebab, betapapun produk-produk ijtihad itu terlahir dari ulama-ulama yang sangat kompeten dibidangnya, namun tetap saja ia adalah produk pemikiran manusia, hasil pemahaman terhadap sebuah teks yang tentunya masih memungkinkan untuk digugat relevansinya. Merasa bersalah atau merasa telah melanggar ketentuan syari’at hanya karena tidak memakai produk mujtahid masa lalu hendaknya juga harus dihilangkan. Saatnya ulama kontemporer melakukan ijtihad baru, pemahaman baru yang benar-benar sesuai dan maslahah dizamannya supaya elasitisitas syariat dan relevan sinya senantiasa terjaga.
              
           




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Ijtihad menempati posisi sentral dalam Islam. Keberlangsungan sebuah syari’at sangat bergantung kepadanya. Keberadaan ijtihad senantiasa dibutuhkan dalam setiap sisi kehidupan umat. Namun, yang penting untuk direnungkan adalah bahwa aktifitas ijtihad adalah aktifitas yang sangat mungkin, bahkan mudah untuk dilakukan, namun harus melalui proses yang benar dan terprogram, melalui mekanisme yang sistematis tidak asal ijtihad. Ijtihad haruslah dilakukan oleh orang-orang yang memang kompeten. Orang awam yang tidak memiliki kualifikasi ijtihad dilarang melakukannya. Ia cukup melakukan taqlid saja kepada para mujtahid terdahulu.


DAFTAR PUSTAKA



Abdus Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2003
Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,Kairo,Dar al Araby,tt
Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008
Hamdani Yusuf, Perbandingan mazhab, Semarang: Cipta Jati Aksara, 1994
M. Yusuf al-Qardhawi, al-ijtihad fi as-syari’at al islamiyah, Kuwait: Darul Qalam,
Ma’shum Zein.Muhammad,Ilmu Ushul Fiqh,Jombang,Darul Hikmah, 2007,Cet 1
Qodry Azizi, Reformasi Bermazhab,Jakarta: Teraju, 2003
Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqh,Bandung,CV Pustaka Setia,2007,Cet III
Team Purna Siswa Aliyah Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Kediri: Madrasah Hidyatul Mubtadi’in, 2004
Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Yusuf Qardhawi, Ijtihad kontemporer,Surabaya: Risalah Gusti, 2000


[1] Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung,CV Pustaka Setia,2007),Cet III,hal 97 – 98
[2] Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,(Kairo,Dar al Araby,tt),hal 379
[3] Ibid
[4] Rachmat Syafe’i,op.cit. hal 99
[5] Ibid, hal 108 – 109. Lihat juga Ma’shum Zein.Muhammad,Ilmu Ushul Fiqh,(Jombang,Darul Hikmah, 2007)Cet 1, hal  144 – 146
[6] Yusuf qardhawi, Ijtihad kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000.), Hlm. 25
[7] M. Yusuf al-Qardhawi, al-ijtihad fi as-syari’at al islamiyah, (Kuwait: Darul Qalam, t.t), hlm. 1.
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008), hlm. 271.
[9] Hamdani Yusuf, Perbandingan mazhab, (Semarang: Cipta Jati Aksara, 1994), hlm. 74.
[10] Abdus Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hlm. 22.
[11] Hadits ini diriwayatkan oleh Abu dawud dari Muhammad ibn Ishaq, dari Abdullah ibn Nafi’, dari al-Laits ibn Sa’ad, dari Bakar ibn Sawadah, dari Atha’ ibn Yasar, dari abu Said al-Khudhriy dari Rasulullah. Lihat pada Sunan Abi Dawud, Muhaqqiq wa bita’liq AlBani, Kitab Thaharah. Terkait hadits ini, Abdul Muhsin dalam Syarah Sunan Abi Dawud menyatakan bahwa hadits ini dianggap shahih oleh al-Albani karena hadis ini juga sampai melalui jalur lain dan memungkinkan ada riwayat lain yang memperkuat hadis ini.
[12] Abdus Salam, Opcit., hlm. 25.
[13] Team Purna Siswa Aliyah Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Madrasah Hidyatul Mubtadi’in, 2004), hlm. 362.
[14] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 1085.
[15] Abdus Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hlm. 2.
[16] Az-Zuhaili, Opcit., hlm. 1086.
[17] Ibid., hlm. 1086.
[18] Abdus Salam, Opcit., hlm 3.
[19] Apa yang dikemukakan Iqbal ini disebut juga dengan ijtihad jama’iy yaitu pelaksanaan ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok ahli dalam memecahkan suatu persolan. Dalam konteks keindonesiaan lembaga semacam ini diperankan oleh Lembaga Bahtsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, MUI atau Dewan Hisbah Persis.
[20] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 1089.
[21] Qodry Azizi, Reformasi Bermazhab, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 109.
[22] Ibid., hlm. 98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar