Rabu, 06 Juli 2011

Al-'Adah Muhakkamah


BAB  I
PENDAHULUAN

            Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia Arab maupun di bagian lain termasuk Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami,disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
            Ketika Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat. Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai Islam meskipun aspek filosofisnya berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Disinilah kemudian ulama membagi adat  yang ada di masyarakat menjadi al-‘aadah al-shahiihah (adat yang sahih, benar, baik) dan ada pula al-‘aadah al-faasidah (adat yang mafsadah, salah, rusak).
            Untuk itu makalah sederhana ini akan mencoba memaparkan bagaimana konsep al-aadah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan bagaimana adat kebiasaan suatu  masyarakat itu dapat memberi daya vitalitas dan gerak dinamis dari hukum Islam dengan tidak kehilangan identitasnya sebagai hukum Islam. 
           
           









BAB II
                                                  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-‘Aadah
Secara bahasa, al-‘aadah diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’aawadah (المعاودة) yang artinya berulang (ألتكرار).[1]
Ibnu Nuzaim mendefinisikan al-aadah dengan:
عبارةٌ عمّا يستقر في النفوس من الامور المتكرّرة المقبولة عند الطّباع السّليمة
“sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”
Secara umum, adat adalah sebuah kecenderungan (berupa ungkapan atau pekerjaan) pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu telah mendarah daging dan hampir menjadi watak pelakunya.[2]
Para Ulama mengartikan al-aadah dalam pengertian yang sama, karena substansinya sama, meskipun dengan ungkapan yang berbeda, misalnya al-‘urf  didefinisikan dengan;
العرف هو ما تعارف عليه النّاس واعتاده في أقوالهم وأفعالهم حتّى صار ذالك مطّردا غالبا
“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbutannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum”
Az-Zuhaili dalam karya monumentalnya “Ushul Fiqh al-Islami” menyatakan bahwa urf adalah suatu perbuatan ataupun ucapan  yang telah menjadi kebiasaan dan dikenal oleh masyarakat yang berlaku secara umum.[3] 
Menurut Shalih ibn Ghanim, sebenarnya antara al-aadah dan urf  dari segi bahasa terdapat kesamaan dalam segi mashadaqnya (sesuatu yang ditunjuk), namun keduanya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi mafhumnya. Menurutnya, al-aadah lebih umum dari al-urf. Al-aadah mencakup segala jenis kebiasaan yang berulang-ulang, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik berasal dari individu maupun kelompok dan tanpa memperdulikan apakah kebiasaan itu baik ataukah jelek. Sementara cakupan urf hanya mencakup apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘aadah al-ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.[4] Namun, pada akhirnya para fuqaha’ tetap memandang keduanya sebagai sesuatu yang secara substansi sama.
Dari dua definisi diatas, ada dua hal penting yaitu pertama, di dalam al-‘aadah ada unsur berulang-ulang dilakukan dan kedua, dalam al-‘Urf ada unsur (al-ma’ruuf) dikenal sebagai sesuatu yang baik. Kata-kata al-‘Urf ada hubungannya dengan tata nilai di masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan masyarakat tetapi juga baik untuk dilakukan dan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya dengan ‘al-amr bi al-ma’ruuf wa al-nahy ‘an al-munkar’ dalam Al-qur an.
Dari eksplorasi definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa al-‘aadah atau al-‘urf  ini didefinisikan dengan: “apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘aadah al-ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.


B.     Dasar Kaidah
Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur an dan hadis nabi ternyata banyak yang menguatkannya. Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para ulama sepanjang sejarah hukum Islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan.
Adapun dasar dari kaidah ini dapat disandarkan pada :
1.      Al-Qur an
خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“Jadilah engkau pemaaf  dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (QS: al-A’raaf: 199)

Menurut As-Suyuthi seperti dikutip Syaikh yasin bin Isa al-Fadani kata al-‘urf  pada ayat diatas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga, adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al-‘urf diartikan sebagai adat istiadat, maka sangat tidak selaras dengan asbab al-nuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks dakwah yang telah dilakukan Nabi SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras  dan kasar, juga kepada orang-orang yang masih lemah imannya.[5]
Sedangkan Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi menyatakan, sangat mungkin kaidah al-‘aadah muhakkamah ini diformulasikan sesuai dengan muatan pesan yang terkandung dalam al-Qur an surat Al-Nisa’ ayat 115:
ومن يشاقق الرّسول من بعد ما تبيّن له الهدى ويتّبع غير سبيل المؤ منين نولّه ما تولّى ونصله جهنّم وساءت مصيرا
“Barang siapa menentang Rasul setelah datangnya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka jahanam. Dan jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Nisa’:155)
Al-Jarhazi berargumen, kata sabil adalah sinonim dengan thariq yang dalam bahaa Indonesia memiliki arti sama, yaitu jalan. Dengan demikian, sabil al-mukmin di sini dapat diejawantahkan sebagai sesuatu yang diyakini sebagai etika dan norma yang baik dalam pandangan kaum muslimin, serta sudah menjadi langganan budaya sehari-hari mereka.[6]

ولهنّ مثل الّذى عليهنّ بالمعروف
“dan bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (QS: al-Baqarah: 228)
وعاشروهنّ بالمعروف
“Dan pergaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang ma’ruf (baik)” (an-Nisaa’; 19)
فكفّارته اطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أوكسوتهم
“kaffarat (melanggar sumpah) ialah member makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau member pakaian” (QS: al-maidah:89)
Kata awsath tidak di-nash-kan ukurannya dengan ketentuan yang pasti, maka ukurannya kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau pakaian yang dimakan atau dipakai oleh keluarga tersebut.[7]
2.      Al-Hadits :
الوزن وزن أهل مكّة والمكيال مكيال أهل مدينة
“Ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalah ukuran berat ahli Makkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli madinah” (HR: Abu Dawud)

Ukuran berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan ahli Makkah, karena kebiasaan penduduk Makkah adalah pedagang. Sedangkan ukuran kapasitas (isi) yang digunakan adalah yang biasa digunakan oleh penduduk Madinah, karena kebanyakan mereka begrgerak dibidang pertanian. Maksudnya, apabila terjadi persengketaan, maka ukuran tersebut yang dipakai pada zaman nabi.
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi Allah”[8]
ان فاطمة بنت أبي حبيش سالت النّبي صلّى الله عليه وسلّم قالت انّي أستحاض فلا أطهر أفأدع الصّلاة فقال لا انّ ذالك عرق ولكنّ دعي الصّلاة قدر الأ يّام الّتي كنت تحيضين فيها ثمّ اغتسلي وصلّى
“Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi SAW, dia berkata: ‘saya ini berada dalam kondisi haidh yang tidak berhenti apakah saya harus meninggalkan sholat?” nabi menjawab:” Tidak, itu adalah darah penyakit, tapi tinggalkanlah sholat berdasarkan ukuran hari-hari yang engkau biasa menstruasi. Kemudian mandilah dan sholatlah”.(HR. Al-Bukhari dari ‘Aisyah)

Dari  hadits diatas jelas bahwa kebiasaan para wanita, baik itu menstruasi,nifas dan menghitung waktu hamil yang paling panjang adalah jadi pegangan dalam penetapan hukum. Kata-kata qodra ayyam dan seterusnya menunjukkan bahwa ukuran-ukuran tertentu bagi wanita mengikuti yang biasa terjadi pada diri mereka.[9]

C.    Syarat-Syarat  Kaidah.
Secara umum, terdapat empat syarat bagi sebuah tradisi untuk dijadikan pijakan hukum:
1.      Adat tidak berbenturan dengan teks syariat, artinya adat tersebut berupa adat shaahih sehingga tidak akan menganulir seluruh aspek substansial nash. Sebab bila seluruh isi substansif nash tidak teranulir, maka tidak dinamakan bertentangan dengan nash , karena masih terdapat beberapa unsur nash yang tidak tereliminasi.[10]
2.      Adat berlaku konstan (iththirad) dan menyeluruh, atau menimal dilakukan dikalangan mayoritas (ghalib). Bilapun ada yang tidak mengerjakan, maka itu hanya sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan. As-Suyuthi menegaskan bahwa al-aadah itu dapat diberlakukan jika ia berlangsung secara kontinyu, jika tidak maka ia tidak bias dijadikan sebagai landasan.[11]
3.      Adat sudah terbentuk bersamaan dengan masa penggunaannya.
Hal ini dapat dilihat dalam istilah-istilah yang biasa digunakan dalam transaksi jual beli, wakaf, atau wasiat.
4.      Tidak terdapat pekerjaan atau ucapan yang bertentangan dengan nilai-nilai substansial adat (madlmun al-‘aadat).[12]

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah Mahdhah tidak dilakukan kecuali yang telah disyariatkan oleh Allah dan al-‘aadah tidak diharamkan kecuali yang telah diharamkan Allah.
Sering terjadi benturan antara tata nilai Islam dan tata nilai masyarakat dalam pelaksanaannya. Misalnya, masyarakat Indonesia menganut tata nilai kekeluargaan, Islam pun menganut tata nilai persaudaraan dan kekeluargaan. Dalam masyarakat semacam ini, aspek-aspek kelahiran, pernikahan dan kematian sudah menjadi adat kebiasaan merayakannya atau memperingatinya. Apabila kita dekati masalah ini dari sisi kaidah fiqih, maka kaidah fiqih asasi yang lima tersebut juga harus diperhatikan dan dijadikan ‘pisau analisis terhadap kasus tersebut. Tidak cukup hanya menggunakan kaidah al-‘aadah muhkamah tetapi juga kaidah asasi lainnya: al-umuur bimaqaasidiha, al-yaqiin laa yuzaal bi al-syak, al-masyaqqah tajlib al-taisir, dan al-dharaar yuzaal. [13]

D.    Karakteristik dan Bentuk  Adat
Bila ditinjau dari jenis pekerjaannya, adat terbagi menjadi ‘urf qawli (kultur linguistik) dan ‘urf  fi’li (kultur normatif). Dan jika ditinjau dari aspek kuantitas pelakunya, adat terbilah menjadi ‘urf ‘am dan ‘urf khas.
1.      ‘Urf qawli/lafdzi dan Fi’li/amali
‘Urf qawli adalah sejenis kata, ungkapan atau istilah tertentu yang diberlakukan oleh sebuah komunitas untuk menunjuk makna khusus, dan tidak ada kecenderungan makna lain diluar apa yang mereka pahami. Hanafiyyah dan Syafi’iyyah menamakan ‘urf qawli ini dengan istilah ‘urf mukhashshash. Contohnya ketika orang arab mengucapkan kata walad (anak), maka mereka pasti mengartikannya sebagai anak laki-laki, bukan anak perempuan. Begitupun kalimat lahm (daging), yang dimaksud pasti bukan daging ikan asin atau ikan laut, melainkan daging binatang peliharaan, seperti daging sapi, kambing, ayam atau hewan-hewan piaraan lainnya. Sedangkan ‘Urf amali adalah kebiasaan masyarakat yang berupa aktifitas biasa atau aktifitas mu’amalah seperti makan, minum, bercocok tanam dan lainnya.[14]
2.      ‘Urf ‘Am dan Khas
Jika ditinjau dari aspek pelakunya, adat terbagi dalam dua kategori umum, yaitu ‘adat ‘urfiyyah ‘ammah (budaya global universal) dan ‘adat ‘urfiyyah khaashshah (budaya parsial particular):
a.       ‘Adat ‘Urfiyyah ‘ammah adalah sebentuk pekerjaan yang sudah berlaku menyeluruh, umum dan tidak mengenal batas waktu, pergantian generasi, atau letak geografis.[15] Tradisi ini bersifat lintas batas, lintas cakupan, dan lintas zaman. Bisa berbentuk ucapan (qawli) atau pekerjaan (fi’li). Contoh ‘adat ‘urfiyyah ‘ammah bentuk fi’li adalah tradisi mengangkat seorang pembantu atau buruh yang biasanya dilakukan orang-orang kaya. Sedangkan contoh ‘adat ‘urfiyyah ‘ammah secara qawli adalah kebisaan orang Arab bahkan Indonesia menggunakan kata “talak” (thalaaq) sebagai pertanda lepasnya ikatan tali pernikahan, padahal orang Indonesia dan timur Tengah belum  pernah melakukan sebuah konvensional (kesepakatan) bersama untuk menggunakan kata talak sebagai petunjuk makna perceraian.
b.      ‘Adat ‘urfiyyah khaashshah ialah sejenis kebiasaan yang berlaku di kawasan atau golongan tertentu, dan tidak tampak pada komunitas lainnya.[16] Tradisi jenis kedua ini, bisa berubah dan berbeda disebabkan pebedaan tempat dan waktu. Contoh pembayaran upah yang biasanya dilakukan secara mingguan, bulanan, setengah tahunan atau sekali dalam setahun, tergantung adat istiadat masing-masing kawasan.[17]
3.      ‘Urf Shahih dan ‘Urf Fasid.
‘Urf Shahih adalah ‘urf yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, ijma’ maupun maslahah mu’tabarah seperti halnya kebiasaan masyarakat yang mewakafkan harta benda dan sebagainya. Sedangkan urf fasid adalah urf yang berlaku di masyarakat yang bertentangan dengan nash, ijma’ maupun maslahah mu’tabarah, seperti kebiasaan masyarakat melakukan transaksi jual beli dengan riba.[18]

E.     Kaidah-Kaidah  Cabang
Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘aadah muhkamah adalah sebagai berikut:
1.                                              
استعمال النّاس حجّة يجب العمل بها
“apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alas an/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah, apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan , dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. Contohnya, menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit.
2.
      انّما تعتبر العادة اذا اضطردت او غلبت
      “Adat yang di anggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.

Maksudnya, tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan/atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus menerus dilakukan dan bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya; apabila seseorang berlangganan majalah atau surat kabar diantar ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tersebut maka ia bisa complain (mengadukannya) dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.

3.
العبرة للغالب الشّا ئع لا للنّادر
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi.”
Ibnu Rusyd menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحكم بالمعتاد لا بالنّادر
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi.”
Contohnya: para ulama berbeda pendapat tentang waktu haidh terpanjang, tetapi bila menggunakan kaidah diatas, maka waktu hamil terpanjang tidak akan melebihi satu tahun. Demikian pula menentukan menopause wanita dengan 55 tahun.[19]
4.
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Sesuatu yang telah dikenal karena’urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”.
Maksudnya, adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim piatu, maka berdasarkan adat kebiasaan orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang ke suatu rumah yang sedang dibangun, lalu dia berkerja disitu, maka dia harus dibayar upahnya seperti yang lainnya meskipun dia tidak  mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.
5.
المعروف بين التّجّار كالمشروط بينهم
“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”.
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang muamalah saja, dan itupun dikalangan pedagang.

6.
التّعيين بالعرف كالتّعيين بالنّص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syaratseperti telah dikemukakan adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti penetapan hokum berdasarkan nash.
Contohnya: apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut, maka si penyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau amar-kamar rumah kecuali dengan izin orang yang menyewakan.[20]
7.
الممتنع عادة كالممتنع حقيقة
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”.
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. Contohnya, seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut. Sama halnya seperti seseorang mengaku anak si A, tetapi ternyata umur dia lebih tua dari si A yang diakui sebagai bapaknya.
8.
الحقيقة تترك بدلالة العادة
 “Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditunjukkan oleh adat kebiasaan. Contohnya, yang disebut jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi apabila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasar adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka si penjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga barang naik.




9.
الاذن العرفي كالاذن اللفظي
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan.”[21] Seperti saat diamnya seorang wanita perawan yang diam membisu menunjukkan adanya kesediaan atau izin.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa bahwa kebiasaan atau adat istiadat dalam hal ini bisa menjadi pijakan dalam melakukan ijtihad. Posisinya seakan sama dengan nash syar’i. Namun demikian, Formulasi kaidah ini lebih didasarkan atas asumsi pokok bahwa Islam tidak memandang sebuah tradisi maupun kebiasaan yang berlaku di masyarakat sebagai sesuatu yang sia-sia, tanpa arti, tiada guna dan manfaat. Namun, sebaliknya Islam justru memberikan apresiasi yang amat luar biasa dalam khazanah istinbath hukum Islam. Terbukti, dengan dijadikannya adat sebagai salah satu konsep perumusan baku dalam melakukan ijtihad. 

B.     Pesan
Betapapun suatu adat kebiasaan masyarakat diakui legalitasnya sebagai salah satu bentk istinbath hukum Islam, namun yang perlu digarisbawahi adalah tidak semua adat bisa tercakup di dalamnya. Adat yang benar-benar shahih dan sesuai dengan maslahat umumlah yang hanya bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Oleh karenanya, seseorang hendaknya tidak gegabah dengan seenaknya menetapkan sebuah formulasi hukum dengan semata berlandaskan urf atau adat. Seorang mujtahid harus cermat dan teliti dalam menetapkan urf shahih supaya rumusan hukum yang ditelorkan menjadi rumusan hukum yang valid, obyektif dan hampa dari kepentingan individudu, kelompok dan yang terpenting adalah rumusan itu tidak berdasarkan atas dorongan hawa nafsu belaka.




DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqih, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010.
Ghanim, Shalih ibn, Al-Qawaid al-Kubra, (Riyadl: Dar Belensiah, t.t.
Haq, Abdul dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual, Surabaya; Khalista, 2009.
Karya Ilmiah, Forum 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, Kediri: Purna Aliyah, 2004.
.








[1] Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 79
[2] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2009), hal. 274
[3] Wahbah az-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm.828.
[4] Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra, (riyadl: Dar Belensiah, t.t), hlm. 335.
[5] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2009), hal. 270.
[6] Ibid., hlm. 271.1
[7] Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 81.
[8] Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra, (riyadl: Dar Belensiah, t.t), hlm. 342.
[9] Opcit., hlm. 83.
[10] Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra, (riyadl: Dar Belensiah, t.t), hlm. 358.
[11] Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), hlm. 123.
[12] Opcit., hlm. 359.
[13] Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 84.
[14] Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra, (riyadl: Dar Belensiah, t.t), hlm. 363.
[15] Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, (Kediri: Purna Aliyah, 2004), hlm. 218.
[16] Opcit., hlm. 363.
[17] Abdul Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaidah fiqih Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2009), hal. 291.
[18] Shalih ibn Ghanim, Al-Qawaid al-Kubra, (riyadl: Dar Belensiah, t.t), hlm. 364.
[19] Ibid., 391.
[20] Ibid., hlm. 359.
[21] Dzajuli, A, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 87.

1 komentar: