JIKA HARUS MEMILIH
“Benang itu tak sebangsa dengan sutera, karena itu jangan
bermimpi mendapatkan dia”, begitu kira-kira
sebuah petikan dialog dalam film Di Bawah Lindungan Ka’bah yang tempo hari
sempat saya saksikan bersama salah seorang teman. Kalimat tersebut muncul dari
bibir seorang ibu yang sedang memberikan nasehat pada anaknya supaya melupakan
gadis pujaannya yang nota bene adalah seorang putri dari majikan ibunya
sendiri. Bagi
sang ibu, mustahil cinta dipersatukan bila antara pecinta dan yang dicinta
memiliki perbedaan status sosial atau kasta. Ringkasnya, orang melarat dilarang
bercinta dengan konglomerat atau rakyat jelata ‘haram’ memadu kasih dengan putri
raja. Percintaan semacam itu dianggap percintaan tabu yang harus segera
ditinggalkan. Seharusnya putri konglomerat
yang berdarah biru bercinta dan bersatu dengan putra yang juga memiliki darah biru bukan dengan putra gembel yang berdarah
merah bahkan ‘berdarah kotor’. Sebaliknya, putra gembel seharusnya bercinta dan
bersatu dengan putri yang berstatus gembel juga.
Dewasa ini, anggapan demikian masih
terpelihara subur. Terbukti masih banyak dijumpai kasus-kasus percintaan yang
berujung tragis lantaran perbedaan kasta ini. Tak jarang ditemukan seorang
putri konglomerat yang dilarang menikah dengan kekasih dambaannya yang hanya
rakyat jelata. Nasab dan kekayaan seakan menjadi pertimbangan utama dalam
pernikahan.
Dalam sebuah hadis yang sempat saya dengar memang dinyatakan bahwa wanita
itu dinikahi dengan beberapa pertimbangan, di antaranya adalah pertimbangan
kekayaan, kecantikan, keturunan (nasab) dan agama. Ketetapan ini tentu juga
berlaku pada seorang perempuan yang hendak menikah dengan seorang laki-laki.
Karena itu, pertimbangan-pertimbangan tersebut sebaiknya selalu diindahkan.
Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa pertimbangan status sosial
atau kasta bukanlah pertimbangan utama dalam memilih pendamping hidup. Islam justru lebih mengutamakan aspek agama dari
pasangan yang ingin dinikahi. Dalam hadis tersebut Nabi pun secara tersurat
menyatakan “Fadzfar bi dzat ad-Din” yang menegaskan akan pentingnya aspek agama.
Tak dipungkiri memang, bahwa pendamping hidup ideal adalah ia yang memiliki
kriteria-kriteria di atas yang ditinjau dari ‘sudut pandang’ mana pun akan terlihat
baik. Dari sudut kekayaan misalnya, ia memiliki harta melimpah yang tak habis
dimakan tujuh turunan. Dari sudut kecantikan, ia memiliki paras elok bak
bidadari yang karena kesempurnaannya membuat sang rembulan malu lantaran keindahannya
terkalahkan. Dari sudut nasab, ia mempunyai garis keturunan yang baik, seorang
putri bangsawan yang mempunyai kedudukan tinggi. Setiap orang akan berjalan
membungkuk bahkan bila perlu merangkak dihadapanya akibat keluhuran pangkat
yang dimilikinya. Dari sudut agama, ia memiliki kualitas keimanan dan ketakwaan
yang begitu luar biasa. Karena derajat keshalehannya itu, ia hampir mendekati
derajat wali. Tentu, bukan wali santri, wali walidayya apalagi wali murid.
Namun sayangnya, di era kontemporer saat ini, saya rasa sangat sulit -untuk
tidak mengatakan mustahil- menemukan pendamping hidup sempurna seperti yang
tergambarkan di atas. Justru yang kerapkali banyak ditemui adalah gadis itu
cantik tapi tak kaya atau perempuan itu berparas biasa-biasa saja yang bila
dipaksakan dalam bentuk nilai, perempuan itu mendapat nilai 70 tetapi ia kaya.
Ada yang sangat shalihah, namun dari segi paras ia mendapat nilai 50, bahkan
ada juga yang berparas sangat elok yang nilainya mendekati angka 100 tetapi ia
sangat hina, tak mempunyai garis nasab luhur. Semuanya memiliki kelebihan dan
kekurangan. Hal ini wajar sebagai fitrah manusia yang dicipta Tuhan dengan
berbagai macam kelebihan dan kekurangan. Serba susah memang, tetapi kita harus
tetap memilih. Memilih yang baik di antara yang tak baik atau memilih yang
terbaik di antara yang baik. Itu pun jika kita bisa memilih, persoalannya
kemudian adalah jika kita tak bisa ‘memilih’, maka satu-satunya yang ada itu ya
‘terpaksa’ kita ambil atau akan sangat lucu bila bisa memilih, akan tetapi yang
dipilih tak mau dipilih. Kalau sudah begitu, seseorang harus tetap memilih dan
memilih sampai menemukan pilihan yang mau dipilih. Yang terpenting adalah tetap
menjadikan keshalehan beragama sebagai pertimbangan utama dalam memilih.
Akhirnya, selamat memilih...!! (wallahu A’lam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar