Selasa, 04 Oktober 2011

IBLIS

IBLIS?   
“Meskipun aku terusir dari istanaNya, aku tak akan pernah menyimpang dari jalanNya, karena aku berada di jalan kekasih. Aku tidak pernah berpaling kepada siapapun kecuali kepada sang kekasih. Karena aku dekat pada rahasia spiritual, aku bahkan tak pernah menoleh kepada siapapun.”, begitulah ungkapan cinta Iblis pada sang kekasih, Tuhan semesta alam. Dari ungkapan manisnya ini, terlihat bahwa sejatinya Iblis adalah sang pecinta sejati. Ia bahkan rela berada dalam kutukanNya demi sang kekasih.
                Dalam dunia sufistik, dikenal konsep mahabbah (kecintaan). Kecintaan sejati adalah saat seorang hamba rela dengan segala sesuatu yang berasal dari sang pencipta. Pengusiran Iblis oleh Tuhan dari istanaNya adalah salah satu bentuk ujian ketulasan cinta. Nah, menurut sebagian sufi Iblis adalah salah satu makhluk Tuhan yang lulus dari ujian itu. Iblis rela menerima kutukan dan penderitaan yang ditimpakan atas dirinya, karena sesungguhnya dalam cinta harus ada jafa’ (penolakan) dan wafa’ (penerimaan) agar kecintaan lebih matang melalui murka dan rahmat sang kekasih.  Ia membuktikan betapa besar cintanya pada Tuhan. Kebesaran cinta dan tauhidnya pada sang kekasih membuat ia menolak untuk bersujud pada Adam, meski sebagian besar ulama menyatakan bahwa yang dimaksud sujud dalam hal ini adalah sujud penghormatan bukan sujud penghambaan. Iblis tak peduli itu semua. Ia beranggapan bahwa segala bentuk pengagungan, penghambaan dan tindakannya adalah untuk Tuhan semata. Ia tak mau menduakanNya. Tuhan memerintahkan Iblis untuk sujud pada Adam, tetapi sejatinya Tuhan tak menghendaki Iblis sujud. Andai Tuhan Berkehendak, maka Iblis pun akan sujud. Ringkasnya, saat itu yang tampak adalah Tuhan memerintahkan, tetapi sejatinya Ia tidak berkehendak untuk itu, Ia hanya ingin menguji hambaNya yang telah berates-ratus ribu tahun mengabdi kepadaNya.
                Membicarakan persoalan cinta Iblis ini, saya teringat dengan kisah seorang sufi Sahl ibn Abdullah sebagaimana dikutip Javad Nurbakhsh. Sahl berkata, “suatu ketika aku bertemu Iblis dan melakukan percakapan yang cukup panas hingga hampir terjadi perselisihan. Aku putus asa, ia pun demikian. ucapan terakhirnya yang ditujukan kepadaku adalah: “Hai Sahl, Tuhan berfirman ‘…Dan rahmatku mencakup segala sesuatu….’ (al-A’raf: 156), aku adalah sesuatu, karena itu meski aku terusir dari istanaNya, aku tetap mendapat rahmatNYa.” Sahl melanjutkan, “Demi Tuhan, kefasihan dan  kekuatan ungkapannya dalam menafsirkan ayat membuatku takjub dan terperangah. Aku kemudian menelaah ayat tersebut dan tiba-tiba aku teringat dengan lanjutan ayat itu “Maka akan aku tetapkan rahmatku pada orang-orang yang bertakwa”. Lalu iblis pun tersenyum dan berkata: “Hai Sahl, betapa bodohnya kau ini, apa tidak terlintas dalam pikiranmu bahwa pembatasan itu berasal darimu bukan dari Tuhan?”. Aku pun menjadi bingung, air ludah tertahan di kerongkonganku ketika mendengar bantahan dari Iblis ini. Demi Tuhan aku tidak menemukan jawaban atau mengusirnya. Dia bertahan dengan pendiriannya dan aku pun demikian”.
                Sebuah kisah lagi yang membuat saya semakin merenungi jatidiri Iblis adalah saat membaca riwayat dari al-Hallaj, salah seorang sufi kontroversial. Diceritakan bahwa suatu ketika Musa bertemu dengan Iblis di bukit Sina’i dan bertanya kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk bersujud?”, iblis menjawab, “Pendirianku bahwa aku hanya menyembah Yang Maha Esa, sekiranya aku bersujud pada Adam, aku akan menjadi sepertimu. Saat Tuhan memerintahkanmu melihat gunung, kau melakukannya. Namun, saat Tuhan memerintahkan ribuan kali agar aku bersujud pada Adam, aku menolak. Pendirian itu adalah hakikat spiritualku. “Engkau membantah perintah itu”, kata Musa. “Itu adalah Ujian bukan perintah sesungguhnya”, jawab Iblis. “Tetapi bentukmu berubah?”, demikian Musa menukas. Iblis menimpali, “Hai Musa, Itu semua adalah tipuan, inilah wujudku yang sebenarnya. Sebuah keadaan tak dapat dijadikan sandaran, karena ia berubah, sementara ma’rifat adalah nyata seperti adanya meski secara wujud ia berubah. Inilah pendirianku. Pendirianku adalah ketulusan itu. Akulah pemilik cinta tertulus dari para pecinta.”
                Dua kisah di atas menunjukkan betapa besar kesetiaan Iblis pada Tuhannya. Iblis punya jalan sendiri dalam memanifestasikan cinta dan meraih rahmatNya. Manusia pun demikian, mereka mempunyai jalan masing-masing untuk menuju sang Penguasa Jagad. Ada rahasia yang begitu besar yang teramat sulit untuk diungkap hakikatnya. Kita tidak pernah tahu ‘alasan’ Tuhan memaafkan Adam atas kesalahan tamak dan rakusnya. Kita juga tak pernah tahu ‘landasan’ sejati  Tuhan yang tidak memaafkan Iblis hanya karena tidak mau bersujud pada Adam. Sama-sama salah, tetapi Tuhan menyikapi secara berbeda. Semuanya atas kehendak dan skenarioNya. Tentu ada hikmah dalam setiap ‘karyaNya’. Kebaikan dan keburukan, syurga dan neraka, hitam dan putih, bahkan penciptaan Iblis dan Adam pun tak lepas dari hikmah yang tersembunyi itu. Tak bisa dikhayalkan jika dalam jagad ini, yang ada hanyalah kebaikan saja, hanya ada syurga,  cuma ada Adam. Semuanya menjadi pelengkap dan semuanya berasal dari sang Maha segalanya. Wallah A’lam.  
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar