IBLIS?
“Meskipun aku terusir dari istanaNya, aku tak akan pernah
menyimpang dari jalanNya, karena aku berada di jalan kekasih. Aku tidak pernah
berpaling kepada siapapun kecuali kepada sang kekasih. Karena aku dekat pada
rahasia spiritual, aku bahkan tak pernah menoleh kepada siapapun.”,
begitulah ungkapan cinta Iblis pada sang kekasih, Tuhan semesta alam. Dari
ungkapan manisnya ini, terlihat bahwa sejatinya Iblis adalah sang pecinta
sejati. Ia bahkan rela berada dalam kutukanNya demi sang kekasih.
Dalam
dunia sufistik, dikenal konsep mahabbah (kecintaan). Kecintaan sejati adalah
saat seorang hamba rela dengan segala sesuatu yang berasal dari sang pencipta.
Pengusiran Iblis oleh Tuhan dari istanaNya adalah salah satu bentuk ujian
ketulasan cinta. Nah, menurut sebagian sufi Iblis adalah salah satu makhluk
Tuhan yang lulus dari ujian itu. Iblis rela menerima kutukan dan penderitaan
yang ditimpakan atas dirinya, karena sesungguhnya dalam cinta harus ada jafa’
(penolakan) dan wafa’ (penerimaan) agar kecintaan lebih matang melalui murka
dan rahmat sang kekasih. Ia membuktikan
betapa besar cintanya pada Tuhan. Kebesaran cinta dan tauhidnya pada sang
kekasih membuat ia menolak untuk bersujud pada Adam, meski sebagian besar ulama
menyatakan bahwa yang dimaksud sujud dalam hal ini adalah sujud penghormatan
bukan sujud penghambaan. Iblis tak peduli itu semua. Ia beranggapan bahwa
segala bentuk pengagungan, penghambaan dan tindakannya adalah untuk Tuhan
semata. Ia tak mau menduakanNya. Tuhan memerintahkan Iblis untuk sujud pada
Adam, tetapi sejatinya Tuhan tak menghendaki Iblis sujud. Andai Tuhan
Berkehendak, maka Iblis pun akan sujud. Ringkasnya, saat itu yang tampak adalah
Tuhan memerintahkan, tetapi sejatinya Ia tidak berkehendak untuk itu, Ia hanya
ingin menguji hambaNya yang telah berates-ratus ribu tahun mengabdi kepadaNya.
Membicarakan
persoalan cinta Iblis ini, saya teringat dengan kisah seorang sufi Sahl ibn
Abdullah sebagaimana dikutip Javad Nurbakhsh. Sahl berkata, “suatu ketika aku
bertemu Iblis dan melakukan percakapan yang cukup panas hingga hampir terjadi
perselisihan. Aku putus asa, ia pun demikian. ucapan terakhirnya yang ditujukan
kepadaku adalah: “Hai Sahl, Tuhan berfirman ‘…Dan rahmatku mencakup segala
sesuatu….’ (al-A’raf: 156), aku adalah sesuatu, karena itu meski aku terusir
dari istanaNya, aku tetap mendapat rahmatNYa.” Sahl melanjutkan, “Demi Tuhan,
kefasihan dan kekuatan ungkapannya dalam
menafsirkan ayat membuatku takjub dan terperangah. Aku kemudian menelaah ayat
tersebut dan tiba-tiba aku teringat dengan lanjutan ayat itu “Maka akan aku
tetapkan rahmatku pada orang-orang yang bertakwa”. Lalu iblis pun tersenyum dan
berkata: “Hai Sahl, betapa bodohnya kau ini, apa tidak terlintas dalam
pikiranmu bahwa pembatasan itu berasal darimu bukan dari Tuhan?”. Aku pun
menjadi bingung, air ludah tertahan di kerongkonganku ketika mendengar bantahan
dari Iblis ini. Demi Tuhan aku tidak menemukan jawaban atau mengusirnya. Dia
bertahan dengan pendiriannya dan aku pun demikian”.
Sebuah
kisah lagi yang membuat saya semakin merenungi jatidiri Iblis adalah saat
membaca riwayat dari al-Hallaj, salah seorang sufi kontroversial. Diceritakan
bahwa suatu ketika Musa bertemu dengan Iblis di bukit Sina’i dan bertanya
kepadanya, “Apa yang menghalangimu untuk bersujud?”, iblis menjawab,
“Pendirianku bahwa aku hanya menyembah Yang Maha Esa, sekiranya aku bersujud
pada Adam, aku akan menjadi sepertimu. Saat Tuhan memerintahkanmu melihat
gunung, kau melakukannya. Namun, saat Tuhan memerintahkan ribuan kali agar aku
bersujud pada Adam, aku menolak. Pendirian itu adalah hakikat spiritualku.
“Engkau membantah perintah itu”, kata Musa. “Itu adalah Ujian bukan perintah
sesungguhnya”, jawab Iblis. “Tetapi bentukmu berubah?”, demikian Musa menukas.
Iblis menimpali, “Hai Musa, Itu semua adalah tipuan, inilah wujudku yang
sebenarnya. Sebuah keadaan tak dapat dijadikan sandaran, karena ia berubah,
sementara ma’rifat adalah nyata seperti adanya meski secara wujud ia berubah.
Inilah pendirianku. Pendirianku adalah ketulusan itu. Akulah pemilik cinta
tertulus dari para pecinta.”
Dua
kisah di atas menunjukkan betapa besar kesetiaan Iblis pada Tuhannya. Iblis
punya jalan sendiri dalam memanifestasikan cinta dan meraih rahmatNya. Manusia
pun demikian, mereka mempunyai jalan masing-masing untuk menuju sang Penguasa
Jagad. Ada rahasia yang begitu besar yang teramat sulit untuk diungkap
hakikatnya. Kita tidak pernah tahu ‘alasan’ Tuhan memaafkan Adam atas kesalahan
tamak dan rakusnya. Kita juga tak pernah tahu ‘landasan’ sejati Tuhan yang tidak memaafkan Iblis hanya karena
tidak mau bersujud pada Adam. Sama-sama salah, tetapi Tuhan menyikapi secara
berbeda. Semuanya atas kehendak dan skenarioNya. Tentu ada hikmah dalam setiap
‘karyaNya’. Kebaikan dan keburukan, syurga dan neraka, hitam dan putih, bahkan
penciptaan Iblis dan Adam pun tak lepas dari hikmah yang tersembunyi itu. Tak
bisa dikhayalkan jika dalam jagad ini, yang ada hanyalah kebaikan saja, hanya
ada syurga, cuma ada Adam. Semuanya
menjadi pelengkap dan semuanya berasal dari sang Maha segalanya. Wallah A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar