Ikhtilāf
al-Ulamā’
(Telaah
Faktor-faktor Penyebabnya dan Studi atas Mazhab az-Zhahiri )
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
“Ikhtilafu Ummati Rahmatun”, begitulah
bunyi teks hadis yang begitu populer di masyarakat. Meski secara kualitas, hadis tersebut
masih perlu dipertanyakan, tetapi secara substansi, hadis tersebut tidak bermasalah. Semangat hadis tersebut
mengajak kepada umat Islam untuk selalu bersikap arif dan bijaksana dalam
menghadapi segala bentuk perbedaan. Dengan bersikap bijak, perbedaan yang
muncul akan berubah menjadi rahmat. Tak bisa dibayangkan jika kemudian Islam
mengharamkan perbedaan -entah berupa
perbedaan ras, suku, budaya terlebih pendapat-, maka yang terjadi adalah
kesulitan yang berlarut-larut. Perbedaan tidak
pernah bisa dicegah. Ia merupakan sunnatullah yang terjadi secara alami.
Perbedaan akan semakin memperindah alam, Sebagaimana pelangi. Warna-warni
pelangi justru menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap mata yang melihat.
Akan terlihat lucu bila pelangi hanya memiliki satu warna.
Hukum
Islam pun demikian, perbedaan pendapat di kalangan mujtahid menjadi sesuatu
yang wajar, bahkan niscaya. Karena itu, bersikap arif , bijaksana dan kritis
dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut amat dibutuhkan. Pro kontra
mujtahid dalam beristinbath, justru semakin mempermudah umat dalam beragama,
sebab sejatinya, agama tidak menghendaki umatnya hidup dalam kesulitan. Dari
sinilah kemudian rahmat Tuhan bisa dirasakan.
Betapapun
sebuah perbedaan -khususnya perbedaan pendapat mujtahid- termasuk sunnatullah
yang bersifat alami, tetapi ini tidak berarti bahwa perbedaan tak mempunyai
sebab. Perbedaan merupakan akibat, sementara setiap akibat tentu mempunyai
sebab. Demikian juga yang terjadi pada perbedaan mujtahid dalam beristinbath.
Perbedaan-perbedaan itu tidak muncul begitu saja. Ia muncul karena beberapa
faktor, entah itu faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor inilah yang
pada akhirnya membentuk mazhab-mazhab dalam hukum Islam dengan berbagai ciri
dan khas masing-masing.
B.
Rumusan Masalah
Berpijak dari deskripsi masalah di atas, maka dalam
makalah ini akan dirumuskan dua pokok masalah:
1.
Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya
perbedaan pendapat di kalangan mujtahid?
2.
Bagaimana aplikasi metodologis istinbath dari beberapa
mazhab yang muncul akibat perbedaan pendapat itu {studi atas sejarah dan metode
istinbath hukum mazhab az-Zhahiri}?
C. Tujuan Penyusunan Makalah
Tujuan dari penyusunan ini adalah untuk:
1. Menjelaskan faktor-faktor yang
melatarbelakangi munculnya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid
2. Memaparkan aplikasi metodologis istinbath dari beberapa mazhab yang
muncul akibat perbedaan pendapat {studi atas sejarah dan metode istinbath hukum mazhab az-Zhahiri}.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library
research (penelitian pustaka) yaitu, meneliti data yang berkaitan dengan
pembahasan dengan cara menelaah
referensi-referensi dari kitab maupun buku yang terkait dengan pembahasan.
Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
dengan memaparkan dan melakukan kajian kritis terhadap latar belakang munculnya
perbedaan pendapat mujtahid serta memaparkan metode istinbath hukum mazhab az-Zhahiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ikhtilaf Ulama dan Faktor-faktor yang Melatarbelakanginya
1.
Artikulasi Ikhtilaf
Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar
kata khalafa yang mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa
bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid (kata kerja yang terdiri dari tiga
huruf lebih) dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa
yang bentuk mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam
al-Ittifaq (tidak adanya persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa
al-Qaumu wa Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda
dan tak sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq
yang mempunyai makna persetujuan.
Sementara secara terminologi, ikhtilaf berarti seseorang menempuh metode atau
pendapat yang berbeda dengan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhtilaf
adalah seseorang mengambil sebuah cara yang berbeda dengan cara pertama. Di
samping itu ada juga yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah seorang alim yang
berpendapat berbeda dengan yang lain.[1]
Definisi-definisi
tersebut mencakup ikhtilaf yang mahmud (terpuji) dan madzmum
(tercela) maupun jidal (perdebatan sengit yang hanya didorong hawa nafsu
belaka). Karena itulah, dari sekian definisi di atas yang dianggap lebih shahih
adalah definisi yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah ketika seorang alim
berbeda pendapat dengan yang lain semata-mata demi mencari kebenaran. Dalam
definisi tersebut terdapat batasan alim yang tidak memasukkan ikhtilafnya orang
bodoh lantaran ikhtilafnya tidak dianggap sebagai ikhtilaf syar’i. Sementara
batasan demi mencari kebenaran ini mengecualikan perbedaan pendapat yang hanya
didasari hawa nafsu belaka.
Selain itu,
ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf dengan tidak menyebut ikhtilaf
yang memiliki arti perdebatan atau pertentangan di antara dua orang untuk
menemukan kebenaran dan mengalahkan kebathilan. Meskipun secara lafdzi antara
term khilaf dan ikhtilaf memiliki perbedaan, tetapi secara
substansi artikulasi, kuduanya memiliki kesamaan. Imam Al-Jurjani dalam
karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana dikutip Bakariy Tunkara- lebih
suka menggunakan term khilaf, namun makna yang dikehendaki tetap memiliki
kesamaan.[2] Demikian juga Yasin Husain
Barhami, ia lebih tertarik menggunakan term khilaf.[3]
Dalam karyanya yang berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina al-Muslimin”, sekilas
Syekh Yasin tampak tidak konsisten dalam
penggunaan istilah. Dalam satu sub pembahasan ia menggunakan term ikhtilaf,
tetapi dalam sub bab yang lain ia menyebut khilaf. Boleh jadi
inkonsistensi term ini berpijak dari anggapannya yang tidak membedakan antara
term khilaf dan ikhtilaf.
Ahmad Warson, dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan antara khilaf dan
ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat atau perselisihan faham.[4]
Demikian juga Thaha Jabir Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”,
menganggap sama antara khilaf dan ikhtilaf yang mempunyai makna perbedaan ucapan.
pendapat, keadaan maupun sikap.[5]
Dengan demikian secara isti’mal, mayoritas fuqaha tidak membedakan
antara term khilaf dan ikhtilaf .
Keduanya merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara
makna. Dalam kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap
wajar.
Namun demikian,
sebagian ulama ada yang membedakan keduanya. Dalam “Fath al-Qadir”, “Ad-Durr
al-Mukhtar” dan “Hasyiyah Ibn ‘Abidin” disebutkan bahwa terdapat
perbedaan antara khilaf dan ikhtilaf. Ketika perbedaan pendapat
tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka perbedaan semacam ini
disebut sebagai khilaf. Sebaliknya, jika perbedaan pendapat tersebut
masing-masing didasarkan atas dalil, maka disebut sebagai ikhtilaf. Imam
at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga membedakan kedua term tersebut.
Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika terdapat pendapat yang marjuh
(lemah) berhadapan dengan pendapat yang rajih (kuat), namun bila dalam perbedaan pendapat itu tidak
ditemukan pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut sebagai
ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah satu
pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap
sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.[6]
2.
Klasifikasi Ikhtilaf
Dalam “Fiqh
al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir Husain, menyatakan bahwa
ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf
tadladud (kontradiktif).
Pertama,
ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan yang sebenarnya, antara pendapat yang
satu dengan yang lain tidak bertentangan. Pendapat-pendapat tersebut semuanya
dianggap pendapat yang benar. Artinya, dalam ikhtilaf jenis ini terdapat banyak
pendapat yang benar namun berbeda dari segi bentuk saja. Perbedaan pendapat
jenis ini seperti yang terjadi pada perbedaan qira’at dalam al-Qur’an, bacaan
tasyahud, kalimat dzikir dan sebagainya. Dalam surat al-Fatihah, ada yang
membaca “Maaliki yaumi ad-din” dan ada juga yang membaca “maliki
yaumi ad-din”. Keduanya dianggap sama-sama benar dan boleh diamalkan.
Demikian juga yang terjadi pada kasus tasyahud. Terdapat beberapa jenis bacaan
tasyahud, di antaranya adalah tasyahud versi Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Umar
ibn Khattab. Semuanya dianggap bacaan shahih yang boleh diamalkan.[7]
Demikian juga ikhtilaf dalam hal bacaan doa iftitah. Sebagian ulama ada yang
mengatakan bahwa doa iftitah berbunyi:
اللَّهُمَّ
بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ
الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ
وَالْبَرَدِ.
Doa
ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah
bahwasanya suatu ketika Rasulullah pernah mengucapkan doa tersebut sesaat
setelah melakukan takbir dalam shalat.[8]
Sebagian ulama juga ada yang berpendapat bahwa doa iftitah adalah:
إني
وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، قل إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
أَوَّلُ الْمُسْلِمِين
Doa
tersebut berlandaskan hadis yang diriwiyatkan oleh sahabat Ali ibn Abi Thalib
bahwasanya Rasulullah pernah membaca doa itu saat melakukan iftitah dalam
shalat.[9]
Kedua doa iftitah tersebut dianggap sebagai doa yang sama-sama ma’tsur dan
boleh diamalkan.
Kedua, ikhtilaf tadladud, yaitu
ikhtilaf yang antara satu pendapat
dan lainnya saling bertentangan. Ikhtilaf
ini terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf Sa’igh
ghairu Madzmum ( boleh
dan tak tercela) dan Ghairu Sa’igh madzmum (tidak boleh dan tercela). Ikhtilaf tadladud
jenis pertama umumnya terjadi pada permasalahan furu’iyah (partikular syariat),
yaitu pada kasus-kasus yang bersifat praktis bukan masalah i’tiqadiyah
(keyakinan). Namun menurut Yasir Husain, bahwa yang lebih tepat adalah
membatasi ikhtilaf jenis ini dengan ikhtilaf-ikhtilaf yang tidak bertentangan
dengan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik yang berkaitan dengan
masalah amaliah praktis (fiqih) maupun yang berhubungan dengan persoalan
i’tiqadiyah (keimanan). Tetapi ikhtilaf jenis ini relatif sedikit pada masalah
i’tiqad karena banyaknya dalil-dalil yang bersifat qath’i (pasti) sehingga
kesempatan ikhtilaf ini muncul tidak sebesar pada ikhtilaf dalam hal fiqih yang
sebagian besar dalilnya bersifat dhanni (asumtif). Karena benyaknya dalil
dhanni inilah kemudian para ulama menyatakan bahwa ikhtilaf jenis ini adalah
ikhtilaf wajar yang tidak tercela.
Sedangkan jenis ikhtilaf tadladud
yang kedua yakni perbedaan pendapat yang tidak diperbolehkan sekaligus tercela
adalah perpedaan dalam masalah-masalah ushuluddin
yang lebih populer dengan masalah pokok
atau akidah. Namun, menurut syekh Yasir, ikhtilaf yang tidak diperbolehkan
adalah ikhtilaf yang bertentangan dengan nash al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan
qiyas, baik masalah tersebut masuk dalam wilayah furu’ (partikular syari’at)
maupun ushuluddin (pokok agama/akidah).[10]
3. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Ikhtilaf Ulama
Sebagaimana
yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah di atas, bahwa
perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang niscaya dan tak bisa dihindari. Syariat
Islam menjadi lahan yang amat subur bagi terciptanya perbedaan-perbedaan
pendapat ini. Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat
tersebut adalah:
1.
Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
Perbedaan watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab
utama munculnya berbagai macam perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah
telah menjadikan manusia berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman,
sehingga mau tidak mau dan disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan pandangan
yang berbeda dalam menyikapi segala sesuatu.
2.
Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal
penting bagi mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber
primer syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam
hal pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah,
kata-kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu
contohnya adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban
membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai pada
siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan karena
lafadz “ila” pada kalimat“ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”(bersama/ikut
serta). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku tak harus ikut
terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).[11]
3.
Adanya perbedaan penetapan maslahah
Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata
untuk kemaslahatan umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum mesti mengandung
apa yang disebut sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal
penetapan maslahah ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-masing
akibat perbedaan adat istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang
melingkupi. Bahkan, lantaran begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam
penetapan maslahah ini, imam Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua pendapat berbeda dalam satu kasus. Munculnya
qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat
mempengaruhi perbedaan pendapat.
4.
Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni
(asumtif)
Sebagian besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini
pada akhirnya memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para
mujtahid. Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian ulama ditakhsis
dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash tersebut tidak
mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah nash bersifat
mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan dalil
lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan
kemutlakannya.
5.
Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah
syar’i
Sebagian
besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4, yaitu al-Qur’an,
as-Sunnah, ijma’ dan qiyas.[12]
Tetapi pada kenyataannya masih ditemukan sebagian ulama lain yang tidak
mengakui legalitas dari salah satu sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia
adalah salah satu pengikut mazhab Dawud az-Zhahiri yang tidak mengakui
legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa pendapat yang didasarkan atas qiyas adalah
pendapat dusta yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai
metode yang mempermainkan maksud Tuhan dengan hanya berdasar praduga.[13]
Pada kasus yang lain, didapati bahwa imam Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal
sebagai pengguna metode istihsan. Di dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi
pada mazhab Hanafiyah banyak dijumpai redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi
hadzihi al-Mas’alah Qiyasan Kadza , Wa istihsanan Kadza” (secara qiyas,
hukum dalam masalah ini adalah begini dan secara istihsan adalah seperti ini).
Mereka menjadikan istihsan sebagai sumber hukum kelima setelah empat sumber yang telah disepakati. Bahkan,
sebenarnya istihsan ini merupakan bentuk kemenangan qiyas khafiy atas qiyas
jaliy.[14] Sementara itu, imam
Syafi’i dikenal sebagai ulama mazhab yang menentang konsep istihsan. Ia pun tak
segan-segan melontarkan adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa
yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan
sumber hukum seperti inilah yang pada gilirannya memicu perbedaan formulasi
hukum yang dihasilkan.
6.
Adanya perbedaan
pemahaman tentang as-Sunnah
As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang
menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya
kemudian adalah tak semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah
sunnah Nabi. Tak jarang dijumpai sebuah hadis yang menurut sebagian ulama
dianggap sebagai hadis shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu
sisi ada juga ulama lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dla’f yang
terdapat cacat sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan
hukum. Problem seperti ini juga pada
akhirnya berimplikasi pada perbedaan hasil ijtihad.
7.
Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
Munculnya sebuah kaidah ushuliyah berawal dari ijtihad
para ulama. Sementara, mustahil untuk menyatukan ijtihad-ijtihad tersebut dalam
satu suara. Masing-masing ulama memiliki cara dan metode tersendiri dalam
menciptakan sebuah kaidah. Terkadang sebagian ulama memproklamirkan sebuah
kaidah tertentu, namun ulama lain menentangnya sebagaimana yang terjadi pada
kaidah ushul “Ma la yatimmu al-Wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sebuah
kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukan pekerjaan tertentu,
maka pekerjaan itu menjadi wajib). Kaidah ini, sering digunakan kalangan
Syafi’iyah dalam menetapkan suatu hukum. Wudlu misalnya, hukum asal wudlu
sebenarnya adalah mubah, tetapi di satu sisi wudlu merupakan salah satu syarat
untuk melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian hukum berwudlu menjadi ikut
wajib. Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut lantaran sebelumnya terdapat
nash yang menyinggung permasalahan wudlu. Akan tetapi ketika kaidah tersebut
dibenturkan dengan problem pekerjaan (perantara) sebuah kewajiban yang bersifat
mutlak, tanpa ada kejelasan dari nash, maka dalam hal ini terdapat ulama yang
tidak menyetujuinya, sebagaimana persoalan keharusan mengusap sebagian kepala
demi kesempurnaan membasuh wajah dalam wudlu.
8.
Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapat-pendapat
ulama terdahulu
Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu penyebab munculnya
perbedaan pendapat adalah akibat berbedanya pandangan dalam menyikapi ucapan
imam-imam mazhab.[15] Sering dijumpai
perbedaan-perbedaan pandangan dari para ulama pengikut mazhab meski sama-sama
berafiliasi dalam satu mazhab. Imam Nawawi, salah seorang ulama pengikut mazhab
Syafi’i misalnya, dalam beberapa hal ternyata memiliki pandangan dengan imam
Nawawi yang notabene adalah pengikut mazhab Syafi’i juga. Perbedan-perbedaan
seperti itu akan juga banyak ditemukan dalam mazhab-mazhab yang lain.
B.
Mazhab dan Sejarah Kemunculannya
1.
Artikulasi
dan Historisitas Mazhab
Secara
etimologi, mazhab berarti pendapat (view, opinion, ra’y), kepercayaan,
ideologi
(belief, ideology, al-mu’taqad), doktrin, ajaran, aliran, paham (doctrine, teaching,
school, at-ta’lim wa at-thariqah). Wujud hukum Islam bermula dari pendapat
individu terhadap pemahaman nash atau pendapat perseorangan tentang upaya
penemuan hukum terhadap suatu kejadian yang ada. Bermula dari pendapat
perorangan yang dilengkapi dengan metode itu, kemudian diikuti oleh orang lain
atau murid yang jumlahnya semakin banyak. Pendapat perseorangan itu kemudian
menjadi pendapat beberapa orang dan begitu seterusnya, diikuti orang lain,
kemudian menjadi baku.
Saat sebuah pendapat individu diikuti oleh
murid-muridnya, lalu dianggap sebagai pendapat yang paling kuat di sebuah
daerah atau kota tertentu, maka saat itulah pendapat tersebut disebut sebagai
mazhab kota atau daerah, yang seolah sudah menjadi konsensus dari masyarakat
kota tersebut. Maka tak heran jika dalam ranah hukum Islam dikenal mazhab Hijaz,
yaitu suatu pendapat tentang persoalan hukum Islam yang bermula dari pendapat
perseorangan kemudian diikuti oleh murid-muridnya dan diikuti oleh orang-orang
yang tinggal di wilayah Hijaz. Pada perkembangan selanjutnya mazhab Hijaz ini
terbagi menjadi dua kelompok, yakni mazhab Madinah dan mazhab Makkah. Di sisi
lain, muncul juga mazhab Iraq, yaitu suatu pendapat tentang persoalan hukum
Islam yang bermula dari pendapat perseorangan kemudian diikuti oleh
murid-muridnya dan diikuti oleh orang-orang yang tinggal di wilayah Iraq. Pada
perkembangan selanjutnya, mazhab Iraq ini terbagi menjadi dua kelompok juga,
yaitu mazhab Kuffah dan mazhab Bashrah. Selain itu dalam sejarahnya, juga
dikenal mazhab Syam. Sebenarnya ada pula mazhab di wilayah Mesir yang mempunyai
karakter tersendiri. Pengelompokan mazhab kedaerahan ini
berakhir seiring dengan munculnya imam Syafi’i.[16]
Dalam
perkembangan selanjutnya, mazhab yang semula sangat terdominasi oleh pendapat
kedaerahan, lalu kembali lagi ke pendapat perseorangan. Di masing-masing daerah
muncul perkembangan pendapat yang bervariasi. Dari pendapat-pendapat inilah
kemudian juga mengerucut pada pendapat perseorangan. Pendapat perseorangan yang
dilengkapi dengan manhaj ini pada akhirnya menguat lalu perlahan merubah mazhab
yang semula didasarkan atas nama daerah menjadi mazhab yang dinisbatkan pada
perseorangan.
Di
antara sekian banyak mazhab, yang populer dan sampai sekarang masih eksis di
tengah-tengah masyarakat muslim -khususnya
masyarakat Islam sunni- ada empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi yang dinisbatkan
pada nama seorang mujtahid yang bernama Abu hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w.
150/767), mazhab Maliki yang dinisbatkan pada seorang mujtahid yang bernama
Malik ibn Anas (w. 179/795), mazhab as-Syafi’i yang dinisbatkan pada seorang ulama
yang bernama Muhammad ibn Idris as-Syafi’i
(w.204/819), mazhab Hanbali
yang dinisbatkan pada seorang ulama yang bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal
(w. 241/855).[17]
Sebenarnya, di samping empat mazhab tersebut masih banyak mazhab-mazhab
perseorangan lainnya, seperti mazhab sufyan ats-Tsauri, Ibnu Jarir, Hasan
al-Bashri, al-Auza’i, al-Laits dan Daud az-Zhahiri. Namun sayangnya,
mazhab-mazhab selain empat di atas seperti hilang ditelan bumi. Mazhab-mazhab itu
tidak mampu eksis di masyarakat muslim.[18] Faktor prinsipil penyebab lenyapnya mazhab tersebut
adalah karena semakin minimnya jumlah pengikut, sehingga karya-karya imam
mazhab mereka tidak terkodifikasi, betapapun sejatinya sedikit banyak mazhab
yang dianggap tidak mu’tabarah tersebut masih ditemukan sebagian karyanya,
sebagaimana mazhab az-Zhahiri. Metodologi ataupun pendapat dari mazhab Zhahiri
ini masih bisa dilacak melalui karya salah satu pengikutnya yakni imam Ibn
Hazm.
Dari keempat mazhab itulah hukum Islam berkembang
diseluruh dunia. Karena itu, di masing-masing negara dapat dilihat mazhab mana
yang lebih dominan. Di Saudi Arabia misalnya, yang dominan adalah mazhab
Hanbali. Di India, Pakistan dan Turki yang dominan adalah mazhab Hanafi sebagai
mazhab yang paling banyk pengikutnya. Di Afrika utara yang dominan adalah
mazhab Maliki, sementara di Indonesia dan Malaysia yang dominan adalah mazhab
Syafi’i.
Selama berabad-abad, mazhab-mazhab tersebut sangat
mendominasai perkembangan hukum Islam dan pemikirannya. Bahkan, tak jarang
pemikiran hukum Islam di dalam masing-masing mazhab itu dipahami secara
doktrinal dan dogmatik. Perbedaan dominasi mazhab di antara negara-negara
muslim, sebenarnya juga disebabkan adanya faktor budaya kedaerahan atau yang
biasa disebut dengan ‘adah atau ‘urf , meskipun pengaruhnya ini
tidak semata-mata pada esensi hukum, namun lebih pada pengaruh terhadap
mujtahid yang kemudian berdampak pada hasil ijtihadnya. Maka, tidak heran jika
kemudian di Indonesia dikenal mazhab ala Indonesia, yang mempunyai semangat
untuk merelevansikan hukum Islam dengan kondisi sosial-kultural bangsa
Indonesia.[19]
2.
Sekilas tentang Mazhab az-Zhahiri
a.
Sejarah dan Pendiri Mazhab Az-Zhahiri
Mazhab ini didirikan oleh Abu Sulaiman Daud ibn Ali ibn
Khalaf al-Ashbihani yang lebih dikenal dengan az-Zhahiri. Ia lahir di Kuffah
pada tahun 202 H dan wafat di daerah Baghdad pada tahun 270 H. Perjalanan
akademiknya dimulai dengan berguru pada imam Ishaq ibn Rahawaih, Abu Tsur dan
imam-imam lainnya. Pada mulanya, imam Daud az-Zhahiri ini adalah pengikut setia
mazhab as-Syafi’i, bahkan karena fanatisme yang begitu besarnya, ia sampai
harus menulis dua kitab yang berisikan tentang pujian terhadap imam Syafi’i.
Ia adalah seorang mujtahid dan termasuk penghafal hadis
yang dalam beristinbath mempunyai pendirian mengamalkan zhahir nash. Bila dalam
nash tak ditemukan sebuah solusi permasalahan, maka menurutnya, seorang
mujtahid harus mengambil hujjah dari ijma’ para ulama. Ia tak mau berhujjah
dengan qiyas, istishab, ar-ra’yu, istihsan, ta’lil al-ahkam maupun sadd
adz-dzari’ah. Ia terbilang mujtahid yang cukup produktif. Di antara beberapa
karyanya adalah al-Hujjah, Al-khusus wal Umum, al-Mufassar wal mujmal. [20] Pada tahap selanjutnya,
metodologi dan pemikiran khasnya ini diikuti sebagian ulama, hingga akhirnya
muncul sebuah mazhab yang bernama mazhab az-Zhahiri. Mazhab Zhahiri ini adalah
satu-satunya mazhab yang mengambil nama dari prisip teori hukum. Prinsip utama
dalam mazhab ini adalah menyadari dan meyakini sepenuhnya terhadap bentuk lahir
sebuah teks al-Qur’an maupun as-Sunnah.[21]
Beberapa ulama pengembang dan pengikut setia mazhab ini
di antaranya adalah Muhammad, ia adalah putra dari imam Daud az-Zhahiri
sendiri. Muhammad dikenal sebagai ulama yang santun, ahli syair dan hadis.
Ulama lainnya
adalah imam Ibnu Hazm[22] yang dikenal sangat keras
dalam meruntuhkan lawan-lawan debatnya dan satu lagi pengikut lainnya adalah
Abu Hasan Abdillah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Mughlits, ia adalah ulama
terakhir dari kurun kejayaan mazhab az-Zhahiri yang wafat pada 324 H.[23]
Mazhab ini hanya bertahan sampai pada kurun kelima
lantaran mengalami krisis pengikut dan tak adanya kodifikasi sempurna yang
menampung pemikiran-pemikiran pokok mazhab, sehingga secara perlahan mazhab ini
hilang bak ditelan bumi. Meski demikian, ternyata masih terdapat sebagian pemikiran-pemikiran
pokok dari mazhab tersebut yang masih bisa dilacak. Al-Muhalla dan
an-Nubadz merupakan dua kitab karya Ibnu Hazm yang cukup representatif
dijadikan sebagai pelacak pemikiran-pemikiran dari mazhab az-Zhahiri ini.
b.
Beberapa Metodologi Istinbath Hukum Mazhab az-Zhahiri
Sebagaimana nama dari mazhab ini, maka bisa ditebak bahwa
metodologi istinbath hukum utama dari mazhab ini adalah memahami sebuah teks
secara tekstual. Di antara metodologi istinbath hukumnya adalah:
1.
Mengambil pemahaman dari bentuk lahiriah teks
Dalam konsep ini, setiap mujtahid dilarang mengambil
pemahaman yang keluar dari bentuk lahiriah teks, baik itu teks al-Qur’an maupun
as-Sunnah. Hal ini didasarkan pada firman Allah “bi lisanin ‘arabiyyin mubin”, ayat tersebut menjelaskan
bahwa bahasa al-Qur’an yang dalam hal ini adalah bahasa arab merupakan bahasa
yang sudah sangat jelas, sehingga tak perlu lagi memalingkan makna sebuah teks
pada makna yang lain. Mujtahid dilarang keras mengambil pemahaman di luar
bentuk lahiriah teks, karena hal ini dianggap sebagai penyimpangan kalam Allah
yang berimplikasi pada dosa besar. Dalam sebuah ayat, Allah mencela orang-orang
yang suka menyimpangkan ucapan, “Yuharrifun al-Kalima ‘an mawadli’ihi”.
Seorang mujtahid yang mengambil makna di luar bentuk lahir teks sama dengan
menganggap teks Tuhan sebagai teks yang hampa penjelasan. Tentu hal ini sangat
bertentangan dengan ajaran syari’at. Sebuah teks boleh dipahami dengan makna
lain selama terdapat penjelas dari al-Qur’an, as-Sunnah maupun ijma’. Seperti
pemahaman pada ayat “Wa lam yalbasu imanahum bidhulmin” yang dikehendaki
dalam redaksi dhulmin adalah kekufuran, karena ada ayat lain yang
menjadi penjelas dari ayat tersebut, “Inna as-syirka ladhulmun ‘adhim”.
2.
Mengambil hujjah dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.
Sebagaimana mazhab-mazhab yang lain, penganut mazhab
az-Zhahiri mendasarkan segala bentuk istinbath hukumnya pada teks al-Qur’an dan
as-Sunnah. Terkait dengan alasan penggunaan terhadap ijma’, kelompok ini
mendasarkan pada sebuah pemahaman bahwa sejatinya kebenaran adalah satu. Jika
dalam sebuah permasalahan terdapat beberapa pendapat ulama, maka yang termasuk
pendapat haq dan benar hanya satu, pendapat-pendapat lainnya dianggap sebagai
pendapat yang salah. Sementara sebuah kebenaran tak akan jauh dari pendapat
mayoritas ulama. Bermula dari paradigma seperti inilah kemudian mazhab
az-Zhahiri mengakui legalitas ijma’.[24]
3.
Menolak segala
bentuk qiyas
Mazhab ini terkenal sebagai salah satu mazhab yang
menentang metode qiyas secara mutlak, baik itu qiyas jaliy maupun qiyas khafiy.
Kesimpulan
hukum yang
didasarkan atas penalaran qiyas
adalah kesimpulan batal dan tertolak. Menurut mazhab ini, metode qiyas adalah
metode yang berdasar pada asumsi belaka, tanpa ada kepastian. Sementara, untuk
memutuskan sebuah hukum tentu harus disertai dengan sebuah argumentasi yang
sudah jelas dan pasti. Di samping itu penalaran qiyas tidak pernah disinggung
dalam al-Qur’an dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Para pengikut mazhab ini mematahkan
argumentasi dari ulama-ulama yang menggunakan qiyas. Ayat yang sering digunakan
sebagai dalil qiyas adalah Surat al-Hasyr ayat 2 “yukhribuna buyutahum
biaydihim wa aydi al-Mu’minin fa’tabiru ya ulil abshar”, Menurut mayoritas
pengguna qiyas term Fa’tabiru mempunyai maksud Qayyisuu (qiyaskanlah).
Namun interpretasi seperti ini ditolak dengan berbagai pertimbangan. Pertama,
pemaknaan kalimat i’tabiru dengan arti qiyas justru akan menolak konsep
qiyas. Sebab orang mukmin dituntut untuk menyamakan atau mengqiyaskan aktifitas
merobohkan rumah-rumah mereka sendiri. Padahal makna demikian adalah makna yang
mustahil dan tidak dikehendaki Tuhan. Kedua, pemaknaan i’tibar dengan
makna qiyas adalah pemaknaan yang tidak bisa diterima akal.[25] Sebab sebelumnya tidak
ada penjelasan dari al-Qur’an maupun praktek Nabi, berbeda dengan pemaknaan
ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat. Term shalat diartikan dengan
aktifitas ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam adalah
pemaknaan yang sudah sesuai lantaran Nabi sudah menjelaskan dan mempraktekkan
shalat. Karena itu argumen qiyas diatas dianggap tertolak.
4.
Mengharuskan ijtihad dan melarang taqlid secara mutlak
Mazhab az-Zhahiri ini juga dikenal sebagai kelompok yang
mengharamkan taqlid. Kelompok ini mengklaim bahwa para sahabat sejak generasi
awal, tabi’in dan tabi’it tabiin telah berkonsensus menolak untuk diikuti dan
mengikuti satu sama lain. Kelompok ini mendasarkan argumentasi dengan
menampilkan ayat-ayat al-Qur’an seperti dalam surat al-A’raf: 3, yang artinya “Ikutilah
apa-apa yang diturunkan Tuhan kepadamu dan jangan sekali kali mengikuti
pemimpin kamu”, surat al-Baqarah: 170, yang artinya “Dan apabila
dikatakan kepada mereka ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’, mereka
menjawab ‘tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
perbuatan nenek moyang kami”. Kedua ayat tersebut merupakan larangan untuk
mengikuti pendapat-pendapat selain apa yang telah diturunkan oleh Allah.
Andaikan taqlid itu diperbolehkan, maka sebenarnya yang lebih utama ditaqlidi
adalah para sahabat Nabi yang terpilih, bukan pada imam Syafi’i, Hanafi, Maliki
atau Hanbali. Jadi, menurut mazhab ini setiap orang dilarang taqlid dan wajib
untuk berijtihad sesuai dengan kemampuan masing-masing.
5.
Menolak Metode Dalil al-Khithab
Yang dimaksud dalil al-khithab di sini adalah saat
seorang mujtahid mengatakan “Saat sebuah teks dari al-Qur’an ataupun
as-Sunnah menyinggung secara khusus tentang suatu sifat, waktu maupun keadaan,
maka selain yang disebut dalam teks adalah lawan khitabnya”.[26] Dalam bahasa
sederhananya, yang dimaksud dalil al-khithab oleh mazhab ini lebih mirip dengan
konsep mafhum al-mukhalafah (Pemahaman terbalik). Menurut kelompok ini
penalaran terbalik seperti ini tidak diperbolehkan sebagaimana qiyas. Dalil
al-khithab dan qiyas adalah dua metode yang saling bertentangan, namun keduanya
termasuk metode yang tertolak. Jika dalam qiyas memasukkan al-maskut ‘anhu
(sesuatu yang tak disebut dalam teks) pada teks al-manshus, maka dalam dalil
al-khithab mengeluarkan al-maskut ‘anhu dari teks al-manshus.
Keduanya sama-sama metode fasid yang
harus ditolak lantaran melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan eksplorasi
pembahasan di atas, maka dapat diambil dua kesimpulan inti:
1.
Faktor-faktor penyebab terjadinya ikhtilaf ulama di
antaranya adalah:
a.
Adanya perbedaan watak dan karakter manusia
b.
Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda
c.
Adanya perbedaan dalam penetapan maslahah
d.
Adanya perbedaan pemahaman terhadap nash-nash dhanniy
e.
Adanya perbedaan dalam penggunaan hujjah-hujjah syar’i
f.
Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah
g.
Adanya perbedaan dalam penggunaan kaidah ushuliyah
h.
Adanya perbedaan menyikapi pendapat ulama-ulama terdahulu
2.
Mazhab az-Zhahiri adalah mazhab yang didirikan oleh Abu
Sulaiman Daud ibn Ali ibn Khalaf al-Ashbihani yang lebih dikenal dengan
az-Zhahiri. Prinsip dasar mazhab ini
adalah mengamalkan bentuk lahiriyah teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Beberapa
metodologi istinbathnya adalah:
a.
Mengambil pemahaman dari bentuk lahiriah teks
b.
Mengambil hujjah dari al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’
c.
Menolak segala bentuk qiyas
d.
Menolak segala bentuk taqlid dan mengharuskan berijtihad
e.
Menolak menggunakan metode dalil al-khithab.
DAFTAR
PUSTAKA
Azizi, Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Azizy, Qadri, Reformasi Bermazhab, Jakarta: Teraju, 2003.
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Hazm al-Andalusi, Ibnu ,
An-Nubadz fi Ushul
al-Fiqh, Kairo: Maktabah
al- Kulliyat
al-Azhariyat, 1981.
Husain
al-Khurasani, Ahmad ibn, Syu’bu al-Iman, Riyadl: Maktabah ar-Rusyd,
2003.
Husain
Barhami, Yasir, Fiqh al-Khilaf
baina al-Muslimin, Kairo: Dar al-Aqidah, 2000.
Ibn Nayif, Ali, Al-Khulashah fi Asbab Ikhtilaf
al-Fuqaha’, t.tp.,t.p, t.t.
Ismail
al-Bukhari, Muhammad ibn, Al-Jami’ as-Shahih al-Bukhariy, Kairo:
Dar as-Syu’bi, 1987.
Jabir
Fayyadl, Thaha, Adab al-Ikhtilaf
fil Islam, Qatar: al-Ummah, t.t.
Karya Ilmiah Lirboyo, Team, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, Kediri:
Purna Siswa Lirboyo, 2004.
Pembukuan Manhaji, Team,
Paradigma
Fiqih Masail, Kediri:
Lirboyo, 2003.
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam,
Yogyakarta: Islamika, 2003.
Tunkara,
Bakariy, Fiqh al-Ikhtilaf baina
al-Madli wa al-Hadlir, Al-Jazair: Universitas Al-jazair, 2005.
Warson
Munawwir, Ahmad, Kamus al-Munawwir
Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
[1] Bakariy Tunkara, Fiqh
al-Ikhtilaf baina al-Madli wa al-Hadlir, (Al-Jazair: Universitas Al-jazair,
2005), hlm. 22
[3] Yasir Husain Barhami, Fiqh
al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000), hlm. 7.
[4] Ahmad Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
hlm. 363.
[5] Thaha Jabir Fayyadl, Adab
al-Ikhtilaf fil Islam, (Qatar: al-Ummah, t.t.), hlm. 24.
[6] Ali
ibn Nayif, Al-Khulashah fi Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha’, (t.tp.,t.p, t.t.),
hlm. 6.
[7] Yasir Husain Barhami, Fiqh
al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000), hlm. 12.
[8] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’
as-Shahih al-Bukhariy, (Kairo: Dar as-Syu’bi, 1987), juz I, hlm. 189.
[9] Ahmad ibn Husain al-Khurasani, Syu’bu
al-Iman, (Riyadl: Maktabah ar-Rusyd, 2003), juz IV, hlm. 493.
[10] Yasir Husain Barhami, Fiqh
al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000), hlm. 40.
[11] Bakariy Tunkara, Fiqh al-Ikhtilaf baina al-Madli wa
al-Hadlir,
(Al-Jazair: Universitas Al-jazair, 2005), hlm. 71.
[12] Ibid., hlm. 81.
[13]
Ibnu Hazm al-Andalusi, An-Nubadz fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah
al-Kulliyat al-Azhariyat, 1981), hlm. 67.
[15] Bakari
Tunkara, Opcit., hlm. 93.
[18] Team Karya
Ilmiah Lirboyo, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, (Kediri: Purna Siswa
Lirboyo, 2004), hlm. 388.
[22] Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn
ibn Said ibn Hazm ibn Ghalib ibn Shalih ibn Khalaf ibn Ma’dan ibn Sofyan ibn
Yazid al-Andalusi, lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Ia adalah
seorang ulama Kontroversial,
penganut aliran mazhan az-Zhahiri. Lahir pada tahun 384 H dan wafat pada 456 H.
Konon ia pernah mempelajari fiqih mazhab Syafi’i, hingga pada akhirnya
memutuskan untuk menolak seluruh bentuk qiyas, baik khafiy maupun jaliy dan
menerapkan pemahaman nash secara tekstual. Ia juga memilki pandangan bahwa
setiap orang harus berijtihad dan mengharamkan taqlid. Melalui karya-karyanya
ia lantas menyebarluaskan ide-ide kontroversialnya, di antaranya adalah kitab al-Muhalla,
al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam dan an-Nubadz
al-Kafiyah. Dengan sangat ekstrem dan vulgar, ia menolak pendapat para
ulama yang berseberangan dengan idenya. Bahkan, tak segan-segan ia mencomooh
lawan debatnya dengan bahasa yang cukup keras. Karena itulah, kemudian
mayoritas fuqaha tidak memasukkannya dalam jajaran ulama peserta ijma’. Namun
demikian, kecerdasan dan ketinggian ilmunya membuat beberapa ulama besar
memujinya. Di ntaranya adalah imam
al-Ghazali, ia berkata “Aku temukan dalam karya-karya Ibn Hazm tentang
asma-asma Allah, sesuatu yang menyiratkan akan keagungan hafalan dan kedalaman
pemikirannya”.
[23] Team Pembukuan Manhaji, Op.cit., hlm. 304.
[24]
Ibnu Hazm al-Andalusi, An-Nubadz fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah
al-Kulliyat al-Azhariyat, 1981), hlm. 56.