BAB
I
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk sosial, manusia
dituntut untuk selalu bisa hidup berdampingan dan harmonis satu sama lain.
Menciptakan suasana kondusif, tentram dan damai antar sesama menjadi sesuatu
yang niscaya. Di sisi lain, betapapun suasana harmonis menjadi sebuah keharusan
dalam bermasyarakat, namun potensi terjadinya konflik menjadi sesuatu yang amat
sulit untuk dihindari. Karena itulah kemudian penyelesaian dan pencarian
solusinya menjadi harga mati yang tak bisa ditawar.
Salah satu cara yang bisa ditempuh
sebagai bentuk pencarian solusi terhadap konflik adalah dengan bernegosiasi,
meskipun strategi negosiasi ini tak hanya digunakan saat terjadi konflik saja.
Lebih dari itu, ia juga biasa digunakan untuk mencapai sebuah kesepakatan yang
saling menguntungkan.
Penggunaan strategi negosiasi untuk
menyelesaikan sebuah sengketa atau konflik adalah wajar dan biasa terjadi.
Namun, akan lain ceritanya bila kemudian strategi negosiasi ini digunakan untuk
menyelesaikan ketetapan Hudud Allah (batas-batas Tuhan). Anggapan yang selama
ini berkembang di kalangan banyak pakar hukum Islam menyatakan bahwa tak ada
tawar menawar dalam hak Tuhan. Hudud Allah bersifat pasti dan tak ada peluang
bernegosiasi di dalamnya.
Dalam makalah sederhana ini, penulis
akan mencoba mendeskripsikan pemikiran singkat dari Muhammad Syahrur, seorang
pemikir islam kontemporer kontroversial, yang dengan sangat berani telah
melakukan apa yang penulis anggap sebagai bentuk negosiasi terhadap penentuan
batas-batas Tuhan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Negosiasi
Sebagaimana terdeskripsikan dalam pendahuluan
sebelumnya, bahwa negosiasi merupakan
salah satu bentuk strategi atau cara untuk menyelesaikan sengketa maupun
konflik. Negosiasi ini termasuk salah satu di antara sekian banyak model ADR (Alternative Dispute Resolution) selain
mediasi atau arbitrasi.
Terdapat banyak definisi terkait dengan negosiasi.
Jaqueline M. Nolan-Haley mendefinisikan: “Negotiation may be generally defined
as a consensual bargaining process in which parties attempt to reach agreement
on a disputed or potentially disputed matterí.” (“Negosiasi dapat diartikan secara umum
sebagai konsensual dari proses penawaran antara para pihak untuk mencapai suatu
kesepakatan tetang suatu sengketa atau sesuatu hal yang berpotensi menjadi
sengketa”). Sementara, menurutSuyud Margono negosiasi adalah: “Proses konsensus
yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka.”H.
Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa negosiasi adalah: “Suatu cara di mana
individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan
kehidupan sehari-harinya” atau “Proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan”.[1]
Dari definisi-definisi yang dipaparkan oleh para
pakar hukum di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum, negosiasi
merupakan suatu proses saat
dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang
berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi
termasuk di dalamnya, tindakan
yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain
dengan tujuan tertentu. Dengan ungkapan lain, negosiasi adalah
suatu cara bagi dua atau lebih pihak yang berbeda kepentingan baik itu berupa
pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan dalam mencari kesepahaman dengan cara
mempertemukan penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak sehingga
tercapai suatu kesepakatan atau kesepahaman kepentingan baik itu berupa
pendapat, pendirian, maksud, atau tujuan.
B. Negosiasi Hudud Tuhan
Negosiasi
sangat lazim terjadi digunakan untuk menyelesaikan sebuah konflik atau sengketa
yang erat kaitannya dengan persoalan duniawi dan tak ada kaitan sama sekali
dengan persoalan Hudud Tuhan yang dianggap sudah pasti dan tak bisa dinego
lagi. Namun, kenyataannya oleh sebagian pakar hukum Islam Hudud Tuhan bukan
berarti tak bisa ditawar atau dengan ungkapan lain, tak bisa dilakukan
negosiasi. Salah seorang, pakar hukum Islam yang dengan sangat lantang
menyuarakan ‘negosiasi’ atas hudud Tuhan tersebut adalah M. Syahrur.
1. Biografi singkat M. Syahrur
Tokoh kontroversial
yang pernah mengguncangkan dunia pemikiran Islam ini bernama lengkap Muhammad
Syahrur ibn Deyb. Ia lahir di perempatan Shalihiyyah, Damaskus, Syiria,
pada 11 April 1938, pada saat negeri tersebut masih dijajah oleh prancis,
meskipun sudah mendapat status setengah merdeka. Ayahnya bernama Deyb ibn Deyb
Syahrur dan ibunya bernama siddiqah binti Shalih Filyun.[2] Syahrur adalah anak kelima
dari seorang tukang celup.[3] Ia dikaruniai lima orang
anak: Tariq, al-Lais, Basul, Masul dan Rima, sebagai buah pernikahannya dengan
Azizah.[4]
Pendidikan tingkat
persiapan (i’dād) dan dasar (ibtidā’)nya dimulai dari madrasah Damaskus.
Sementara pendidikan tingkat menengah (wustha) diperoleh dari madrasah Abdur
Rahman al-Kawakib Damaskus, sebuah madrasah yang namanya diambil dari nama
penulis Arab terkenal yang hidup pada tahun 1849-1903 dan gigih menyerukan
perlawanan bangsa Arab atas bangsa Turki yang korup. Syahrur lulus dari
madrasah tersebut pada tahun 1957. Setahun kemudian, tepat pada saat usianya
19, ia mendapat beasiswa dari pemerintah setempat untuk melanjutkan
pendidikannya ke Uni Soviet di Faculty of Engineering, Moscow Engineering
Institute. Saat itu, ia tinggal di Saratow, sebuah daerah dekat Moskow.[5]
Riwayat pendidikan intelektual yang bernuansa teknik tersebut, tidak lantas kemudian menjadikannya
lupa terhadap disiplin ilmu lain. Di antara studi keislaman yang ia pelajari
adalah studi al-Qur’an, bahasa Arab, filsafat humanisme, filsafat bahasa,
khususnya linguistik
kontemporer, semantik
dan disiplin ilmu lainnya.[6] Pada perkembangannya, syahrur lebih dikenal sebagai
salah satu pemikir Islam kontroversial dibanding sebagai seorang insinyur.
Syahrur tergolong
pemikir yang cukup produktif. Di antara karya-karyanya adalah al-Kitab wa
al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah fi ad-daulah wa
al-Mujtama’, al-Islam wa al-Iman: Manzhumat al-Qiyam, Nahw al-Ushul Jadidah
dll.
2.
Teori Negosiasi Hudud Syahrur
Teori hudud
merupakan wujud nyata dari rekonstruksi ushul fiqih yang dilakukan Syahrur.
Boleh dibilang teori ini adalah teori sangat mutakhir karena muncul di
penghujung akhir abad XX M. Teori ini juga bisa dikatakan sebuah teori unik
yang terinspirasi dari konsep hudud matematis sekaligus analisis matematis Sir
Isaac Newtoon, seorang fisikiawan Barat modern.
Secara etimologi,
kata hudud merupakan bentuk plural dari al-hadd yang berarti al-hajiz bayna
as-syaiaini (pemisah dua hal), al-muntaha, at-taqyid, al-Hasr (batas);
al-man’u, al-mamnu’ wa al-mahzhur yang berarti larangan. Al-hadd disebut
larangan karena sesuatu dianggap hadd bila seorang dilarang kembali padanya.[7] Syahrur sendiri memaknai
hudud sebagai sebuah batas dan bukan sebagai sebuah larangan. Makna ini pula
yang digunakannya ketika ia memahami firman Allah dalam QS. An-Nisa’ (4): 13-14
yang berbunyi:
تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي
مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ
حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ.
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut)
itu adalah batas-batas (ketentuan-ketentuan) dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.”
Apabila
merujuk pada konteks pembicaraan ayat tersebut, maka pandangan Syahrur agaknya
lebih mendekati kebenaran. Sebab, pembicaraan tentang hudud pada ayat di atas
terkait erat dengan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai pembagian harta
warisan. Ketentuan pembagian tersebut bukan merupakan sebuah larangan,
melainkan suatu ukuraan, kadar dan batasan. Dengan demikian, hudud dalam
konteks ayat di atas dapat dipahami sebagai batas (limit) sebagaimana anggapan
Syahrur.
Dalam konteks pembicaraan hukum Islam secara umum,
term hudud lebih banyak digunakan oleh pakar fiqh (fuqaha’) dari pada pakar
ushul fiqh. Bahkan, hampir tidak pernah pakar ushul mengeksplor atau sekedar
menyinggung persoalan hudud ini. Justru, fuqaha yang membicarkannya sebagai
bagian dari pembahasan tentang pidana Islam.[8]
Hudud dalam terminologi fiqh diartikan sebagai ‘uqubah muqaddarah
(hukuman tertentu) yang ditetapkan syariat baik menyangkut hak Allah maupun hak
hamba. Definisi tersebut adalah versi mayoritas ulama, sementara ulama
hanafiyah agak sedikit berbeda dengan mendefinisikannya sebagai hukuman yang
ditentukan syari’at yang hanya khusus pada hak Allah saja, bukan hak hamba.[9]
Meski demikian, sesungguhnya apa yang dikemukakan oleh jumhur ulama dan ulama
hanafiyah ini memiliki kesamaan pada
artikulasi dasar had yang berarti hukuman.
Abdul Qadir ‘Audah, sebagaimana dikutip Fanani,
menjelaskan bahwa had sesungguhnya adalah hukuman yang sudah ditentukan dan
merupakan hak Allah. Maksud dari hukuman yang sudah ditentukan adalah bahwa
hukuman itu sudah dibatasi, sudah ditentukan dan tidak ada lagi batas minimal
atau maksimal. Penjelasan yang disampaikan ‘Audah ini memberikan pengertian
bahwa had yang merupakan hukuman Allah itu tak boleh ditambah maupun dikurangi.
Tak ada tawar menawar dan negosiasi dalam hudud Tuhan. Dengan demikian, hadud
hanya bisa diketahui melalui teks eksplisit nash dan tak boleh didasarkan pada
teks implisit nash maupun ijtihad.
Pernyataan ‘Audah dan mayoritas ulama fiqh di atas
tentu sangat berbeda dengan pandangan Syahrur. Jika dalam perspektif fiqh
konvensional ditetapkan bahwa hudud Tuhan itu bersifat pasti dan tak ada
negosiasi, maka dalam kacamata Syahrur, hudud itu fleksibel dan ada peluang
negosiasi di dalamnya.
Batas Tuhan (hudud Allah), oleh Syahrur diibaratkan
sebagai garis-garis lurus dan konstan (ats-tsawabit), sementara pada saat yang
sama memberi ruang pada manusia untuk bergerak dinamis (at-taghayyur) dalam
hukum.[10]
Dengan kata lain, batas-batas itu merupakan representasi dari kekokohan hukum
yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Sementara ruang yang
diberikan itu merepresentasikan sisi fleksibilitas hukum Islam yang selalu
dinamis dan selaras dengan tuntutan zaman. Perpaduan antara sesuatu yang
konstan dan tsawabit inilah yang kemudian dirumuskan oleh Syahrur sebagai
hakikat hukum
Islam. Dalam prakteknya, ia
menetapkan enam prinsip batas, yang dibentuk dari perpaduan antara sumbu Y
(Hudud Allah) dan sumbu X (realitas historis manusia). Keenam teori batas yang
dicetuskannya itu tak lain, juga sebagai bentuk negosiasi terhadap hudud Tuhan.
Enam teori tersebut adalah:
a.
Batas minimal (al-hadd al-adnā)
Menurut Syahrur,
Allah telah memberikan kepada manusia batas-batas minimal. Batas minimal ini
tak boleh dilampaui agar menjadi lebih minimal lagi. Batas minimal adalah batas
terendah yang diberikan oleh Allah tentang sesuatu yang boleh dilakukan. Di
antara batas minimal yang telah ditetapkan Allah adalah batas minimal dalam hal
keharaman menikahi perempuan. Perempuan-perempuan yang haram dinikahi tersebut
dijelaskan dalam an-Nisa’ (4): 22-23. Selain itu, ayat lain yang menjelaskan
tentang batas minimal adalah ayat yang menjelaskan persoalan pakaian perempuan
yang terkandung dalam an-Nur (24): 31.[11]
Pada batas minimal ini seolah tak ada negosiasi
hudud, namun sebenarnya, negosiasi hudud dalam hal ini masih tetap ada. Jika
dicermati, konsep batas minimal tawaran Syahrur ini berusaha memberikan peluang
pada seseorang untuk bernegosiasi dengan menambah apa yang telah ditetapkan
Tuhan, tentu dengan berbagai pertimbangan dan dalam kondisi tertentu, seperti
yang terjadi pada kasus perempuan yang haram dinikahi dan persoalan pakaian
perempuan di atas.
b. Batas maksimal (al-hadd al-a’lā)
Sebagaimana
ada batas minimal, maka sangat wajar bila Syahrur pun menetapkan bahwa dalam
kandungan Ummul Kitab[12]
terdapat juga batas maksimal. Ia mencontohkan batas maksimal ini dengan ayat
yang menjelaskan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri, yaitu pada surat
al-Maidah (5): 38.[13]
Berdasar ayat tersebut Syahrur berkesimpulan bahwa seorang pencuri tidak boleh
dihukum melebihi potong tangan, sebab yang demikian itu adalah batas maksimal
yang telah ditetapkan Tuhan. Sebaliknya, seorang hakim boleh menetapkan hukuman
yang lebih ringan dari potong tangan yang tentunya dengan memperhatikan situasi
dan kondisi tertentu. Tawaran batas maksimal yang ditetapkan Syahrur ini
sesungguhnya, telah dilakukan oleh sahabat Umar ibn Khatthab yang tidak
menghukum potong tangan pada seorang pencuri lantaran pada saat itu adalah
musim paceklik. Dari sini kemudian langkah yang diambil oleh Umar
yangbelakangan diadopsi dan dijadikan sebagai salah satu konsep istinbath hukum
oleh Syahrur ini bisa disebut sebagai bentuk negosiasi terhadap Hudud Tuhan.
c. Batas maksimal dan minimal yang datang secara bersamaan, namun tidak
menyatu dalam satu garis (al-hadd al-adnā wa al-hadd al-a’lā ma’an)
Dalam pandangan Syahrur, salah satu ayat yang
mempunyai batasan minimal dan maksimal sekaligus adalah ayat yang menjelaskan tentang
warisan, yaitu surat an-Nisa’ (4): 11, 12, 13 dan 14). Terkait dengan ayat
waris ini, Syahrur berpandangan bahwa tujuan utama disyariatkannya pembagian
waris adalah semata-mata demi keadilan, baik pada ahli waris perempuan maupun
ahli waris laki-laki, karena itu untuk bisa menemukan keadilan itu harus
menggunakan prinsip himpunan dan pendekatan matematika modern. Menurutnya,
aturan dua banding satu bagi ahli waris laki-laki dan perempuan berlaku saat
pihak perempuan tak ikut menanggung beban ekonomi keluarga. Apabila perempuan
ikut menanggung beban ekonomi keluarga, maka kesenjangan bagian itu semakin
kecil sesuai dengan tingkat kerja sama dalam menanggung beban ekonomi yang
bersangkutan. Dalam hal ini, seorang mujtahid bertugas menentukan bagian masing-masing
pihak sesuai dengan semangat persamaan dan keseimbangan bagian antara pihak
laki-laki dan perempuan berdasar kondisi sosial-historis-objektif yang dikuatkan dengan bukti-bukti materiil statistik
serta dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan kemudahan bagi masyarakat.[14]
Selain itu, ayat
yang mengandung batas minimal dan maksimal adalah ayat poligami, yaitu surat
an-Nisa’ (4): 3. Ayat ini dipandang Syahrur sebagai ayat hududiyah. Ia hadir
untuk menggabungkan batas minimal dan maksimal dalam sebuah kuantitas dan
kualitas sekaligus. Batas minimal kuantitasnya adalah menikahi satu orang
perempuan dan batas maksimalnya adalah empat orang perempuan, dengan ketentuan
kualitas bahwa istri kedua sampai dengan istri keempat adalah seorang janda
yang cerai mati, bukan cerai talak.[15]Dari kedua contoh ayat
yang diberikan Syahrur di atas, terlihat jelas bahwa di sana ada hudud Tuhan
yang amat fleksibel untuk dilakukan sebuah negosiasi.
d.
Batas minimal dan maksimal yang menyatu dalam satu titik
atau garis lurus (al-hadd al-adnā wa al-hadd al- a’lā ‘ala nuqthatin wāhidatin
ay hālat al-mustaqīm aw hālat at-tasyrī’ al-‘ainiy)
Batas jenis keempat
ini, menurut Syahrur hanya terdapat pada surat an-Nur (24): 2 yang menjelaskan
tentang hukuman bagi seorang pezina. Satu titik tersebut dalah 100 jilid. Dalam
hal ini 100 kali jilid dianggap sebagai batas minimal dengan alasan bahwa pada
ayat sesudahnya Allah memberikan peringatan untuk tidak merasa belas kasihan
pada pezina. Sedangkan terkait batas maksimalnya, Syahrur tidak secara tegas
menjelaskan. Namun, Muhyar Fanani berkesimpulan bahwa alasan mengapa 100 kali
jilid dianggap batas maksimal adalah karena sudah hampir dipastikan seorang
tidak akan mampu lagi bertahan hidup setelah didera 100 kali.[16]
Menurut Syahrur,
inilah satu-satunya tasyri’ ‘aini (tertentu dan pasti)[17], sehingga dalam hal ini
tak ada peluang untuk melakukan penambahan atau pengurangan pada hukuman
tersebut. Dengan demikian, pada batas ini tak ada tawar menawar maupun
negosiasi.
e.
Batas maksimal berupa garis yang mendekati garis lurus,
namun tak sampai menyentuh (al-hadd al-a’lā bi khattin muqāribin li mustaqīmin
ay yaqtaribu wa lā yamassu)
Pada batas ini, Syahrur memberikan contoh hubungan
laki-laki dan perempuan yang tidak sampai pada tahap zina yang terdapat pada
surat al-Isra’ (17): 32. Jenis batas kelima ini, menurutnya sangat terkait
dengan jenis batas keempat sebelumnya. Dalam hal ini, seorang tidak
diperkenankan mendekati zina, sebab batas maksimalnya adalah mendekati zina itu
sendiri.[18]
Dengan demikian dalam batas ini -sebagaimana pada batas keempat- tak ada
peluang untuk bernegosiasi. Hanya saja, persoalan ukuran mendekati zina ini tak bisa diputuskan secara pasti dan
dipositivisasi. Persoalan tersebut amat relatif dan tergantung pada keputusan
dan pertimbangan mujtahid. Karena itulah, boleh jadi peluang untuk sedikit
berngosiasi ada pada penentuan mujtahid tersebut.
f.
Batas maksimal positif-tertutup yang tak boleh dilampaui,
sementara batas minimalnya negatif dan boleh dilampaui (al-hadd al-a’lā
mūjibun mughlaqun lā yajūzu tajāwuzuhu, wa al-hadd adnā sālibun yajūzu tajāwuzuhu)
Teori batas terakhir ini berlaku pada transaksi bendawi
manusia. Syahrur mencontohkan bahwa dalam persoalan transaksi ini batas
maksimalnya berupa riba dan batas minimalnya berupa zakat. Riba sama sekali tak
boleh dilampaui sedangkan zakat sebagai batas minimal boleh dilampaui ke arah
negatif dengan membayar sedekah. Di antara kedua batas tersebut terdapat posisi
nol, yang terwujud dalam bentuk transaksi al-qardl al-hasan (pinjaman
tanpa bunga).[19]
Dengan demikian negosiasi batas dalam hal ini hanya berlaku pada batas minimal
yang boleh dilampaui.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
eksplorasi pada pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
langkah-langkah Syahrur dalam memahami pesan al-Qur’an yang terwujud dalam nazhariyaat
al-hudud (teori-teori batas), sesungguhnya juga merupakan bentuk negosiasi
antara teks dan konteks. Syahrur berusaha memberikan peluang pada konteks untuk
senantiasa berdialektika dan bernegosiasi dengan teks agar tercipta sebuah
tatanan hukum Islam yang benar-benar membawa kemaslahatan pada seluruh umat.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili,Wahbah, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Damaskus:
Dar al-Fikr, t.t.
Chritsmann, Andreas
“Bentuk teks (wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) berubah:
Tekstualitas dan Penafsirannya dalam Al-Kitab wa Al-Qur’an”, dalam
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Elsaq Press, 2010.
Fanani,
Muhyar, Fiqh Madani, Konstruksi
Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: LKIS, 2010.
Manzhur, ibnu, Lisan
al-‘Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
Mufidah, Imro’atul “Hermeneutika
al-Qur’an Muhammad Syahrur”, dalam Kurdi dkk., Hermeneutika
al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Syahrur, Muhammad, Al-Kitab
wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, Damaskus: al-Ahaliy, t.t.
Syahrur, Muhammad,
Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Damaskus:
al-Ahaliy, 2000.
Syarqawi Ismail,
Ahmad, Rekonstruksi Konsep Wahyu
Muhammad Syahrur, yogyakarta: Elsaq Press, 2003.
.
[2]
Achmad Syarqawi Ismail, Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur,
(yogyakarta: Elsaq Press, 2003), hlm. 43.
[3]
Andreas Chritsmann, “Bentuk teks (wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu)
berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam Al-Kitab wa Al-Qur’an”, dalam
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq
Press, 2010), hlm. 19.
[6]
Imro’atul Mufidah, “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Syahrur”, dalam
Kurdi dkk., Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press,
2010), hlm. 287.
[7] Muhyar
Fanani, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern,
(Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 249. Lihat juga Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab,
(Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm 899.
[8] Ibid., hlm. 250.
[9]
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr,
t.t.), juz VII, hlm. 217.
[10]
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus:
al-Ahaliy, t.t.), hlm. 452.
[11] Ibid., hlm. 456.
[12]
Ummul Kitab adalah sebutan khas Syahrur untuk menunjuk pada ayat-ayat yang
berisikan kumpulan hukum-hukum syari’at. Sedangkan
term al-Qur’an dalam bahasa mayoritas ulama, disebutnya sebagai at-Tanzil
al-Hakim. Perbedaan penggunaan istilah ini sebagai salah satu konsekwensi dari
salah satu anggapannya yang tak setuju dengan konsep sinominitas bahasa.
Pandangan seperti itu ia adopsi dari salah satu pakar linguistik bernama Ibnu
al-Jinni yang merupakan murid dari al-Farisi, seorang pakar linguistik arab
kontroversional. Terkait perbedaan-perbedaan istilah ini bisa dilihat pada Muhammad Syahrur, al-Kitab
wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus: al-Ahaliy, t.t.). dan Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh
al-Islami,
(Damaskus: al-Ahaliy, 2000).
[13] Syahrur, Op.cit., hlm.
456.
[14] Muhyar
Fanani, Fiqh Madani, Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern,
(Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 278. Lihat juga pada Muhammad Syahrur, Nahwa
Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: al-Ahaliy, 2000), hlm.
231.
[17]
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, qira’ah mu’ashirah, (Damaskus:
al-Ahaliy, t.t.), hlm. 464.